Tidak usah ditanya bagaimana Dilan tahu nomor telepon rumahku. Kukira dia banyak akal.
—Hallo?||, kusapa yang nelepon
—Selamat malam ||
—Malam ||
—Bisa bicara dengan Milea?||
I y a , saya||
Oh . Aku Dilan||
—Hey ||. Mendadak jantungku langsung deg-degan.
—Milea bisa bicara dengan aku?||
—Iya bisa ||
—Tadi aku datang||
i y a l l
K a u tahu?||
T a h u ||
—Kau tahu kenapa aku datang?||
—Kenapa?||
—Kalau aku gak datang, gara-gara kamu bilang ayahmu galak, berarti aku pecundang ||
- i y a l l
—Lebih baik aku datang. Kalau nanti dimarah, itu bagus, kamu akan kasihan ke aku||
H e he||. —Kasihan gak?||
T a d i dimarah?|| -Enggak|| —Syukurlah ||
—Tadi, ayahmu bilang, kamu sudah tidur|| -Oh||
—Kenapa sekarang bisa ngomong? Kamu ngigau?||
i y a l l
—Ha ha ha ha ha||. Dilan ketawa
Sebenarnya aku juga ingin ketawa, tapi pasti kutahan. Boro-boro ketawa, bicaraku juga sebisa mungkin kubikin singkat-singkat. Entah mengapa, aku merasa ga enak, kuatir ayah dan ibu dengar. Seolah saat itu aku merasa bahwa mereka akan marah kalau tahu itu telepon dari Dilan, meskipun belum tentu mereka akan begitu.
Selesai nerima telepon, aku langsung ke kamar lagi. Sebelumnya ayahku nanya, telepon dari siapa, aku jawab dari Beni. Dan di kamar, selain kupakai untuk menyelesaikan tugas PR, sebagian otakku kugunakan untuk memikirkan dialog terakhir dengan Dilan di telepon:
—Boleh aku meramal? ||, Dilan nanya
i y a l l
I y a apa?||
-Boleh||
—Aku ramal, nanti kamu akan menjadi pacarku!||
H e he he|| —Percaya tidak? || —Musyrik ||
—Ha ha ha||
H e he he|| —Hey, Milea||
iyall
—Kau tahu kenapa aku tidak langsung jujur saja bilang ke kamu bahwa aku mencintaimu? ||
-Enggak||
—Padahal kalau mau, aku bisa. Itu gampang|| - Terus? Kenapa? ||
—Kalau langsung, gak seru. Terlalu biasa|| - H e he he||
—Nanti kalau kamu mau tidur, percayalah aku sedang mengucapkan selamat tidur, dari jauh.
Kamu ga akan denger||
- H e he he||
Di atas kasur, selagi mau tidur, aku dilanda kebimbangan, haruskah terus terang, bilang ke Dilan, bahwa aku sudah punya pacar? Iya, kayaknya harus. Biar sejak itu, Dilan akan berhenti mengejarku.
Biar Dilan tidak akan lagi membuat kejutan-kejutan, yang kalau aku harus jujur, sebetulnya aku juga suka. Seru! Tidak, kayaknya tidak. Enggak usah aku bilang. Biarin saja. Aku merasa, sejak ada Dilan di dalam hidupku, ah, susah kukatakan dengan kata-kata.
Atau haruskah aku bilang ke Beni, bahwa ada orang di Bandung, satu sekolah denganku, namanya Dilan, sedang berusaha mendekatiku? Kayaknya jangan, aku tahu Beni, jika kukatakan, justeru malah akan nambah masalah dari pada berusaha menyelesaikannya. Aduh, Beni, aku yakin kamu tidak akan bisa menolongku!
Lebih baik aku tidur. Di luar turun hujan. Kamu di mana sekarang, Dilan? Hati-hati kalau di jalan. Kututup mataku dengan bantal dan: —Selamat tidur juga, Dilan ||