5. PAPAN PEMBATAS KELAS
Aku baru selesai dari kantin, bersama Nandan, Hadi dan Rani. Tak ada Dilan. Dia jarang ke kantin. Aku sendiri juga heran, kalau memang benar dia sedang mengejarku, kenapa tidak pernah ke kantin menemuiku? Kenapa lebih memilih kumpul bersama teman-temannya di warung bi Eem?
Kenapa tidak berusaha bisa duduk di kantin denganku. Bicara denganku, setidaknya dengan itu, aku bisa tahu langsung darimu, benarkah kamu suka nge-ganja seperti yang dikatakan oleh Nandan dan Dito? Benarkah kamu suka minum-minuman keras, seperti yang dikatakan oleh Nandan, Erfan dan Rani? Benarkah kamu playboy, punya banyak pacar, seperti yang dikatakan oleh Nandan?
Aku tidak bermaksud mau ikut campur urusanmu, Dilan. Siapalah aku ini. Tetapi rasanya hampir setiap hari aku selalu mendapat informasi yang buruk tentangmu. Aku ingin tidak percaya.
Tetapi jika memang itu benar, ya sudah, aku jadi tahu siapa dirimu dan bagaimana harusnya aku bersikap kepadamu, itu pilihanku. Kamu bukan pacarku, apa urusanku memikirkan dirimu, tapi aku tidak tahu, Dilan, mengapa aku ingin tahu.
Ah, Tuhan! Kenapa aku jadi begini?
Dari kantin, sebelum mau masuk ke kelas, aku berpapasan dengan Dilan dan kawan-kawan. Pasti baru datang dari warung bi Eem.
—Milea! ||, dia manggil dan mendekat
- Y a ? ||
—Boleh ga aku ikut pelajaran di kelasmu lagi||,
—Kamu mau bikin aku senang? ||. Kupandang matanya, hampir-hampir gak percaya bahwa aku bisa nanya seperti itu kepadanya.
-iya?ll
—Ikuti mauku ||
A p a itu, Milea?|| —Jangan! ||
—Oh. Oke, kalau begitu ||
Dia pergi. Aku masuk kelas untuk mengikuti pelajaran
berikutnya. Itu adalah pelajaran Pendidikan Moral Pancasila,
nama gurunya Ibu Sri, aku masih ingat.
Bukan ibu Srinya yang kuingat, tapi kejadiannnya, yaitu selagi Ibu Sri sedang menjelaskan materi pelajaran, papan pembatas kelas itu tiba-tiba roboh, jatuh ke arah kami.
Ibu Sri lari sambil teriak: — Allahuakbar!!||. Semua orang juga lari, berusaha menghindar ke arah bangku di bagian paling belakang.
Dari sana, bisa kami saksikan sendiri, bagaimana papan pembatas kelas itu roboh bersama dua orang yang masih menggantung di atasnya, seperti sedang menggulingkan papan tulis.
Kedua orang itu adalah: Piyan dan Dilan! Sejak itu, kami bisa melihat wajah-wajah siswa di kelas 2 Fisika 1 pada melongo semua.
Bagaimana itu bisa terjadi? Aku dapat penjelasan langsung dari Dilan setelah beberapa bulan kemudian. Katanya, waktu itu, di kelas sedang tidak ada pelajaran, gurunya tidak datang karena sakit. Dia dan Piyan, berusaha naik ke atas pembatas kelas, untuk mencapai lubang pentilasi yang ada di tembok bagian atas.
—Ih! Ngapaiiiin?||, kutanya
—Ngintip kamu ha ha ha ha||
—Ha ha ha ha||
—Resiko tinggi mencintaimu ||
—Ha ha ha||
Tapi itulah yang terjadi. Mau gimana lagi. Wati, teman sekelasku, mungkin jengkel. Dia hampiri Dilan, dan melemparkan buku pelajaran ke arahnya, sambil ngomong: "Man eh wae, Siali!".
Itu bahasa sunda, kira-kira: Elu lagi! Elu lagi!
Dilan tak melawan. Aku langsung ingin tahu, siapa Wati sebenarnya? Kenapa dia berani kepad Dilan? Dan Dilan diam saja. Selidik punya selidik, ternyata ibunya Wati adalah adik dari Dilan. Ya, Tuhan, kenapa aku baru tahu?
Dilan dan Piyan, dibawa ke ruang guru! Anehnya aku tidak cemas. Anehnya aku percaya, Dilan pasti bisa menghadapinya dengan tenang.
Tapi sejak peristiwa itu, selama dua hari, aku tidak lihat Dilan di sekolah dan juga di mana pun.