Kebetulan, hari itu, di rumah, hanya ada aku dan si Bibi. Ayah, ibu dan adik bungsuku sedang pergi ke acara pernikahan saudara. Si Bibi bergegas nemui tamu dan lalu balik kembali menemuiku:
—Tamu. Mau ke Lia||, kata si Bibi. Lia itu nama panggilanku di rumah
Aku bersihkan tanganku dari busa dan langsung ke sana, nemui tamu itu. Ya tuhan, aku kaget, ternyata tamunya adalah dia: Sang Peramal. Aku senyum kepadanya yang tersenyum kepadaku.
Berasa seperti sedang terjadi kontak batin, antara aku dengannya, membahas ramalannya yang benar-benar terjadi.
—Hei|| Kusapa dia.
—Ada undangan||, dia langsung bilang begitu, seraya menyodorkan sebuah amplop sambil masih berdiri di situ, di depan pintu.
—Undangan apa?||, kupandangi amplop itu.
—Bacalah, tapi nanti ||
-Oke||
—Bacalah, bahasa arabnya apa, Yan?|| Dia nanya ke si Piyan yang datang bersamanya.
—Apa ya? ||, Piyan balik nanya
—Oh! Iqra||, dia jawab pertanyaannya sendiri: — Iqra, Milea! ||, katanya lagi.
—He he he|| Aku ketawa tapi sedikit. Entah mengapa, hanya bisa sesekali saja kupandang matanya.
—Aku langsung ya?||, dia permisi untuk pergi —Kok tahu rumahku? ||, kutanya
—Aku juga akan tahu kapan ulangtahunmu|| - H e he||
—Aku pergi dulu ya?||
- i y a l l
—Assalamualaikum jangan?! ||
—Assalamualaikum ||
—Alaikumsalam||
- H e he he||
Aduh, Tuhan, siapa sih dia itu! Maksudku, selain seorang Peramal, aku ingin tahu siapa dia itu sesungguhnya, dan mengapa tadi aku harus gugup di depannya?
Aku masuk kamar dan senyum sendiri terutama karena memikirkan soal ramalannya yang benar.
Tapi kenapa dia tidak membahasnya? Membahas soal ramalan? Atau sengaja? Entahlah. Aku baca surat undangan darinya sambil selonjoran di atas kasur.
Itu adalah surat undangan yang ditulis dengan mesin tik di atas kertas HVS. Aku langsung bisa nebak, surat itu dia bikin sendiri: —Bismillahirahmannirahiim. Dengan Rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan ini, dengan penuh perasaan, mengundang Milea Adnan untuk sekolah pada: Hari senin, selasa, rabu, kamis, jumat dan sabtu ||. Semua nama hari-hari itu, disertai dengan tanggal.
Di dalam surat itu ada nama: Tuan Hamid Amidjaya. Itu Kepala sekolahku, sebagai orang yang turut mengundang. Di tiap sisi kertas, ada gambar hiasannya. Dibikin pake spidol. Gambarnya bagus. Entah bikinan siapa.
Setelah kubaca, aku tak mengerti mengapa langsung merasa tak ingin pergi dari atas kasurku, benar-benar seperti orang yang sedang ditawan oleh rasa penasaran karena ingin tahu siapa dia sebenarnya.
Sambil tiduran, aku jadi seperti orang yang sedang
menerawang, memandang atap kamarku.
Ketika ada terbayang wajahnya, langsung kupejamkan mataku, agar dengan begitu aku bisa mengusirnya, karena aku merasa itu gak perlu. Gak penting!
Ah, sial. Itu hampir membuat aku lupa untuk melanjutkan tugas nyuci sepatu. Segera kusimpan surat itu, di dalam laci meja belajar, sambil senyum-senyum sendirian, dan langsung pergi ke kamar mandi, menemui sepatuku.
Kucuci sepatu itu dengan pikiran yang penuh dengan dirinya, dan berusaha kulupakan dengan cara menyanyi. Tapi susah, tetap saja kepikiran meskipun sesekali. Aduh, hai, siapa sih dia itu?
Setahuku dia satu sekolah denganku, tapi tidak sekelas denganku. Cuma itu. Itu saja. Tapi aku tidak tahu siapa namanya. Kenapa dia tidak memberitahu namanya di saat pertama jumpa itu?
Haruskah aku yang nanya? Oh sori ya, gak mau!
Kudengar telepon rumah berdering. Aku senang, karena itu dari Beni, pacarku di Jakarta. Dia satu sekolah denganku waktu masih di Jakarta, dan sekarang kami menjalin pacaran jarak jauh.
Beniku keren, kau harus tahu itu. Dia tampan, meskipun tidak tampan-tampan amat, tapi cukup dan dia sangat baik. Ayahnya seorang artis film terkenal, yang kadang-kadang suka aku banggakan kepada ayah ibuku.
Beni sangat menyayangiku. Aku juga begitu kepadanya. Meskipun sesekali suka bertengkar, tapi cuma masalah kecil, dan selalu bisa diselesaikan dengan baik. Hampir setiap hari, Beni selalu menelponku untuk melepas rasa rindu dan hal lain sebagainya.