Pagi itu, di Bandung, pada bulan September, tahun 1990, setelah turun dari angkot, aku jalan menuju sekolahku sebagaimana yang lainnya yang juga sama begitu. Bedanya, aku jalan sendirian, yang lain ada yang berdua atau lebih.
Dari arah belakang, aku mendengar suara motor. Suaranya agak berisik dan yang bisa kuingat di masa itu, belum begitu banyak siswa yang pergi sekolah dengan memakai motor.
Ketika motor itu sudah mulai sejajar denganku, jalannya melambat. Seperti sengaja ingin menyamai kecepatanku berjalan. Pengendaranya menggunakan seragam SMA
Meskipun saat itu banyak orang yang pada mau pergi sekolah, aku tetap waspada, kuatir barangkali dia mau berbuat buruk kepadaku. Dia bertanya:
—Selamat pagi||
—Pagi||, kujawab, sambil menoleh kepadanya sebentar —Kamu Milea, ya?||
—Eh?||, kutoleh dia, memastikan barangkali aku kenal dirinya. Nyatanya tidak, lalu kujawab:
- i y a l l
—Boleh gak aku meramal? ||
—Meramal?||, Aku langsung heran dengan pertanyaannya. Kok meramal? Kok bukan kenalan?
—Iya. Aku ramal, nanti kita akan bertemu di kantin||.
Dia pasti ngajak becanda. Aku gak mau. Tapi aku tidak tahu harus jawab apa. Hanya bisa senyum, mungkin itu cukup, sekedar untuk berbasa-basi. Jangan judes juga. Iya.
Asli, aku gak tahu siapa dia. Betul-betul gak tahu. Mungkin satu sekolah denganku, tapi aku belum mengenal semua siswa di sekolahku, termasuk dirinya. Aku hanya murid baru. Baru dua minggu.
—Mau ikut?||( dia nanya
—Makasih||, jawabku. Enak aja, belum kenal sudah ngajak semotor. Kupandang dia, sebentar:
—Udah deket||, lanjutku.
—Oke||, katanya, —Suatu hari, Milea, kamu akan naik motorku. Percayalah ||
Aku diam, karena gak tahu aku harus bilang apa
—Duluan ya!||, katanya.
Kupakai bahasa wajah, untuk mengungkap kata — iya||.
Habis itu, dia berlalu, memacu motornya.
Nampak baju seragamnya berkelabatan, kalau guru tahu, pasti akan disuruh dimasukin ke celana.
Waktu istirahat, tadinya aku mau ke kantin, tapi sama sekali bukan untuk memenuhi ramalan anak itu. Boro-boro, kepikiran juga enggak. Aku hanya ingin membeli sesuatu untuk kuminum.
Tapi Nandan, teman sekelas, Ketua Murid kelas 2 Biologi 3, minta waktu ingin ngobrol denganku, katanya ada yang mau dibahas.
Dia bilang, kalau aku mau minum, gampang, biar dia saja yang beli. Makasih kataku, dan memang, dia lalu pergi, ke kantin. Tak lama dia kembali, membawa beberapa teh kotak.
Di kelas, selain Nandan, ada juga Rani dan Agus, semuanya teman sekelas. Hal yang dibahas adalah tentang keinginan mereka untuk menunjuk aku menjadi sekertaris, dan juga sekaligus menjadi bendahara kelas 2 Biologi 3. Aku sih oke saja. Bagiku, gampang lah itu.
Waktu kami sedang ngobrol, muncul seseorang yang bilang permisi dan lalu masuk ke kelas.
Nandan, Rani dan juga Agus, tahu siapa dia. Namanya Piyan, siswa dari kelas 2 Fisika 1, datang memberiku surat, katanya itu surat titipan dari kawannya, tapi tidak disebut nama kawannya.
Dengan sedikit rasa heran, setelah Piyan berlalu, kubaca surat itu:
"Milea, ramalanku, kita akan ketemu cli kantin, ternyata salah. Maaf. Tapi aku mau meramal lagi: Besok kita akan ketemu || Aku langsung bisa tahu siapa yang ngirim surat. Ini pasti dia, orang yang tadi pagi naik motor dan bilang mau meramal. Nandan nanya, dia ingin tahu surat apa, aku bilang cuma surat
biasa.
Surat itu, segera kulesakkan dalam tas sekolah, untuk kembali menyimak Nandan yang banyak bicara tentang ini itu yang menurutku membosankan. Tapi aku sudah tidak bisa lagi konsentrasi dengan kata-kata mereka. Pikiranku, entah mengapa, sebagian besar, mendadak melayang kepada Sang Peramal.
Hari itu hujan, aku pulang dijemput pamanku. Dia itu adik dari ayahku, mahasiswa tingkat akhir di perguruan tinggi swasta, namanya Fariz. Dia sudah lama di Bandung dan kost di daerah Setiabudi.
Ayah nyuruh paman menjemputku, supaya bisa lekas datang ke rumah dinas ayahku, karena ada sedikit keperluan. Di jalan pulang, entah mengapa, ramalan orang itu: bahwa besok akan bertemu, terus saja kepikiran.
Apa? Besok? Hah, besok bertemu? Bukankah besok itu hari minggu? Aku langsung bisa nebak: ramalannya sudah pasti gagal lagi. Bagaimana bisa bertemu, kalau tidak di sekolah? Dia, ah, cuma tukang ramal amatir!
Bagiku, tak lebih, dia hanya anak nakal, yang suka iseng menggoda cewek. Huh! Jika itu baginya adalah modus untuk mendekati diriku, dia harus tahu aku orangnya selektif.
Di hari minggu, waktu sedang nyuci sepatuku, aku mendengar bel rumah berbunyi, karena dipijit oleh tamu. Aku teriak manggil si Bibi untuk meladeni tamu itu.