Lova berusaha memfokuskan perhatian pada Mrs. Ivana, guru matematika di Senior High Global Cetta School yang tengah mengajar. Berusaha mendengarkan materi tentang logika matematika yang sedang diterangkan oleh wanita paruh baya itu dengan saksama. Lova menahan sekuat tenaga untuk tidak memutar kedua bola matanya malas.
Matematika di jam paling akhir itu ... sesuatu? Lova tertawa sumbang dalam hati. Dia paling lemah jika harus berhadapan dengan mata pelajaran yang memeras otak itu. Lova harus membaca materi berulang-ulang kali untuk sampai pada kata paham.
"Dari sebuah pernyataan, kita dapat membuat pernyataan baru berupa ingkaran atau negasi ataupun penyangkalan atas pernyataan tadi. Dalam tabel kebenaran ingkaran, huruf B untuk pernyataan bernilai benar dan S untuk pernyataan bernilai salah. Artinya, jika suatu pertanyaan (p) benar, maka ingkaran (q) akan--"
And bla-bla-bla ... Lova menopang keningnya dengan tangan kanan. Otaknya panas serasa ingin meledak. Lo-gi-ka ma-te-ma-ti-ka? Hah?! Logika itu urusan laki-laki. Dia ini terlahir sebagai perempuan. Nah, perempuan itu selalu memakai perasaan.
"We still have five minutes left. So guys ... anyone wants to ask a question?" tanya Mrs. Ivana setelah berbalik badan menghadap ke arah anak-anak didiknya.
Perlahan mengangkat keningnya. Lova celingak-celinguk melihat ke arah teman-temannya. Hening. Tidak ada yang mau mengambil inisiatif untuk mewakili yang lainnya menjawab pertanyaan dari Mrs. Ivana itu. Walau hanya mengucapkan satu kata penolakan. No.
"No, one?" tanya Mrs. Ivana lagi.
Lova perlahan menundukan kepalanya dalam-dalam ketika pandangannya tidak sengaja bertemu dengan mata berbingkai kacamata milik Mrs. Ivana.
"Okay, then. We will stop here. Mrs. akan mengirimkan link untuk kalian bisa mengakses video materi kita hari ini. Kerjakan soal latihannya." terang Mrs. Ivana seraya membereskan meja. Tak menghiraukan suara protesan keras dari anak-anak didiknya itu.
Mrs. Ivana mengangkat kepala dengan memeluk buku-buku bahan ajar di dadanya. "Don't forget to do your homework. I will see you again next week. Goodbye, class?!"
"Goodbye, Mrs!!!" jawab seluruh penghuni kelas secara serentak dengan penuh semangat membuat Mrs. Ivana geleng-geleng kepala sebelum keluar meninggalkan kelas.
Setelah punggung Mrs. Ivana hilang di balik pintu suasana kelas seketika berubah menjadi gaduh oleh tingkah absurd teman laki-laki dan ramai oleh anak perempuan yang sedang membicarakan gosip yang sempat tertunda di jam istirahat. Kedua aksi itu bercampur aduk dalam waktu nyaris bersamaan. Lova hanya menggelengkan kepala melihatnya.
Lova membereskan buku-buku pelajarannya. Menyusun dari ukuran terlebar diletakkan paling bawah sampai ukuran terkecil diletakkan paling atas. Lalu memasukan alat-alat tulis yang tadi digunakan ke dalam kotak pensil.
Setelah dirasa sudah tidak ada barang miliknya yang tertinggal, Lova mengambil tas di kapstok samping kanan meja. Memasukan buku-buku pelajaran ke dalam tas yang diletakkan di atas meja lebih dulu baru menyisipkan kotak pensil pada bagian kosong di pojok kanan tasnya sambil sesekali tersenyum kecil atau menganggukan kepala sebagai balasan dari satu kalimat pendek bernada pamit yang dilontarkan oleh beberapa teman satu kelasnya.
"Peach?"
"Hmm?" gumam Lova pelan sambil menutup resleting hingga tasnya tertutup rapat.
Lova menoleh dan mendongak sedikit menatap Lila yang sudah berdiri di samping kanannya. "Kenapa, Lila?"
"Aku pulang duluan, ya peach. Ayah udah jemput soalnya."
Lova mengangguk pelan. "Oke, Lila." balas Lova sambil tersenyum manis.
Lila menatap Lova serius. "Kamu yakin, gak pulang bareng sama aku sama ayah aja, peach? Mendung gelap banget gitu, lho. Hujannya pasti bakalan gede banget nanti." kata Lila sambil menoleh ke arah jendela kelasnya menatap langit gelap yang sudah siap menumpahkan air hujan.
Lova mengangguk pelan. "Gak usah, Lila. Beneran, deh."
Lila menghela nafas pelas. "Kamu gak takut emangnya, peach?" Lila kembali menoleh menatap Lova yang juga sedang menatap langit. "Beneran, deh ini. Aku khawatir banget ninggalin kamu sendirian."
Lova menggeleng pelan dan menoleh menatap Lila. "Gak apa-apa, kok Lila. Lova berani. Percaya, deh. Lova juga ada bawa payung jadi gak akan kehujanan."
"Beneran, peach?" tanya Lila sambil menatap Lova tidak yakin. "Aku gak mau, lho sampai kamu nanti kenapa-napa, peach."
Lova mengangguk yakin. "Iya, beneran Lila ... makasih, ya tawarannya. Lova bisa nunggu di ruang musik, kok. Lagian udah biasanya juga kaya gitu, kan?" terang Lova sambil menunjukan senyum manisnya mencoba meyakinkan Lila agar sahabatnya itu tahu bahwa dia baik-baik saja dan tidak perlu mencemaskannya.
Lila menghela nafas samar dan tak lupa juga menganggukan kepalanya tanda setuju. "Yaudah, deh kalau kamu maunya kaya gitu. Aku duluan, ya. Bye, peach!" pamit Lila seraya berlari kecil keluar dari kelas dan melambaikan tangan kanannya.
"Bye, Lila! Hati-hati, ya!" kata Lova sedikit berteriak karena Lila hampir sampai di ambang pintu kelas.
"Oke!" balas Lila sambil melingkarkan jempol dan telunjuknya membentuk tanda OK.
"Salam buat ayah!" teriak Lova lagi sambil tersenyum kecil seraya geleng-geleng kepala ketika melihat Lila hanya mengangguk tanpa berhenti berlari kecil.
Lova beranjak berdiri sambil memakai tas di punggungnya. Keluar dari sela meja dan kursi kemudian berjalan menuju ruang musik yang lumayan jauh dari kelas.
-firstlove-
Suara jernih Lova yang selalu enak di dengar mengalun merdu mengisi setiap sudut ruang musik. Di ruangan yang didominasi dengan warna merah itu hanya ada Lova seorang. Mulai dari deretan kursi-kursi penonton yang tersusun dengan rapi secara bertingkat di lantai atas dan lantai bawah, karpet yang melapisi lantai hingga tirai penutup panggung pertunjukan.
Bicara rindu
Bicara haru
Luangkan ruang imajimu
Bernyanyi merdu
Bernyanyi sendu
Bebaskan birunya hatimu
Tanpa kata
Tanpa nada
Rintik hujan pun menafsirkan kedamaian
Hanya rasa
Hanya prasangka
Yang terdengar di dalam dialog hujan
Pada chord terakhir lagu berjudul Dialog Hujan milik Febry Rufiandhy alias Senar Senja Lova membuka kedua matanya yang terpejam. Perlahan mengangkat wajahnya dari gitar akustik yang ada di atas pangkuannya. Lova terdiam menatap ke arah kursi penonton dengan tatapan kosong sejenak. Tidak ada yang sedang dipikirkan, dia hanya ingin melamun saja. Lalu turun dari stools yang dia duduki dengan membawa serta gitar akustik. Lova beranjak meletakkan gitar akustik itu pada guitar stand di pojok kanan panggung.
Lova menghela nafas lelah seraya berbalik badan. Berjalan pelan menuruni panggung menuju salah satu kursi penonton di deretan paling depan mengambil tas yang diletakkan di sana dan langsung saja menggendongnya. Lalu Lova berjalan menaiki tangga keluar dari ruang musik yang tertutup rapat membuatnya terasing dari dunia luar. Lova sama sekali tidak bisa melihat dan mendengar apa yang sedang terjadi di luar ruangan yang juga kedap suara itu.
"Wah!!" seru Lova senang dengan suara pelan yang baru saja berdiri di luar ruang musik. Senyum lebar tersungging di bibir tipisnya. "Beneran hujan ternyata." gumam Lova lirih.
Lova Putri Alexander Archelaus adalah seorang pluviophile, a lover of rain; someone who finds joy and peace of mind during rainy days. Menurut Lova, hujan itu dapat berkomunikasi tanpa suara, tanpa kata, tanpa nada seperti dialog indah manusia bersama Tuhan di dalam do'a di setiap sujud. Memberikan kesejukan kala turun membasahi dunia lalu menyisakan aroma petrichor, the wonderful smell in the air after it's been raining. Aroma alami yang dihasilkan saat hujan jatuh di tanah yang kering. Aroma yang selalu bisa membuat perasaan menjadi damai. Hujan menyajikan panorama keindahan alam yang jarang terlihat karena jika beruntung akan muncul pelangi indah setelah hujan pergi.
Tangan kanan Lova mendorong dengan pelan pintu ruang musik di belakangnya hingga pintu besar yang terbuat dari kayu itu tertutup rapat tanpa mengalihkan pandangan dari tetesan-tetesan air hujan yang sedang jatuh. Suara gemericik air hujan membuat Lova tenang.
Hujan mengingatkan Lova pada sebuah puisi sangat populer berjudul Hujan Bulan Juni yang merupakan salah satu karya dari pujangga terkemuka di Indonesia yang kerap dipanggil dengan nama singkatan SDD, Sapardi Djoko Damono tahun 1989 dan diterbitkan dalam sebuah novel kumpulan puisi dengan judul yang sama pada tahun 1994. Lalu diangkat menjadi sebuah film layar lebar dengan judul yang sama pula di tahun 2017. Isi dari puisi sederhana namun penuh makna kehidupan itu kurang lebih seperti ini ...
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon berbunga itu
Bagi sebagian orang, hujan yang turun diartikan sebagai turunnya kembali sebuah kenangan yang pernah terjadi dengan seseorang di masa lalu. Baik itu kenangan indah ataupun kenangan buruk, tak terkecuali Lova.
Hujan terkadang turun bersama dengan halilintar yang menakutkan dan angin kencang yang memporak-porandakan. Hujan yang turun selalu mengingatkan Lova kembali tentang kenangan buruk di masa lalunya. Kenangan tentang seseorang yang memilih pergi dengan membawa serta sebagian penting di dalam hidupnya. Meninggalkannya bersama sesuatu yang bernama luka yang belum seharusnya dia rasakan. Meninggalkannya ketika kehadiran dari seseorang itu sangat dibutuhkan.
Dari hujan yang selalu mau kembali meski tahu rasanya jatuh berkali-kali Lova belajar untuk menjadi sosok yang kuat. Sosok yang tidak mudah menyerah dalam keadaan sesulit apapun itu. Belajar untuk membuang semua rasa bencinya pada seseorang yang memilih pergi meninggalkannya.
Lova maju beberapa langkah ke tepi koridor. Perlahan menjulurkan tangan kanannya menampung air hujan yang jatuh dari ujung genting atap ruang musik sambil mendongakkan kepala memandang air hujan yang turun dari langit. Senyum tak pernah hilang dari bibir Lova. Terdiam sejenak untuk merasakan hembusan angin yang menerpa wajahnya. Lova menarik tangan pelan lalu mengibas-ngibaskan untuk membuang sisa-sisa air hujan.
Lova mundur dua langkah seraya menggenggam tali tas di kanan dan kiri bahunya, berbalik badan ke samping dan berjalan melewati koridor-koridor yang sudah sangat sepi menuju gerbang sekolah. Matanya melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Pukul lima sore lebih lima belas menit. Raut wajah Lova langsung berubah menjadi terkejut dengan mata serta mulut terbuka lebar.
"Ya ampun! Keasikan lihat hujan sampai lupa waktu." gumam Lova pelan. Lova langsung mempercepat langkahnya, sesekali berlari kecil tak ingin membuat pria yang dia panggil dengan sebutan daddy itu menunggu terlalu lama.
Lova menghentikan langkahnya sejenak untuk mengeluarkan payung lipat warna eggshell dari dalam JanSport Superbreak Avocado Party Backpacknya ketika pintu gerbang besi besar sekolah sudah terlihat tidak jauh di depan. Lova hampir menyukai semua jenis warna hijau kecuali untuk warna hijau stabilo yang menurut dia sangat mencolok. Warna yang sangat tidak ramah dengan kedua mata minusnya.
-firstlove-
Lova berjalan riang di atas trotoar basah seraya bersenandung lirih menuju halte yang berada tidak jauh dari sekolah, tempatnya biasa menunggu jemputan. Untung mobil daddynya belum terlihat. Artinya, daddynya juga terlambat menjemputnya.
Lova tiba-tiba berhenti melangkah. Kedua matanya reflek memicing untuk memperjelas penglihatannya dengan kening mengerut dalam ketika melihat sosok anak laki-laki yang mungkin ... sebaya dengannya sedang duduk di atas trotoar dengan kepala menengadah ke atas dan kedua mata terpejam seolah tidak merasa terganggu dengan air hujan yang jatuh mengenai wajah. Anak laki-laki itu terlihat menekuk satu kakinya, sementara satu kakinya lagi diluruskan dengan tangan kanan diletakkan di atas lutut dan tangan kiri dibiarkan terkulai di sisi tubuhnya.
Lova memperhatikan penampilan anak laki-laki itu. Kemeja warna putih lengan pendek dengan sedikit lis warna biru melingkar di bagian atas lipatan jahitan lengannya, saku di bagian dada sebelah kanan terpasang bet logo sekolah warna biru, name tag warna biru dengan tulisan warna putih terpasang di atas saku dan semua kancingnya tidak dikaitkan ke dalam lubang kancing sehingga memperlihatkan kaos oblong polos warna putih di dalamnya yang tidak dimasukan ke dalam celana panjang warna midnight blue.
Tunggu-- tunggu dulu? Lova mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Mengapa ... seragam anak laki-laki itu mirip sekali dengan seragam di balik jaket baseball dia? Bedanya hanya ada pada rok a-line dengan double garis warna putih membentang secara horizontal dan vertikal membentuk motif kotak-kotak besar model lipit lima sentimeter di atas lutut warna biru serupa dengan warna dari bet logo sekolah yang sedang dia kenakan sekarang. Apa anak laki-laki itu sekolah di GCS juga?
GCS (Global Cetta School). Sekolah yang menawarkan pendidikan tingkat pre school hingga senior high dengan standar mutu internasional. Memadukan National Curriculum (K13) dengan International Cambridge Curriculum.
Global Cetta School menyediakan sarana dan prasarana yang sangat lengkap serta guru-guru profesional dan berwawasan internasional. Hanya anak-anak dari orang-orang dari kalangan tertentu saja yang dapat masuk dan menjadi murid di salah satu sekolah yang mematok biaya pendidikan yang tergolong sangat mahal itu.
Tetapi ... siapa anak laki-laki itu? Apa dia mengenal anak laki-laki yang sedang kurang kerjaan itu? Lova melanjutkan kembali langkahnya yang sempat terhenti dengan sedikit terburu-buru menghampiri anak laki-laki itu hingga tak menghiraukan genangan air yang dia pijak dengan kencang akan membasahi dan mengotori sepatu warna putihnya.
Lova berdiri di samping kiri anak laki-laki itu. Perlahan mencondongkan sedikit payung lipatnya yang tidak terlalu lebar untuk menutupi kepala anak laki-laki itu dari air hujan. Meskipun Lova sudah tahu payungnya tidak akan bisa melindungi seluruh tubuh mereka jika digunakan berdua. Lova tetap melakukan itu padahal sudah menyadari tindakannya sia-sia karena sekujur tubuh anak laki-laki itu telanjur basah kuyup. Sudah berapa lama anak laki-laki itu duduk di sana? Apa anak laki-laki itu tidak merasa kedinginan sama sekali? Setebal apa kulit anak laki-laki itu hingga tubuhnya tidak bergetar sama sekali? Lova menggelengkan kepala mengusir pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di dalam benaknya.
Merasa aneh karena tidak ada tetesan-tetesan air hujan yang mengenai tubuhnya lagi. Anak laki-laki itu perlahan membuka mata dan wajah Lova yang berada di depannya menjadi pemandangan yang dilihat pertama kali. Tatapan mata elang milik anak laki-laki itu bertemu dengan mata teduh milik Lova. Mereka berdua saling bertatapan. Terpaku.
Tbc.