Dalam tidurku ini, samar-samar aku mendengar suara riuh di ruang tamu.
Mata yang sedari tadi menutup, entah kenapa tiba-tiba melek dan ingin mencari tahu kegaduhan apa yang ada di luar sana.
Kulihat jam masih pukul empat subuh. Aku terdiam sesaat lalu bangkit dan memakai kerudung. Setelah itu dengan tubuh yang masih lemas aku keluar kamar untuk memeriksanya.
Baru saja ku langkahkan kaki, aku melihat pemandangan yang tak pernah aku lihat selama ini.
Bibi mengerang kesakitan dan terus memegangi perutnya.
Aku yang tadi masih loyo, entah kenapa seakan ada sekelibat angin yang tiba-tiba membuatku kembali bugar lalu segera menghampiri bibi.
"Bi, Bibi kenapa?" Tanyaku.
Bibi tak menjawabnya dan terus mengerang kesakitan. Kulihat dari daster yang bibi pakai, bawahnya nampak basah.
Aku seketika mengerti, sepertinya bibi akan segera melahirkan.
Paman yang sedari tadi di kamar bersiap-siap untuk membawa kunci lalu membopong bibi ke dalam mobil.
Ketika melihatku, paman memintaku untuk di sini saja.
Tapi aku enggan dan bersikeras untuk ikut mereka ke rumah sakit.
Akhirnya, paman mengiyakan juga permintaanku dan kami pergi ke sana.
Paman mengendarai mobil dengan cepat tapi teratur. Karena mungkin melihat reaksi bibi yang mengerang seperti itu, paman harus cepat-cepat membawanya ke dokter.
Rasa takut dan deg-degan seketika menyelimuti hati kami. Tangan bibi terus saja mencengkeram lengan bajuku karena mungkin sudah tak kuat.
Bak terbang, kami sampai di sana kurang lebih lima belas menit. Sekarang, paman tak lagi membopong bibi. Ketika keluar dari mobil, paman segera mengaisnya dan berlari kecil untuk meminta pertolongan pada suster.
Untungnya, pegawai di sini tatkala melihat keadaan genting yang terjadi pada kami, mereka segera membawa kasur dorong dan menidurkan bibi di sana lalu dengan cepat dibawa ke ruang persalinan.
Aku terus berjalan mondar-mandir di depan ruangan bibi, sementara paman sedang membayar administrasi entah di mana.
Hatiku begitu kalut dan tak tenang. Peluh juga terus saja menetes di pelipis.
Lagi-lagi, aku berharap pada Allah agar bibi dan bayinya bisa terlahir dengan selamat tanpa kendala apa pun.
Aku terus memeriksa jam pada ponsel yang sudah menunjukkan pukul lima. Itu artinya, aku sudah empat puluh lima menit mondar-mandir di sini dengan perasaan campur aduk.
Sementara paman hanya duduk tak jauh dariku. Mukanya merah dan memperlihatkan ekspresi yang begitu takut dan menegangkan.
Tak lama setelah itu, akhirnya penantian kami berujung juga.
Terdengar dari dalam sana sebuah tangis bayi yang kencang sekali.
Aku dan paman seketika sujud syukur tatkala mendengar suara itu.
Seorang suster pun ada yang keluar ruangan dengan wajah berseri-seri menghampiri kami. Katanya, kedua anak dan ibu itu lahir dengan normal dan selamat. Bayinya pun sehat dan gemuk.
Tak letih-letih kami mengucapkan kalimat syukur atas kebahagiaan yang telah Allah limpahkan pada kami di subuh ini.
"Sus, apa saya boleh menemui istri saya?" Kata paman penuh haru.
Suster itu tersenyum. "Silakan, pak. Anak dan istri bapak tengah menunggu bapak di dalam sana."
Setelah memakai pakaian khusus, aku dan paman segera masuk menemui bibi.
Aku terharu tatkala paman langsung memeluk bibi dan menciuminya dengan penuh cinta. Apalagi tatkala bayinya diserahkan oleh suster pada paman, tangis kedua orang tua ini tak bisa terbendung lagi.
Tanpa apa pun lagi, paman segera mengazani anak pertamanya itu dengan tangis haru.
Aku sampai menitikkan air mata melihat kebahagiaan mereka. Seakan ikut berada di posisi bagaimana rasanya mendapat anak setelah penantian belasan tahun.
Aku sungguh tak bisa membayangkannya.
"Selamat. Anak bapak dan ibu ini, laki-laki."
Paman dan bibi menyambutnya dengan penuh ciuman dan usapan kelembutan.
"Selamat datang, anakku." Ujar paman sambil menatapnya dengan penuh kasih sayang.
Aku menghampiri mereka berdua dan membelai rambut bayi ini. Wajahnya berseri-seri dengan bibir yang terus menyunggingkan senyuman kecil. Gemas sekali melihat bayi setelah sekian lama dari keluargaku tak ada yang memilikinya. Kulitnya putih kemerahan, pipinya gembul dan yang paling aku suka adalah rambutnya yang tebal dan hitam mengkilap.
Setelah beberapa lama kami saling melepas kerinduan, bayi itu dibawa oleh suster untuk disimpan di tempat bayi.
Baru kali ini aku melihat bibi dan paman yang begitu bahagia hingga tak banyak mengucapkan hal apa pun.
Dan karena melihat momen yang langka ini, aku bahkan hampir meninggalkan salat subuh. Kulihat jam, sudah pukul lima lewat sepuluh. Aku bergegas mencari mushalla untuk salat subuh di sana.
Untung saja aku bisa menemuinya dengan mudah.
Tak berselang lama, aku kembali melipat mukena dan menuju ke ruangan bibi lagi.
Di perjalanan, samar-samar dari ujung sana aku melihat seorang pria berjas putih tengah berjalan seperti situasi sedang genting.
Aku tahu, pria itu tak lain dan tak bukan adalah Hamzah.
Aku segera berlari menghampirinya.
"Hamzah?" Panggilku ketika sudah ada di belakangnya dengan jarak kurang lebih dua meter.
Dia membalik badannya dan begitu heran dengan kedatanganku.
"Reine, kamu dari mana?"
"Aku dari musola. Kamu sendiri sedang bertugas di pagi buta seperti ini?"
"Iya," melihat dari perilakunya itu dia seperti tengah terburu-buru.
"Hamzah, apa kamu sedang menangani pasien yang sejak lama kamu tangani itu?"
Dia terdiam sesaat, "iya."
"Apa sekarang dia masih ada di sini?"
Hamzah mengangguk.
"Apa aku bisa menjenguknya?" Kataku kemudian.
Dia terhenyak mendengar ucapanku. "Apa, menjenguk?"
"Iya. Boleh ya, antar kan aku ke sana?"
Aku tak tahu apa yang akan Hamzah katakan. Dia terdiam seperti tengah berpikir.
"Hamzah?"
"Ah iya?"
"Bagaimana?"
"Em...," Pandangannya ia lemparkan ke segala arah, "tapi...."
"Reine?" Aku tersentak sesaat ketika ada seseorang yang memanggil ku dari belakang.
Ketika aku menolehnya, ternyata paman.
"Iya paman, ada apa?"
"Apa kamu salatnya sudah?"
Aku mengangguk. "Memangnya ada apa?"
"Bibi mencarimu. Sebaiknya kamu segera ke sana."
"Oh ya? Baiklah aku akan ke sana." Sebelum itu, aku kembali membalik badan pada Hamzah. "Maaf, yang tadi tak jadi ya. Tapi kapan-kapan bisa, kan?"
Dia tersenyum. "Boleh."
Aku segera berlari meninggalkan mereka berdua pada bibi.
Ketika sampai di sana, aku melihat bibi sedang berbaring lemas dengan wajah yang terus menyiratkan kebahagiaan.
"Bi, ada apa?" Tanyaku ketika menghampirinya.
"Kamu dari mana?"
"Aku dari musola, bi. Memangnya kenapa, apa bibi butuh bantuan?"
"Tidak ada." Bibi tersenyum lalu menyuruhku duduk, "kamu di sini saja ya. Temani bibi."
"Ah iya bi. Aku pasti di sini temani bibi. Tadi aku hanya ke musola sebentar. Maaf ya, bi."
Bibi mengusap pipiku dengan lembut. "Tak apa. Bibi di sini bosan. Kalau ada kamu, suasana jadi berubah. Karena selalu saja ada perbincangan menarik." Ujarnya.
Aku terkekeh, "bibi juga sama kok, kalau aku sedang bosan. Bibi melakukan hal yang sama pula."
Bibi tertawa kecil sambil terus menatap mataku dengan lekat.
"Ada apa, bi?" Aku yang sedari tadi menyadari, dengan memberanikan diri menanyakan hal itu.
"Kamu kenapa? Seperti ada sesuatu yang dipikirkan?" Tanyanya kemudian.
"Oh em, tidak ada bi. Aku hanya sedikit khawatir dengan Alif."
"Memangnya kenapa?"
"Entahlah bi. Aku juga bingung. Di setiap Alif pergi meninggalkanku, hatiku selalu merasa tak tenang. Seperti ada yang mengganjal. Tapi aku tak tahu itu apa. Aku juga tak tahu harus melakukan apa."
"Apa Alif menghubungimu?"
Aku menggeleng. "Sudah dari dua hari kemarin dia tak menghubungiku."
"Apa kamu sudah menghubunginya?"
"Sudah bi, tapi tak apalah. Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Nanti pula dia pasti menghubungiku. Bibi tak usah memikirkannya."
Bibi memegang tanganku dengan lembut, "bibi sangat bangga padamu Rein. Kamu selalu sabar dengan hal yang tengah terjadi dan kamu hadapi saat ini. Pikiranmu selalu dipenuhi dengan hal-hal positif mengenainya."
"Iya, bi. Kalau tak seperti itu, sama saja aku telah mencekoki pikiran dengan hal-hal yang bisa membuatku takut sendiri. Padahal mungkin kenyataannya tak seperti itu."
"Benar sekali. Lalu bagaimana kedepannya?"
"Yaa nanti saja. Aku yakin A llif pasti menghubungiku," aku menggenggam tangan bibi yang terasa dingin, "sudah. Bibi jangan pikirkan itu lagi. Karena..., hari ini adalah hari penuh kebahagiaan bagi paman, bibi dan juga aku. Jadi jangan dulu membahas hal-hal yang membuat senyuman bibi ini," aku mencubit gemas pipi bibi, "mengerut. Ya?"
Bibi terkekeh. "Baiklah. Atas perintah nona, akan bibi laksanakan."
Aku tertawa kecil. "Eh bi, rencana anak bibi mau diberi nama siapa?"
Kulihat ekspresinya seperti tengah menahan tawa. Entahlah, bibi ini memang kuat. Meskipun baru saja melahirkan, tapi bibi tak pernah memperlihatkan kesakitannya seperti itu.
"Kamu mau tahu? Nanti saja. Yang pasti, akan bibi beri tahu." ujarnya kemudian.
...