2 Minggu kemudian...
"Alif, apa kamu sudah benar-benar sehat?" Tanyaku.
"Alhamdulillah. Aku sudah sehat."
"Baiklah kalau begitu. Aku tinggal kerja dulu, ya."
"Iya. Hati-hati ya, Rein. Nanti kalau kamu butuh jemputan, kabari saja aku."
"Oke." Aku melambaikan tangan padanya sebelum paman membawa mobil kami menuju kantor.
Di perjalanan, aku dan paman hanya mengobrol tentang kondisi Hamzah dan permasalahan Hamzah.
Aku yang hanya memiliki keterbatasan mengenai informasi itu, hanya menjawab semampuku saja.
Dan menurut Ayssa juga, hari ini Hamzah sudah melakukan rutinitas seperti biasa setiap harinya. Terkadang, Ayssa juga bercerita bahwa dia masih merasakan takut jika kakaknya itu jauh darinya.
Aku pun merasakan hal yang sama jika Alif tak bersamaku. Tapi lagi-lagi kita harus saling menguatkan dan selalu berpikir positif bahwa mereka berdua akan baik-baik saja.
Setelah itu, aku juga menanyakan pada paman mengenai kelanjutan para penjahat itu seperti apa.
Katanya, ketika di sel mereka sangat menguasai ruangan padahal mereka bisa dikata anak baru di dalam sana.
Semua para tahanan seketika tunduk pada ketiganya itu. Setiap kali meminta sesuatu tapi misal tidak dituruti oleh salah satu dari para tahanan itu, mereka tak sungkan untuk memukulinya atau menendangnya.
Mereka benar-benar sangat biadab. Aku sendiri bahkan tak mengerti, hatinya itu terbuat dari apa.
Karena ulah mereka yang membuat para tahanan lain yang ada di ruangan itu takut dan banyak yang mengadu, akhirnya ketiga pria itu dipisahkan dalam sel yang berbeda.
Tapi aneh, meskipun sudah dipisahkan. Rasa senioritas nya masih tinggi walaupun tak seperti saat-saat mereka masih bersama dalam satu sel.
Karena konon masih ada satu cerita dari para tahanan, yang melihat dengan jelas salah satu dari mereka itu menulis sebuah nama di tembok lalu memberinya tanda silang seperti sebuah tanda bahwa nama itu akan menjadi sasaran dia selanjutnya.
Ketika kutanya pada paman siapa nama itu, ternyata aku sama sekali tak menyangka. Bahwa penjahat itu menuliskan nama Alif.
Seketika hawa panas menyusup ke seluruh tubuh. Untung saja paman menenangkanku bahwa itu semua tak akan terjadi karena mereka akan selalu mendekap di bui selama belasan tahun.
Walaupun ada sedikit rasa tenang, tapi tetap saja seperti ada hal yang masih mengganjal dalam hati. Tentunya kekhawatiran pada Alif.
Tak terasa kami berbincang, ternyata aku dan paman sudah sampai di tempat tujuan.
Sebelumnya aku berterima kasih padanya karena telah mengantarku juga. Beliau hanya tersenyum penuh arti lalu segera masuk ke tempat kantornya sendiri.
Ketika aku menginjakkan kakiku pada teras kantor, entah kenapa hatiku tiba-tiba tak karuan.
Bayangkan saja, sejak lama aku tak bekerja di sini karena berbagai alasan. Mulai dari cuti sakit hingga perusahaan yang tiba-tiba ditutup sementara itu karena adanya kasus pencurian.
Baru saja diambang pintu, aku sudah disambut oleh beberapa rekan kerja lainnya. Ada yang memelukku, ada yang ingin menjabat tangan juga sekaligus menanyakan kondisi. Pokoknya banyak. Mereka semua memang ramah dan terlihat seperti tak ada rasa senioritas terhadap siapapun.
Aku sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan mereka ini.
"Reine?" Aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku sudah tahu dan tak asing lagi dengan suara itu.
Aku lantas menolehnya, "Ayssa? Sejak kapan kamu ke mari?" Tanyaku.
"Baru saja sampai. Bahkan ketika kamu keluar dari mobil, aku juga melihatmu."
"Oh ya?" Kataku sambil membereskan peralatan kerja yang sudah nampak berdebu ini.
"Iya. Tapi ya sudahlah. Apa kamu sudah sarapan?"
"Sudah," jawabku.
"Wah, masih pagi padahal ya."
"Ya karena kebiasaan bibi seperti itu. Bibi tak pernah membiarkan orang yang mau beraktivitas di luar perutnya kosong. Setidaknya makan dulu sesuap atau dua suap. Karena percuma kita banting tulang bekerja tapi tak ada energi dari dalam tubuh. Semuanya itu harus seimbang."
"Wah Rein," dia bertepuk tangan.
"Kenapa?"
"Caramu dalam menirukan suara bibi itu pas sekali dan aku suka. Sudah pantas kamu menjadi seorang ibu."
Seketika kami tertawa bersama.
"Oh iya. Aku tinggal sebentar, ya. Mau ambil nasi." Ujarnya kemudian.
"Oke." Jawabku sembari mulai mengecek file-file yang baru diberikan Ayssa tadi.
Sementara itu, aku tiba-tiba mendengar dering ponsel. Aku segera membukanya dan melihat Alif memberiku pesan di sana.
'Assalamualaikum, rein. Semangat kerjanya, ya. Aku berdoa semoga kamu selalu dalam kesehatan. Aku juga mau pergi, kamu tak usah khawatir. Aku di sana bersama orang-orang yang baik, kok. Sampai jumpa.'
Tanpa sengaja, bibirku tersungging senyuman tatkala membaca pesannya.
Segera aku membalas isi pesan itu kemudian menyimpan ponsel dan melanjutkan lagi pekerjaanku.
...
Alhamdulillah. Seluruh tugasku untuk hari ini telah selesai. Aku pulang lebih cepat dari biasanya hingga harus pulang duluan karena menunggu paman pasti membutuhkan waktu yang lama.
Setelah meminta pamit pada Ayssa, aku keluar dari kantor sambil menunggu jemputan taksi online.
Tak membutuhkan waktu yang lama, taksi itu sampai dan aku segera menaikinya.
"Ke jalan Taman Sari nomor 21, ya mbak?" Ujar bapak supir itu meyakinkan.
"Iya, pak." Aku menjawabnya dengan ramah.
Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang. Untungnya, sore ini jalanan tak terlalu ramai. Mungkin karena hujan gemericik, membuat para pengemudi khususnya roda dua memilih untuk berteduh terlebih dulu.
Sebenarnya, jalan dari ke rumah, taman, apotek, rumah sakit dan kantor itu searah. Jadi sudah biasa juga aku melewati tempat ini. Hanya saja jaraknya memang yang tak saling berdekatan. Dan ternyata aku baru tahu juga dari bapak ini bahwa ada jalan lain yang langsung menembus ke jalan rumah sakit. Jadi tak melewati dulu taman dan apotek. Dan jalan yang bapak supir bawakan ini terkesan lebih cepat dari jalan yang biasa aku lewati.
Ketika aku tengah memperhatikan jalanan dibalik jendela mobil, mataku seperti menangkap sosok pria tua yang sudah tak asing lagi aku temui.
Ya, itu Abah. Seketika pikiran ku merasa aneh, kenapa Abah ini mau ke rumah sakit. Memangnya siapa yang sakit? Bukankah Hamzah sudah pulang sejak satu Minggu yang lalu?
Aku segera meminta pak supir untuk menepi dan menghentikan mobilnya terlebih dahulu.
Setelah itu, aku berlari kecil untuk menemui Abah yang sedang berjalan di dekat gerbang pos depan.
"Abah?" Panggilku ketika sudah ada di belakangnya.
Abah menolehku dan seketika terkejut, "neng reine? Neng mau ke sini? Ada apa?"
"Tak ada apa-apa, bah. Tadi Reine mau pulang terus ngeliat Abah di mobil. Maka dari itu Reine ke sini."
"Ohh, kirain mau apa neng."
"Lalu abahnya ada masalah? Maksudku, Abah kenapa ada di sini?"
Kulihat tingkahnya tampak gugup dan kepalanya menunduk.
"Abah?" Tanyaku lagi.
"Ah iya neng? Anu..., emm..., abah mau jenguk orang."
"Jenguk orang? Siapa bah? Hamzah?"
"B-bukan...," Suaranya terbata-bata, "Abah mau jenguk saudara Abah."
"Ohh, memangnya sakit apa bah?"
"Cuma sakit biasa, neng."
"Oh ya sudah. Kalau begitu Reine antar ke dalam ya. Barangkali saja Abah sulit cari ruangannya nanti."
"Eh tak usah neng," timpalnya, "Abah bisa kok ke sana."
"Serius, bah? Rumah sakit ini luas, lho. Nanti Abah kesasar bagaimana?"
"Tak apa. Abah sudah biasa ke sini kok. Jadi Abah sudah tahu ruangannya, neng."
"Oh ya sudah kalau seperti itu. Reine pulang duluan ya, bah. Abah hati-hati ke sananya."
Abah tersenyum ramah. "Iya neng, neng reine juga hati-hati, ya."
Aku meminta izin pada Abah untuk meninggalkannya lalu masuk lagi ke dalam mobil.
Jujur, melihat reaksi Abah tadi. Aku sedikit aneh dan curiga, karena setahuku, Abah di sini tak memiliki saudara atau kerabat dekat kecuali Hamzah, cucunya.
Lain itu pula, aku melihat respon Abah yang nampak gugup ketika aku menanyakannya. Aku tak tahu, apakah Abah telah menyembunyikan sesuatu dariku atau tidak. Tapi bagaimanapun, aku begitu penasaran dengan tujuan Abah ke rumah sakit untuk apa.
Karena kalau menjenguk Hamzah, mana mungkin. Dia kan sudah sembuh?
Tak terasa, mobil yang ku naiki telah sampai di depan rumah bibi.
Aku segera turun lalu memberikan uangnya pada bapak itu dan meminta maaf karena tadi sudah menunggu
"Iya, mbak. Tak apa. Saya juga terima kasih, ya. Sudah melebihi uangnya."
Aku tersenyum. "Sama-sama pak. Bapak juga hati-hati, ya. Saya tinggal duluan." Ujarku lalu masuk ke dalam rumah.
Entah kenapa aku jadi teringat apa kata Ayssa waktu itu, untuk lebih mencari tahu seluk beluk tentang Alif.
Tapi maksud ku bukan ke Alifnya, tapi kepada Abah. Aku jadi sangat penasaran ingin mencari tahu tentangnya di rumah sakit itu karena melihat perilakunya tadi yang seperti tengah menyembunyikan sesuatu.
Entahlah. Tapi aku merasakan hal seperti itu.
Mungkin aku akan mencari tahunya ketika hari libur, agar lebih leluasa dan bisa mengajak Ayssa juga.