Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 51 - Teka-teki

Chapter 51 - Teka-teki

Aku duduk termenung di kamar sembari memikirkan hal yang tadi terjadi. Hal-hal keanehan pada Abah selalu saja mengusik pikiran.

Aku sampai heran mengapa Abah bisa bersikap seperti itu. Apalagi aku ingat, bahwa Abah sudah terbiasa pergi ke sana. Yang terus menjadi pertanyaanku adalah, kepada siapa Abah menemui seseorang di rumah sakit?

Tok tok tok

Seketika lamunanku buyar tatkala ada yang mengetuk pintu kamar.

Aku bergegas menghampirinya dan ternyata bibi yang mengetuk pintu ku.

"Rein," seperti biasa bibi selalu menyapaku tatkala saling bertemu.

"Iya, bi?" Tanyaku sambil memintanya untuk masuk ke dalam kamar.

"Apa tadi kamu sedang tidur?"

Aku tersenyum. "Oh tidak bi, aku hanya...."

"Hanya apa?" Sahutnya.

"Aku hanya sedang memikirkan sesuatu."

"Oh ya? Tentang?"

"Abah."

Bibi mengerutkan keningnya, "Abah?"

Aku mengangguk.

"Abah yang..., kakeknya Hamzah bukan?"

"Iya, bi. Yang pernah aku ceritakan saat itu."

"Memangnya, kamu tengah memikirkan apa tentang Abah?"

"Banyak sebenarnya bi. Mungkin bagi bibi aku tak usah ikut campur dalam urusan mereka. Tapi entah kenapa aku begitu penasaran dengan semua itu."

"Bibi tak mengerti Rein. Coba ceritakanlah."

Aku terdiam sejenak sambil berpikir dari mana dulu aku harus menjelaskan semuanya. "Awalnya bi..., tadi ketika aku di perjalanan pulang, aku melihat Abah sedang berjalan mau masuk ke rumah sakit."

"Terus?"

"Aku heran bi. Lalu aku meminta pak supir untuk menepi dulu. Karena aku ingin menanyakan nya pada Abah untuk apa dia ke sana. Dan setelah menepi, aku segera menghampiri Abah yang masih tak terlalu jauh. Ketika melihatku ada di sana waktu itu, aku bisa melihat reaksi Abah yang begitu terkejut dan gugup."

"Lalu setelah itu?" Sepertinya bibi mulai menikmati alur yang aku ceritakan padanya.

"Ya aku tanyakan saja kenapa Abah ada di sana waktu itu. Katanya, Abah akan menjenguk seseorang. Ketika aku berusaha menolongnya untuk ikut masuk juga ke sana, dengan maksud agar Abah tak kesasar, Abah malah gugup dan berkata bahwa dia sudah tahu ruangannya. Lagi pula dia suka ke sana. Jadi bantuanku tadi ditolak oleh Abah secara halus."

"Sebentar Rein. Yang Bibi heran itu, kenapa kamu penasaran dengan Abah?"

"Nah. Penasaran nya itu, aku tak tahu Abah akan menemui siapa bi di rumah sakit. Katanya mau jenguk saudara. Sementara yang aku tahu, Abah itu tak punya saudara atau kerabat terdekat di Bogor kecuali Hamzah, cucunya. Lagi pula kan bibi tahu, Hamzah sudah sembuh dan pulang dari rumah sakit sejak lama."

Kulihat bibi nampak berpikir, "kalau mendengar cerita kamu seperti itu, benar juga sih. Kok aneh ya, Abah bertemu dengan seseorang di rumah sakit."

"Iya, bi." Sahutku, "maka dari itu aku terus memikirkannya dan tak habis pikir dengan kejadian tadi."

"Lalu kenapa kamu tak mencari tahu?"

"Sulit bi. Bagaimana? Lagi pula aku tadi tak bisa melakukannya karena ditunggu oleh pak supir."

"Ya nanti kapan-kapan kalau kamu libur, coba iseng pergi ke sana di waktu kamu bertemu dengan Abah. Nah kalau kamu melihat Abah ada di sana, itu berarti ada sesuatu yang tak beres dan kamu harus mencari tahunya. Kalau tak ada, itu mungkin hanya sekadar kebetulan. Abah kan di samping rumahnya pasti punya tetangga. Barangkali saja tetangganya itu ada yang sakit dan Abah ingin menjenguknya. Dan bisa jadi juga kan tetangganya itu adalah saudaranya sendiri?"

Setelah dipikir-pikir, apa yang bibi katakan ada benarnya juga.

"Tapi bi kalau ceritanya seperti itu, kenapa Abah gugup saat aku tanyai hal-hal tadi?"

"Em..., mungkin Abah kaget karena kamu tiba-tiba ada di sana? Atau..., Ah entahlah. Bibi juga tak tahu. Lebih baik kamu pastikan saja dan ikuti saran bibi tadi. Agar semua rasa penasaranmu terpecahkan dan hatimu tenang juga."

"Iya juga bi. Nanti akan aku lakukan apa kata bibi." Jawabku sambil tersenyum.

"Ya sudah, kita makan, yuk. Bibi sudah siapkan kamu nasi goreng ati ampela."

"Benarkah bi?" Aku begitu senang mendengarnya tatkala mengucapkan itu. Karena memang, setelah peristiwa penculikan itu aku belum memakannya lagi.

"Iya, ayo." Bibi menggandeng tanganku keluar untuk makan di dapur bersama paman.

...

Tepat di hari Minggu ini, aku memutuskan untuk mencari tahu lagi teka-teki tentang Abah menurut saran bibi beberapa hari kemarin.

Aku segera ke rumah sakit pada waktu aku menemui Abah saat itu. Dan aku pula, menunggunya di sebuah kedai kecil yang bersebrangan dengan pintu gerbang masuk rumah sakit.

Di sini, aku ditemani dengan milk tea Dan kentang goreng sembari mata terus saja tertuju pada hiruk pikuk manusia di sekitar sana.

Mataku harus sigap melihat siapapun yang tengah berjalan, duduk, atau sekadar berbincang di dekat pos rumah sakit. Karena mungkin saja kalau tak seperti itu, aku bisa-bisa tak melihat kehadiran Abah.

Sore di kota Bogor hari ini gemericik hujan. Walaupun air yang ditumpahkan dari langit tak terlalu deras, tapi awannya nampak gelap seperti sudah menjelang magrib.

Aku terus memandangi sekitar berharap ada sosok yang tengah aku cari saat ini.

Aku juga melihat beberapa orang yang mulai masuk dan memenuhi cafe yang sedang aku tempati sekarang. Mungkin karena kehujanan, mereka butuh yang hangat-hangat.

Ya namanya manusia. Aku juga sering melakukan hal seperti itu.

Milk tea yang sedari tadi menemaniku hampir habis. Tapi tanda-tanda kedatangan Abah belum juga terlihat.

Aku berkali-kali melihat arloji dan ternyata sudah pukul lima. Itu artinya, sudah satu jam aku menunggu kehadiran Abah.

Mungkin apa yang bibi katakan saat itu benar. Barangkali saja abah sedang menjenguk tetangganya di rumah sakit.

Ketika semua makanan dan minuman sudah kupastikan habis, aku segera beranjak dari tempat dan pergi ke kasir, membayar makanan tadi lalu aku memutuskan keluar untuk pulang sambil menunggu taksi.

Tapi tak berselang lama, sebuah mobil berhenti di depanku. Aku sepertinya sudah tak asing lagi dengan mobil ini.

Ketika yang di dalam membuka kaca mobilnya, ternyata benar dugaanku.

Dia adalah Ayssa.

"Reine, kamu lagi apa di situ?"

"Aku lagi nunggu taksi."

"Taksi online?"

"Bukan. Taksi biasa. Kebetulan batere ponselku habis. Jadi aku nunggu taksi biasa saja."

"Ya sudah. Ayo masuk saja. Biar kuantar pulang. Lagi pula takut hujan nya tambah besar."

"Tak perlu ay-"

"Rein-" dia menyela ucapanku, "ayo masuk. Sebelum aku meneriakimu seorang penipu karena tak membayar taksi online." Candanya sambil tertawa.

"Ayssa, kamu ini." Dengan terpaksa aku mengikuti apa perintahnya lalu duduk di sampingnya.

Untung saja, ketika aku masuk ke dalam mobil Ayssa hujan tiba-tiba mengguyur kota Bogor dengan deras.

"Nah, Rein. Tuh kan apa kataku."

"Maksudmu?"

"Iya tadi kamu tak mau naik. Nah kan hujan juga."

Aku terkekeh. "Iya iya, maafkan aku. Instingmu memang kuat."

"Eh kamu baru menyadarinya?" Dia tertawa.

"Iya," jawabku lalu seketika mengingat sesuatu tentangnya, "eh Ayssa?"

"Iya?" Jawabnya sambil terus mengendarai mobil.

"Tumben kamu tak bareng sama Hamzah?"

"Ohh..., kaka lagi di rumah sakit."

"Kenapa?"

"Biasa, ngurusin pasiennya yang itu."

"Memangnya kakakmu itu sudah sembuh full?"

"Katanya sih sudah. Tapi terkadang kalau banyak gerak, tulang-tulangnya masih linu. Mungkin faktor dipukul keras saat itu."

"Ohh begitu...."

"Lalu tadi kamu ada apa di sana?"

"Tak ada apa-apa. Aku hanya mencari seseorang."

"Wah seseorang? Siapa rein?"

"Abah."

Dia menolehku sesaat, "apa? Abah?"

Aku mengangguk.

"Lho, emang apa salahnya dengan Abah?"

Aku menceritakan hal-hal yang membuatku penasaran tentang Abah pada Ayssa. Setelah semuanya kuceritakan, Ayssa juga merasa aneh dengan responnya itu.

"Lalu bagaimana Rein?" Tanya Ayssa setelahnya.

"Aku akan mencari tahu."

"Sendiri?"

"Iya."

"Lha, kok kamu tak mengajakku?"

Aku menoleh padanya. "Memangnya kamu mau ikut?"

Dia tersenyum lebar. "Ya pasti lah. Aku juga ingin tahu bagaimana akhir cerita dari rasa penasaran mu itu."

"Baiklah. Nanti kalau ada waktu libur, aku kabarimu lagi."

"Oke."

Tak terasa sedari tadi kami bercengkrama, aku sudah sampai di depan rumah.

Sebelum itu, aku berterima kasih pula padanya karena telah mau mengantarku pulang.

Ayssa meresponnya dengan baik. Justru dia juga merasa berhutang budi padaku karena telah menemukan Hamzah saat itu.

Sebelum dia pergi, aku melambaikan tangan padanya lalu masuk ke dalam rumah.

Ya walaupun hari ini rencanaku tak membuahkan hasil, tapi setidaknya aku berterima kasih pada Allah karena telah mengirimkan Ayssa padaku untuk mengantarku pulang.