...
15.30
Aku baru saja sampai rumah. Rasanya lelah sekali pulang sekolah sesore ini. Apalagi, ada banyak tugas yang belum terselesaikan. Pai, sejarah, inggris, bahasa Arab, dan masih banyak lagi. Setelah keringatku mulai mengering, dengan segera aku mandi, mengganti baju, sholat dan mulai menyelesaikan beberapa tugas. Setidaknya, aku harus menyelesaikan setengah dari tugas-tugas ini agar nanti malam aku bisa tidur nyenyak dan tidak terlalu larut.
Tepat pukul 16.30, setengah tugasku selesai. Aku segera membereskan buku-buku dan menyimpannya dalam lemari. Tak lupa, aku pun bersiap-siap memakai kerudung. Aku juga menyiapkan 3 roti selai keju di dalam rantang. Setelah berpamitan kepada ibu, aku lantas pergi ke rumah Alif.
Sebenarnya, aku juga pergi ke rumahnya sekaligus ingin menanyakan kondisi abah, dan juga menanyakan mengapa Alif tidak sekolah. Biasanya, ketika dia tidak sekolah, dia akan mengabariku di malam hari sebelumnya. Aku sempat heran, di sekolah tadi aku berusaha menelponnya tapi tak ada jawaban sama sekali. Sebelum aku pergi tadi juga, aku berusaha menelponnya lagi, tapi tak diangkat. Jadi, aku pergi saja ke rumahnya untuk memastikan apakah dia baik-baik saja atau tidak.
Untungnya, jarak rumahku dengannya tidak terlalu jauh. Jadi hanya dengan waktu 5 menit, sekarang aku sudah ada di depan pintu rumahnya.
Sedikit ragu, aku mencoba mengetuknya.
Tapi, tidak ada jawaban.
Aku coba mengetuknya untuk yang kedua kali dengan tempo sedikit keras.
Dan sama, tidak ada jawaban lagi.
Aku menunggu beberapa menit. Mungkin saja Alif sedang di kamar mandi dan tidak mendengarku. Aku juga sudah menelponnya beberapa kali, tapi sama saja tidak ada sahutan dari lelaki itu. Atau mungkin dia sedang sholat? Yaa dari pada aku mengganggunya, lebih baik aku tunggu saja sembari memainkan hp. Sesekali aku melirik rantang yang kubawa, sebenarnya aku lapar sekali. Sengaja tadi sepulang sekolah aku tidak makan, agar aku bisa makan bersama Alif.
Oke, Reine. Sudah hampir 10 menit kamu menunggu.
Aku bangkit dan akan mengetuknya lagi.
Tapi, kudengar dari balik pintu ada seseorang yang membuka kunci.
Aku tersenyum ketika dia membuka pintu. "Assalamualaikum." Kucoba menyapanya dengan ramah.
Dia juga tersenyum kecil. "Waalaikumussalam."
Aku mencoba melirik isi rumahnya. Sebenarnya aku mencari seseorang di dalam sana. Tapi sepertinya orang itu tidak ada.
Alif melihatku kemudian berkata, "Abah tidak ada di sini."
Aku lantas terkejut. "Maksudmu? A-abah tidak ada?"
Dia mengangguk.
"Tadi siang, Abah berpamitan pulang kepadaku."
"Kenapa kamu tidak mencegahnya? Abah masih sakit. Dan kamu membiarkannya pergi?"
"Sebenarnya aku sudah melarangnya pergi. Tapi Abah bersikeras untuk pulang."
Awalnya aku sedikit kesal.
"Tapi aku sudah membekalinya nasi, makanan, air minum, dan uang yang cukup untuk Abah bisa pulang ke Bogor. Dan oh iya, obat yang aku belikan kemarin juga sudah aku simpan di tasnya."
"Tas?" Tanyaku.
"Iya, Aku membelikannya tas."
"Tapi Alif, kenapa kamu gak bilang? Setidaknya aku ingin ngobrol sedikit dengan Abah sebelum dia pulang."
"Maaf Reine. Abah memaksaku untuk membiarkannya pergi. Aku tak bisa berbuat apa-apa."
"Tapi setidaknya,-" Aku langsung mengingat tujuanku kemari. Untuk menanyakan kabarnya, bukan malah berdebat dengannya. Lagi pula, Alif sudah bertanggung jawab pada Abah. Aku sepenuhnya percaya pada dia. Dari kemarin Abah juga ingin pulang. Yaa sudah, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya berdoa semoga Abah sehat selalu dan bisa bertemu dengan cucu-cucunya.
"Sudah, lupakan." Aku bergegas membawa kunci dan menutup pintunya.
Alif sedikit heran. "Reine? Kamu mau ke mana?"
"Kita harus pergi ke tempat itu. Sebentar lagi setengah 6. Lagi pula, aku ingin berbicara banyak hal kepadamu."
Alif tak menjawab sepatah kata pun. Dia hanya mengangguk dan mengambil sendal dari rak kemudian pergi. Sementara kunci rumahnya masih di tanganku. Aku kemudian menyusulnya dan oh iya! Rantang! Aku kembali membawanya lalu mengejarnya lagi.
•••
Alif begitu menikmati roti yang aku hidangkan untuknya. Sebenarnya, sudah melihatnya seperti ini saja rasa laparku seperti sudah terisi 3 roti besar. Tapi Alif memaksaku untuk memakannya. Ya sudah, aku mengikuti sarannya.
Angin seakan terus membelai kami. Iringan biola bernada minor yang dia putar di hpnya sukses membuat kami terlarut dalam alunan syahdu. Langit sore mulai memancarkan sinar. Aku semakin senang melihatnya tersenyum dengan helaian rambutnya yang terhembus angin.
"Alif?" Aku membuka obrolan.
"Ya?" Jawabnya tanpa memandangku.
"Apa aku boleh bertanya?"
"Silakan." Jawabnya lagi dengan keadaan yang sama.
Aku menjeda perkataan. Sedikit ragu dan tanpa melihatnya, aku mencoba berkata, "kamu kenapa tadi tak sekolah?"
Aku sempat melihat dari ujung mata reaksi Alif yang langsung terdiam dan tidak lanjut memakan roti.
"Dan kamu juga tak jawab telponku."
Dia melanjutkan lagi mengunyah rotinya. Belum menjawab pertanyaanku.
"Kenapa? Apa ada sesuatu?" Kali ini aku memandangnya.
Dia sempat terdiam beberapa saat. Aku tidak memaksa Alif untuk menjawabnya, maka dari itu aku hanya diam dan melihat langit yang mulai menampakan jingganya.
Aku rasa, dia memang tidak ingin menjawabku. "Ya sudah, kalau kamu tidak ingin menjawabnya juga tak apa." Aku membereskan rantang dan hendak pergi. "Ini sudah sore, kita harus pulang."
Dia menghentikanku dan menyuruhku untuk duduk kembali.
"Aku tadi mengantar Abah ke dokter untuk cek kondisinya sebelum Abah pergi. Urusan aku tidak mengabarimu, maaf sekali. Sejak pagi aku tidak membuka ponsel sama sekali."
Aku bernapas lega. Saat ini seakan ada angin lembut yang masuk ke dalam rongga hidungku. Dia menjelaskan semuanya Reine. Kamu jangan lagi bertanya apa pun padanya. Semuanya sudah jelas.
"Oh, ya sudah. Tidak apa-apa."
Aku mengajaknya pulang. Tapi dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, Reine."
Aku duduk kembali. "Ada apa?"
Dia memandangku sekilas kemudian menatap langit.
"Aku mohon, untuk beberapa menit ini, izinkan aku menghabiskannya bersamamu. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan. Dan apa kamu mau mendengarkannya?"
Aku tersenyum. " Baiklah."
"Menjawabnya?"
Aku mengangguk mantap.
Dia menghembuskan napasnya berat. Aku tahu dia akan berkata sesuatu kepadaku. Aku menunggunya sambil menatap langit.
"Apa aku bisa terus bersamamu?" Katanya yang sontak membuatku kaget.
"Alif, pertanyaan macam apa ini?"
Dia menunduk. Lalu aku melihatnya tersenyum kecil.
"Ya jelas kita akan selalu bersama. Aku akan terus bersamamu dalam berbagai hal dan peristiwa. Sudah lama pula kita menjalani persahabatan ini. Jadi mana mungkin aku melupakannya."
"Kalau misalnya aku pergi?" Pertanyaan ini mampu membuat mataku memanas.
Aku berusaha tersenyum. "Aku akan terus mengingatmu walau mungkin suatu saat nanti kamu akan meninggalkanku."
"Benarkah?" Kulihat hidungnya memerah. Matanya mulai berkaca-kaca. "Meski aku tak kembali?"
Aku mengangguk. "Dan untuk kedepannya, kamu jangan mengatakan hal ini lagi kepadaku, ya. Karena kita akan selalu bersama. Apapun rintangannya, kita akan hadapi dan jalin bersama."
Dia mengangguk.
"Itu artinya kamu akan selalu menemaniku?"
"Selalu."
"Janji?"
"Janji."
Alif tertawa kecil. Dia sangat bahagia atas jawabanku. Aku pula ikut bahagia melihatnya. Kami tertawa, tapi kami pula menangis. Dan secara tidak sengaja, kedua tangan kami sama-sama mewadahi air mata kami yang sedang jatuh.
Kami tertegun. Lalu tertawa kembali.
"Lihat, senja pula sepertinya bahagia melihat kita."
"Iya. Senja seakan memberi ruang kepada kita untuk semua ini. Aku sangat senang Reine. Terima kasih. Kamu memang segalanya untukku." Alif tersenyum.
"Eh, kok kamu nangis?" Aku memberikannya sapu tangan. "Jangan nangis. Kita dan senja sedang berbahagia saat ini."
Dia menggelengkan kepalanya. "Kamu juga nangis, Reine." Dia mengusap air mataku dengan sapu tangannya, "aku selalu patah melihat seorang wanita menangis di depanku. Apalagi kamu."
Aku tersenyum lagi dan lagi. Sebenarnya aku terharu sekali mendengarnya berkata seperti ini. Bagaimana tidak, dia tipe lelaki yang tidak banyak bicara. Apa yang dia katakan to the point, tak pernah berkata manis atau pun gombalan yang membuat seorang wanita terkesima.
Tapi aku menyukai tipe seperti itu.
Dan pada saat ini, dia mengatakan hal yang tak pernah aku duga sama sekali.
"Seperti senja. Yang selalu datang dengan saat yang singkat, dan pergi dengan waktu yang lama."
"Maksudmu?" Kataku memperjelas.
"Oh tidak." Dia tertawa kecil, "aku menyukai senja. Tapi aku takut senja tak bisa menemaniku. Dan sebenarnya cukup ada dua senja saja di dalam hidupku. Senja yang ada di atas langit, yang hanya bisa aku lihat ketika sore. Dan... Senja yang ada pada dirimu, yang mampu aku lihat setiap hari."
"Tapi aku selalu menemanimu."
"Ya. Kamu adalah pelengkap senja ketika aku membutuhkannya di waktu pagi, siang atau malam."
Aku tertawa kecil.
"Aku berkata benar." Katanya dengan raut sedih.
"Ya aku percaya. Aku, akan selalu percaya dengan semua ucapanmu."
"Tapi, aku takut aku tak bisa bertahan."
"Kamu tidak usah takut. Kita akan meraih senja bersama-sama. Dan aku ibaratkan di sini, senja adalah mimpi. Mimpi yang akan terus kita kejar, walau dengan waktu yang terbatas, tapi kita akan mengejarnya. Semua harapan dan mimpimu. Semua harapan dan mimpiku. Kita akan meraihnya bersama-sama."
"Tapi sebenarnya, harapanku hanya ingin selalu bersamamu. Menghabiskan hidupku denganmu, dan mimpimu yang akan kita kejar bersama. Berdua." Ucapku di dalam hati.
"Mendengar semua ucapanmu, seakan ada pencerahan yang masuk ke dalam hidupku. Terima kasih sekali lagi, Reine. Kamu memang satu-satunya orang yang mampu mengubah hidupku."
"Ya, dengan segala kecuekanmu, aku mampu mengubahmu menjadi pribadi yang berbeda."
"Benar sekali. Aku saja sempat heran kepada diriku sendiri, mengapa aku bisa berubah seperti ini, oleh orang yang dulu belum sepenuhnya aku kenal."
"Alif, biarkanlah itu menjadi misteri. Kamu pun mampu merubahku dalam beberapa hal yang sebenarnya sulit aku ubah oleh diriku sendiri. Yang terpenting, kita akan selalu bersama, dan semoga kita diciptakan memang untuk bersama."
"Semoga."
Warna senja semakin menampakkan dirinya. Aku terduduk antusias memandang langit, sama seperti Alif.
Aku pula tak berhenti berterima kasih kepada Allah. Karena tak ada satupun ciptaan-Nya yang sia-sia. Baik seperti senja, maupun seperti dia, Alif.
Ya Allah, terima kasih. Terima kasih karena engkau telah mengirimnya padaku. Rekatkanlah hubungan kami. Landaskanlah kasih sayang antara kami hanya kepada-Mu.
Kepada Engkau, sang pencipta senja dan kami berdua.
•••