Chereads / Tangisan Rindu / Chapter 5 - Rencana

Chapter 5 - Rencana

5 tahun kemudian...

"Gimana Rein, apa keputusanmu?" Di pagi buta ibu sudah menanyakan hal ini lagi kepadaku. Rasanya ingin sekali aku mengelak untuk menjawab semua pertanyaannya. Tapi bagaimana, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Pun belum ingin juga membicarakannya dengan jelas mau seperti apa dan bagaimana ke depannya. Yaa walau sepertinya aku harus sabar karena ibu akan selalu menghujaniku pertanyaan yang sama sebelum aku menjawabnya dengan jelas.

"Emm, gatau bu." Jawabku singkat.

"Kamu ini ya, dari Minggu kemarin ibu tanya masih aja jawabannya gatau bu, gatau bu, kamu ini maunya apa sih?" Kudengar dari cara ibu bicara sudah mulai kesal dengan ucapanku. Oh ibu, andai kau pun paham perasaanku, aku juga kesal mendapat pertanyaan seperti itu lagi dan lagi. Bahkan, aku tak tahu harus menjawab apa, dan melakukan apa agar bisa menghindar dari pertanyaan yang sama sekali tak terduga olehku.

"Reine?" Ucap Ibu.

"Iya bu?"

"Pokoknya Ibu gak mau tahu. Ibu harus dapat keputusannya sekarang!" Ibu akan pergi dari kamarku namun aku segera menghalanginya.

"Bu, kenapa ibu seperti ini? Kenapa ibu tak mau mengerti?" Pintaku memelas.

Ibu terdiam. Aku segera mengajaknya duduk dan berusaha menenangkannya. "Kita lebih baik bicara pelan-pelan, ibu dengarkan penjelasan aku mengapa aku tetap diam, dan aku akan mendengar penjelasan ibu mengapa ibu bersikukuh. Bagaimana?" Kulihat ibu tidak merespon ajakanku. Matanya terfokus pada satu titik. Ketika aku akan mengambil air minum untuknya, ibu malah memegang tanganku.

"Apa alasanmu?" Suara ibu begitu tegas terdengar di telingaku. Aku kembali duduk, berusaha mencari kata-kata yang pas agar Ibu bisa mengerti dan tidak tersinggung.

Aku menghela napas pelan-pelan,

"Sebenarnya... ketika aku sulit atau bimbang memutuskan masalah, itu artinya aku tak mau melakukannya, bu."

"Maksudmu?"

"Maksudku-" Ibu langsung memotong pembicaraanku.

"Kamu tak mau mendengar ucapan Ibu? Kamu tak mau nurut sama ibu, hah?"

Spontan mataku mulai memanas.

"Ibu, maksudku bukan seperti itu. Aku berusaha menuruti semua perintah dan keinginan Ibu, tapi untuk ini,"

"Apa?"

Padahal aku sudah mencoba menahan air mata, tapi ketika aku akan menjawab, tangisku pecah seketika."Aku tak mau melakukannya, bu. Mohon mengertilah."

"Mengerti katamu?" Ibu tersenyum sinis, "dengar Reine. Kamu adalah anak ibu, harapan ibu satu-satunya. Tentunya ibu ingin melihat kamu bahagia. Dan satu-satunya pilihan adalah itu, kamu harus mematuhinya."

"Tapi aku tidak bahagia, bu. Apa ibu tak pernah mengerti perasaanku?" Timpalku.

"Memang apa masalahnya kamu menuruti saja perintah ibu? Semua akan bahagia kalau kamu menjalaninya dengan baik."

"Tapi bu aku tak bi-"

"Kenapa?"

Aku terdiam. Memandang wajah ibu yang merah padam.

"Kenapa?! Ayo jawab!"

Seketika aku mengingat sebuah perjanjian. Kala itu, di sore hari kita saling berjanji untuk sebuah ikatan yang tak akan pernah lepas. Dan sampai saatnya kita menyaksikan sama-sama matahari tenggelam. Kita tertawa, bahagia, saling bercerita satu sama lain, yang mungkin semua itu sulit kita ulangi kembali.

Aku masih ingat, ketika pertama kalinya kami bertemu. Dia sosok yang pendiam, cuek, dingin dan tak mau berdekatan atau berteman lebih dengan siapa pun, termasuk salah satunya aku.

Saat itu aku pernah mencoba mendekatinya, aku masih ingat ketika SMP kelas 1, aku adalah pribadi yang senang memiliki banyak teman. Aku juga ceria, bahkan ada beberapa orang yang menganggapku sebagai orang yang tak memiliki masalah sedikit pun dalam hidup. Aku hanya nyengir saja meresponnya. Aku berpikir, terkadang kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita seakan uang. Banyak orang yang menyukai, banyak orang yang mencari, mengejar, tanpa tahu sebenarnya arti uang sendiri tidak berarti, tidak bernilai, untuk orang-orang yang banyak memilikinya namun tidak bahagia dalam hidup. Uang sangat berarti bagi sebagian orang, tapi ada kalanya ketika terbakar atau sobek sebelah, nilai keartian sudah tidak ada lagi untuknya. Mereka menilaiku sebagai pribadi yang baik, sehingga sebagian dari mereka ada yang ingin sepertiku. Tapi, sayangnya bagi orang yang seutuhnya memilikiku menganggapku sebagai pribadi yang buruk dan tidak berarti.

Kembali lagi dengan cerita ketika aku mendekatinya. Dia begitu acuh melihatku. Aku mengajaknya bicara, dia hanya mengangguk atau ketika apa yang aku ucapkan tidak menurutnya, dia hanya diam. Awalnya aku kesal dan sakit hati melihat sikapnya yang memang sepertinya tidak mau berteman denganku atau dengan orang lain. Sampai suatu saat, aku memutuskan mengikutinya ketika pulang sekolah. Dan dia ternyata tidak pergi ke rumahnya, melainkan ke sebuah tempat di mana banyak sekali pohon di sisi kanan atau kirinya, lalu ada pondok kecil, kursi taman kecil, yang langsung berhadapan dengan langit senja. Di tempat itulah saat indah yang pernah aku lakukan bersamanya 5 tahun yang lalu. Saat kami melihat senja bersama-sama.

"Apa hidupmu akan terus seperti ini?" Dia melihatku dan terkejut.

"Hei! Kamu, kamu ada di sini?"

"Apa masalahnya?" Aku berusaha tenang dan menganggap tidak ada kesalahan apa pun.

"Kamu mengikutiku, ya?"

Aku sempat terdiam. "Ya, aku mengikutimu."

Selidik punya selidik, aku melihat keanehan di wajahnya. Hidungnya memerah, dan matanya sedikit sembab.

"Eh kamu habis nangis?"

Dia tertegun lalu meninggalkanku sambil berdecak kesal. Melihatnya seperti itu, rasa penasaranku kian membuncah dan ingin lebih mencari tahu teka-teki kehidupannya. Aku mencoba mencari cara agar dia mau menerimaku dalam kehidupannya. Setidaknya sebagai teman.

"Tempat ini sangat bagus dan... Ya aku menyukainya." Aku duduk di kursi itu dan memperhatikannya. Dia masuk ke sebuah pondok dan membawa barang-barang.

"Hei kamu mau kemana?" Sergahku.

"Tempat ini sudah tidak aman lagi. Aku harus segera pergi."

"Kamu tidak bisa pergi sebelum kamu menjawab semua pertanyaanku."

"Aku tidak peduli." Dia tetap pergi.

"Baiklah. Itu artinya kamu tidak pernah menghargai wanita. Padahal kamu juga lahir dari seorang wanita." Saat itu aku tak bisa mengontrol ucapanku. Yang mana ucapanku ini membuatnya diam dan kembali menemuiku.

"Apa maksudmu berkata seperti itu?"

"Kamu tidak pernah bisa menghargai orang yang ingin mengenalmu. Baik itu laki-laki atau perempuan, kamu menganggap semua orang itu adalah beban di kehidupanmu dan kamu tak mau mengenalnya."

Dia terdiam.

"Mengertilah. Kamu diciptakan untuk saling mengenal satu sama lain. Kita adalah makhluk sosial, saling membutuhkan. Allah juga mengirimmu ke dunia karena melihatmu mampu menjalani kehidupan sebagai manusia yang utuh dan normal seperti yang lain. Kalau kamu memutuskan hidup seperti ini, kapan kamu bahagia?"

Dia menatapku. "Aku hidup bukan untuk mencari kebahagiaan."

"Lalu untuk apa?"

"Untuk sebuah perjuangan. Yang aku harus mengejarnya sesaat sebelum orang menyesal atas kehilanganku."

Aku tertawa kecil. "Menyesal?"

Dia melihatku.

"Untuk apa mereka menyesali orang yang tak pernah mau berteman?"

"Sebenarnya aku juga ingin berteman. Tapi,"

"Apa?" Ujarku.

"Keadaan yang membuatku seperti ini." Dia terduduk lemas. Air matanya mulai mengalir. Aku sungguh tak percaya melihatnya seperti ini. Dia ternyata begitu lemah, cengeng, tak seperti yang aku kira dan tak seperti yang dia tunjukan kepada orang-orang.

"Ma-maafkan aku. Aku tak bermaksud membuatmu seperti ini."

"Aku selalu ingin merasakan bagaimana rasanya pertemanan. Aku ingin bahagia, aku ingin tertawa sepertimu dan orang lain, aku ingin tersenyum ceria sepertimu, bahkan aku ingin seperti kalian. Tapi... Aku tak bisa dan aku takut, Reine." Dia menangis.

Aku terkesiap. Sungguh dia mengetahui namaku? Itu artinya... Dia, dia tak seperti yang aku pikirkan. Dia ternyata tahu namaku. Berarti dia setidaknya mendengarkan ucapan atau cerita-cerita orang tentangku dan tentangnya. Aku baru menyadarinya saat itu, dia sosok pria yang berbeda dan unik. Hanya saja aku harus lebih mencari tahu banyak hal tentangnya.

"Kamu tak usah takut. Kehidupan tak selamanya memberi duka. Ketika kamu memutuskan untuk bergaul dengan orang-orang, kamu akan merasakan bagaimana indahnya pertemanan dan kebahagiaan. Lagi pula aku percaya, ketika kamu tidak seperti ini lagi, orang mudah menerimamu. Apalagi... Banyak orang yang memujimu dan menyukaimu karena wajahmu tampan. Tapi mereka takut mengungkapkannya karena melihat kondisimu yang seperti ini."

Dia masih terisak. "Orang hanya menilaiku dan ingin mendekatiku karena ketampanan. Coba saja aku tidak tampan, mungkin mereka menjauhiku."

Aku tersenyum. "Tidak semua."

"Bagaimana kamu tahu?" Tukasnya.

"Ada orang yang ingin mencari teman hanya karena ingin tahu lebih banyak pengalaman. Ada orang yang selalu bahagia di hadapan semua orang hanya dengan tujuan menciptakan kebahagiaan di sekitar. Tapi ada kalanya mereka kesepian, ingin mencari teman yang bisa mengerti bukan hanya tentang kebahagiaannya saja, tapi penderitaannya pula. Semua sikap yang mereka lakukan hanya seakan topeng untuk terlihat baik-baik saja di hadapan semua orang."

"Aku tahu itu kamu." Dia tiba-tiba berkata seperti itu.

Aku tersenyum, tiba-tiba saja air mataku pun mengalir. "Kamu mengerti perasaanku. Dan aku pun mengerti perasaanmu. Mengapa kita tidak berteman saja?"

Dia terdiam. "Mana mungkin orang sepertimu mau berteman denganku?"

Aku menghela napas. "Melihat tempat seperti ini, pondok kecil, pohon, angin sejuk, aku merasa nyaman berada di sini. Sama ketika aku pertama kali mengenalmu, aku langsung tertarik dan ingin mencari tahu tentangmu lebih jauh."

"Tapi aku selalu menyakiti hatimu."

"Ya aku tahu. Tapi aku yakin itu bukan sifatmu yang asli."

"Inilah sifatmu yang sebenarnya."

"Reine? Reine!" Aku tersentak kaget ketika Ibu memanggil namaku. "Kamu mikirin apa sih? Ibu nyuruh kamu buat bilang alasan kamu, bukan nyuruh kamu melamun."

Aku menghela napas dan memegang tangannya.

"Ibu, aku memutuskan untuk tetap di sini dan tidak mau pergi ke mana pun, seperti ibu yang memaksaku untuk pergi ke Bogor." Aku sedikit menjeda perkataanku, "aku sudah mengikat janji di sini. Mana mungkin aku melanggarnya."

"Janji? Janji kamu bilang? Janji apa?!"

"Aku akan terus bersama Alif dan menunggunya datang."

"Dasar bodoh!" Ibu menepis tanganku, "ingat satu hal Reine. Ibu akan melakukan apa saja agar kamu melupakan Alif."

"Ibu jangan pernah melakukan it-"

"Diam!"

Tangisku pecah lagi. Aku tak kuasa harus berbuat apa. Keputusan ini begitu sulit bagiku. Bagaimana aku harus menyelesaikannya? Ya Allah, bantu aku.

"Ibu tak mau mendengar alasan konyolmu lagi tentang Alif. Dia tak akan pernah kembali, Reine! Kamu harus sadar! Kamu membuat dirimu sendiri bodoh hanya karena menunggu lelaki seperti Alif! Dia telah membuatmu seperti mayat hidup selama lima tahun ini!"

"Tapi aku yakin dia tidak seperti itu, bu. Mungkin ada alasan lain dia pergi yang belum sempat dia katakan lalu berpamitan padaku. Aku juga yakin dalam beberapa hari ini dia akan kembali."

"Halah! Kamu memikirkan semuanya pakai hati. Coba pakai logikamu juga, Reine! Alif itu tampan. Mungkin saja dia pergi untuk mengadu nasib. Kamu sekarang seperti ini, bisa saja di sana dia bahagia dan menemukan kehidupannya yang lebih baik? Atau mungkin saja dia sudah menikah?"

Aku terkejut.

"Sekarang camkan baik-baik. Ibu beri kamu waktu 15 menit untuk membereskan semua barang-barangmu lalu pergi ke Bogor. Di sana sudah ada bibimu yang menunggu!"

"Tapi bu-"

"Tak ada tapi-tapi!" Ibu menyentakku. "Kalau dalam 15 menit kamu belum menyiapkan apa pun, terpaksa ibu mengirimu ke luar negeri dan jangan pernah kembali lagi ke sini sebelum kamu bahagia. Paham!"

Ibu menutup pintu kamarku dengan keras. Aku menangis. Sangat menangis. Mengapa Ibu tega memisahkanku dengan Alif? Aku yakin dia akan kembali. Mengapa dunia tidak berpihak padaku? Padahal aku yakin Alif bukan orang yang seperti itu.

Aku mulai membereskan baju-bajuku ke dalam koper. Aku juga membawa beberapa benda yang aku butuhkan untuk nanti di laci lemari. Ada satu laci yang selalu aku tutup dan tak pernah aku buka dalam 5 tahun terakhir. Di dalamnya banyak sekali kenangan dan ceritaku bersamanya. Aku membuka laci yang sudah berdebu itu dengan pelan. Ketika sudah terbuka, segera aku memeluk semua foto dan album yang ada di sana. Aku histeris. Lemas. Sulit menerima kenyataan bahwa aku harus mengingkari janjiku sendiri kepadanya. Berulang kali aku meminta maaf padanya lewat foto, semoga suatu saat nanti dia mampu memaafkanku setelah dia kembali.

Semua barangku sudah ada di koper. Rasanya berat sekali meninggalkan kota yang penuh kenangan ini. Apalagi Alif, tempat yang selalu kami datangi, dan cerita-cerita di dalamnya. Mana bisa aku melupakannya dan mana mungkin pula aku mengelak perintah ibu. Ibu sebenarnya mengirimku ke Bogor agar di sana aku bahagia. Tapi sebenarnya, bu. Di sinilah aku bahagia. Di sinilah aku mendapat kehidupanku yang sebenarnya. Mengapa Ibu tak mengerti apa mauku?

Mobil yang mengantarku sudah datang. Ibu mengajakku ke depan dan memelukku. "Maafkan ibu, Reine. Semua ibu lakukan demi kebahagiaanmu. Ibu harap kamu bahagia."

Aku menangis dan menangis ketika mobil akan membawaku pergi. Aku tak bisa menahan diriku sendiri ketika melewati rumah Alif yang tampak berdebu dan kotor. Aku langsung mengingat saat-saat terakhir ketika bertemu dengannya pada senja hari itu, lima tahun yang lalu. Sungguh indah dan penuh misteri.

"Alif, kamu di mana? Andai saja kamu tak pergi, mungkin semuanya tak akan menjadi seperti ini." Batinku menjerit.

...