Chereads / Perjanjian Ketiga / Chapter 5 - Kolomengo

Chapter 5 - Kolomengo

Pukul satu kurang lima belas menit. Siang itu di ruang tunggu dokter praktek kandungan di sebuah Rumah Sakit Swasta di Kota Solo terasa panas bagi Wibi. Udara dingin yang berhembus dari kotak-kotak pendingin udara disetiap sudut ruangan itu tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa pada tubuh Wibi. Mungkinkah saraf-saraf perasa dingin di kulit tubuhnya telah mati rasa? Dan hawa panas yang membalut tubuh Wibi ini mengapa tidak memunculkan setitik keringat pun di kulit tubuhnya?

Keanehan ini menyebabkan rasa gelisah yang perlahan-lahan mencengkeram hatinya. Detak jantung Wibi berpacu dengan detak detik jarum jam dinding di ruang tunggu tersebut. Entah mengapa Wibi merasa tidak nyaman selama duduk menunggu di kursi itu. Ini tidak wajar dan pasti akan terjadi sesuatu begitu pikir Wibi.

Berkali-kali dia mengubah posisi duduk dan menggeser pantatnya untuk mencari posisi yang nyaman di kursi. Karena ketidaknyamanan itu pula Wibi tidak memperhatikan nomor urut antrian periksa untuk istrinya. Tiba-tiba salah seorang perawat jaga berdiri di belakang mejanya sambil menyebutkan nama Ratri, istrinya.

"Ibu Ratriningtyas! Silakan masuk!"

"Ayo, Rat ... ini giliranmu," kata Wibi gugup. Wibi segera menggandeng tangan Ratri dan mengajaknya masuk ke dalam ruang praktek dokter. Mereka disambut oleh seorang perawat yang langsung menyuruh duduk di kursi pasien. Sang dokter masih terlihat muda dan mungkin juga masih muda dalam pengalamannya.

"Ada keluhan apa?" tanya dokter muda itu sambil membetulkan letak kacamatanya dan menatap Ratri.

"Tidak ada keluhan apa-apa, Dok. Cuma kontrol rutin biasa." Dokter itu kemudian membaca buku riwayat periksa kandungan Ratri. Terlihat dia mengerutkan dahinya dan memperhatikan Ratri lagi.

"Ini kontrol yang ke berapa?" tanya dokter.

"Yang ketiga, Dok," jawab Ratri.

"Bukankah dokter itu sudah membaca buku kontrol? Dan mestinya sudah tahu. Kenapa mesti tanya segala?" Wibi hanya bisa menggerutu dalam hati. Sementara rasa gelisah itu belum juga mau keluar dari pikirannya.

Wibi mencoba bersikap tenang saat sang dokter mempersilakan Ratri berbaring untuk diperiksa kandungannya. Dibantu perawat itu lagi, sang doktetr mempersiapkan alat Ultra Sonografi (USG) untuk melihat perkembangan bayi yang ada di dalam rahim Ratri. Dokter muda itu kemudian menempelkan alat sensor USG pada perut Ratri. Matanya memperhatikan layar monitor kecil berwarna hitam putih di depannya tanpa berkedip. Terlihat dia mengerutkan dahinya kembali dan berkali-kali menggerakkan alat sensor itu untuk mencari-cari posisi yang bagus untuk melihat gambarnya.

Agak lama dokter itu mengamati gambar calon bayi di layar monitor USG. Wibi memperhatikan mulut dokter muda itu bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu. Dan sepertinya dia tidak puas dengan hasil pemeriksaannya sendiri. Lama dokter muda itu memperhatikan gambar di layar monitor. Kemudian ditekannya tombol-tombol pada monitor tersebut dan tak lama kemudian muncul dua lembar foto ronsen hasil sensor USG. Dokter itu mengambilnya dan menuju meja kerja. Dengan serius dia mengamati kedua foto tersebut. Wibi mengikuti dan duduk di depan mejanya. Sejenak mereka terlihat diam. Sementara itu Wibi masih tampak gelisah sambil memperhatikan raut wajah sang dokter.

"Ada apa, Dok?" Wibi penasaran dan mencoba bertanya padanya. Tapi dia tidak memperoleh jawaban sepatah kata pun.

Dokter muda itu tetap diam dan pandangan matanya tidak bergeser sedikitpun dari kedua foto ronsen itu. Sikap dokter muda itu membuat Wibi semakin gelisah. Tak lama kemudian Ratri menyusul dan duduk di sampingnya. Dia juga ikut memperhatikan dokter itu. Dengan harap-harap cemas dia menanyakan keadaan bayi di perutnya.

"Bagaimana bayi saya, Dok?" tanya Ratri.

"Calon bayi ... itu baru calon bayi!" jawab sang dokter sambil menatap tajam mata Ratri.

"Ee ... iya, Dok, calon bayi. Terus calon bayi saya kenapa, Dok?" tanya Ratri gugup sambil melirik ke arah Wibi.

"Calon bayi ibu baru berusia tiga bulan. Tapi ini kelihatan kecil sekali. Dan besarnya tidak sesuai dengan usia kandungan Ibu." Dokter itu diam sejenak. Kemudian mengalihkan pandangannya ke foto ronsen. "Bisa dikatakan bahwa embrio ini sudah tidak berkembang!" lanjut sang dokter muda.

"Tidak berkembang? Terus ... terus bagaimana, Dok?" tanya Ratri khawatir.

"Tidak ada jalan lain. Harus dikuret!"

"Apa, Dok? Dikuret? Bukankah itu sama saja dengan digugurkan?" tanya Wibi dengan nada meninggi.

"Iya ...!" jawab dokter itu dengan suara berat dan menatap tajam mata Wibi.

"Dikuret ...? Tidak ...! Tidak ada kamus dalam hidupku untuk menggugurkan kandungan isteri. Pasti ada jalan keluarnya!" kata Wibi setengah berteriak.

Sementara itu Ratri hanya bisa terduduk lemas di kursi. Sedangkan Wibi berada dalam puncak kegelisahan. Rupanya peristiwa inilah yang memicu timbulnya getar-getar gelisah yang dirasakan Wibi semenjak mereka tiba di ruang tunggu pasien tadi.

Saat itu Wibi merasa bagaikan di sebuah goa yang gelap dan lembab. Suasananya terasa begitu mencekam. Dia melihat dokter itu berubah menjadi hantu Wewe Gombel yang siap untuk menculik embrio bayi dalam kandungan Ratri dan membawanya pergi entah kemana.

Wibi berteriak sekuat tenaga, tapi hanya desahan-desahan yang keluar dari mulutnya. Tenggorokannya begitu kering bagaikan gurun pasir di pantai selatan dengan gumuk-gumuk pasir yang menyumbat jalan nafasnya. Wibi tidak berdaya melawan keadaan ini. Keringatnya bercucuran meski berada di ruangan berhawa dingin. Tangannya berusaha meraih bayi Ratri yang telah berada dalam gendongan Wewe Gombel tersebut.

Beberapa saat lamanya Wibi larut dalam halusinasi pikirannya. Ketika sebuah tangan menepuk pundaknya dan suara lembut terdengar di telinganya menyadarkan bahwa dia sebenarnya masih berada di ruang praktek dokter muda itu.

"Ayo, Mas. Kita pulang," ajak Ratri. Pandangan mata Wibi kembali normal. Dia menarik napas panjang dan hawa dingin dari alat pengatur udara perlahan-lahan memenuhi rongga dadanya. Wibi merasa segar kembali dan melihat ke sekeliling ruangan. Pandangan matanya berhenti pada dokter muda itu. 

"Silakan datang lagi secepatnya. Calon bayi isteri bapak harus segera dikuret!" katanya sambil memberikan foto ronsen USG tersebut.

***

Sampai di rumah Ratri langsung menuju kamarnya tanpa menghiraukan Mbok Sum yang sedang duduk santai di ruang tamu.

"Isterimu kenapa?" tanya Mbok Sum merasa heran melihat Ratri.

"Ada masalah pada jabang bayinya, Mbok. Kata dokter, calon bayinya tidak berkembang dan harus dikuret," jawab Wibi.

"Itu akibat kalian tidak mau menuruti kata-kata simbokmu ini," kata Mbok Sum dengan nada datar sambil menatap tajam ke arah Wibi. Wibi merasa Mbok Sum sedang marah dan  menyalahkan Wibi karena tidak mau menuruti kata-katanya.

"Kalian harus menebus kesalahan kalian sendiri dengan membuat sesajen!" lanjut Mbok Sum. Wibi hanya bisa diam mendengar permintaan Simboknya. Segera dia meninggalkan Mbok Sum di ruang tamu dan menyusul Ratri masuk ke dalam kamar.

Wibi menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Sementara itu Ratri duduk termangu di depan meja rias sambil mengelus-elus perutnya. Sejenak suasana hening di kamar mereka.

"Tiga bulan lebih waktu yang sia-sia ...." Ratri membuka pembicaraan. Kata-kata itu terasa tanpa semangat. Pandangan mata Ratri menatap kosong ke arah kaca rias. Sementara tangannya terlihat mengelus-elus perutnya yang sudah tampak sedikit membesar.

"Tidak ...! Tidak ada yang sia-sia! Kita periksa ke dokter kandungan yang lain. Mungkin masih ada harapan," kata Wibi sambil bangun dan duduk di tepi tempat tidur.

Tiba-tiba Ayu yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak masuk ke kamar dan sempat mendengar pembicaraan mereka. Bergantian dia memandangi kedua orang tuanya.

"Ada apa, ayah, ibu ... kok mau periksa lagi ke dokter yang lain? Adik kenapa?"

"Adik tidak apa-apa ...." jawab ayahnya sedikit tersenyum dan membelai rambutnya. Ayu tersenyum kemudian memeluk ayah ibunya. Terpancar kegembiraan dalam wajah polosnya.

"Hore aku akan punya adik!" teriaknya sambil berlari keluar dari kamar lagi.

Wibi dan Ratri hanya bisa saling pandang melihat kegembiraan Ayu, anak pertamanya. Suasana kembali hening tapi pikiran Wibi tetap berputar memikirkan masalah ini.

"Mas, masih ingat kata-kata simbok tadi sebelum kita berangkat?" tanya Ratri tanpa menoleh ke arah suaminya. Hanya tatapan mata sayu yang terlihat oleh Wibi dari pantulan cermin meja hias.

"Ini hari apa?" Wibi menjawab pertanyaan Ratri dengan pertanyaan juga.

Cepat-cepat dia berdiri dan menghampiri kalender yang tergantung di dinding kamar tidurnya. Dia mengamati tulisan kecil di bawah angka pada kalender tersebut.

"Selasa Kliwon ...!" teriak Wibi. Dia berbalik lagi dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Pikirannya kacau.

"Apakah ini akibat aku dan Ratri melanggar pantangan itu? Seandainya aku tidak tahu adanya pantangan itu dan Simbok tidak memberitahu, pasti pantangan itu tidak terjadi. Apakah ini yang disebut kolomengo?" tanya Wibi dalam hati.

Wibi teringat istilah kolomengo dalam kepercayaan Jawa. Di buku Primbon disebutkan bahwa kolomengo adalah sebuah ucapan atau ujaran. Ucapan peringatan akan terjadinya kesialan atau musibah setelah disebutkan sebuah pantangan atau larangan dan sengaja dilanggar oleh yang mempunyai hajat. Mungkin kata-kata Mbok Sum tadi bertindak sebagai kolomengo-nya dalam kejadian ini. Tetapi bagi Wibi, dia tetap berkeyakinan bahwa kejadian ini bukan suatu kebetulan tapi sudah menjadi kehendak Gusti Alloh.

Wibi menghela nafas panjang dan mencoba berpikir tenang untuk mengatasi masalah ini. Pandangan matanya menyusuri langit-langit kamar dan terhenti pada sebuah bola lampu di atas sana ....

"Rat, kita coba periksa ke dokter sepuh. Beliau dokter kandungan paling senior di kota ini dan sudah banyak pengalaman," kata Wibi memberi usul.

"Tapi hasil USG-kan mestinya sama meskipun ganti dokter," kata Ratri kurang bersemangat.

"Mungkin dokter muda tadi kurang teliti dan kurang pengalamannya untuk kasus seperti ini. Kita coba ke sana ya, Rat? Kita berusaha dulu, selebihnya kita serahkan kepada Gusti Alloh apa yang akan terjadi pada calon bayi kita."

Wibi terus berusaha meyakinkan Ratri untuk mengesampingkan kolomengo yang telah diucapkan oleh Mbok Sum. Dia memberi semangat pada Ratri agar tetap tegar menghadapi peristiwa ini. Ratri pun membalas dengan senyum manisnya. Dia mencoba menepis jauh-jauh kekhawatiran akan kehilangan anak keduanya.

*****