Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 09.30 ketika Mbok Sum menuju ruang tamu sambil membawa sepiring pisang goreng.
"Ini Simbok buatkan pisang goreng," kata Mbok Sum sambil meletakkan piring yang berisi beberapa potong pisang goreng dan serbet makan di meja.
"Terimakasih, Mbok," jawab Wibi.
"Nanti berangkat periksa jam berapa, Nak?"
"Jam sepuluh, Mbok, sekalian jemput Ayu dari sekolah."
"Baguslah ... belum terlalu siang. Supaya beduk Zuhur sudah sampai rumah kembali."
"Iya, Mbok, diusahakan."
Wibi segera mengambil sepotong pisang goreng dan menghabiskannya. Beberapa saat kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan berpamitan pada Mbok Sum untuk menjemput Ayu dari sekolahnya. Dari sekolah Ayu, Wibi segera menuju tempat Ratri mengajar. Dia sudah ditunggu di sana.
"Ayu pulang aja, ya. Tidak usah ikut ke rumah sakit. Anak kecil tidak boleh ke sana," bujuk Ratri pada Ayu.
"Kenapa tidak boleh, Bu? Aku ingin melihat adik," kata Ayu.
"Belum boleh, nanti bisa dimarahi pak dokternya." Wibi ikut membujuknya. Ayu terlihat cemberut karena keinginannya tidak kesampaian.
"Ayu ...! Ayah dan ibu cuma sebentar. Ayu nemeni Simbok membuat bancakan untuk adik, ya?" bujuk Ratri. Tetapi Ayu masih diam saja.
"Nanti ayah belikan es krim," janji Wibi pada Ayu. Seketika Ayu mengangguk dan tersenyum menyetujui tawaran ayahnya. Mereka bertiga segera kembali ke rumah untuk mengantarkan Ayu pulang. Setelah itu Wibi dan Ratri melanjutkan perjalanannya.
Setengah jam kemudian mereka telah sampai di rumah sakit. Wibi menuju loket pendaftaran pasien sementara Ratri menuju ruang tunggu pasien dokter kandungan. Terlihat dua orang pasien sudah menunggu di sana. Satu pasangan muda seperti Wibi dan Ratri dengan usia kandungan mungkin sudah mencapai delapan bulan. Terlihat dari perut perempuannya yang sudah begitu besar. Satu lagi seorang perempuan duduk sendirian. Dia berpakaian rapi dan sebuah tas kulit kecil tergantung di pundaknya. Jari-jemarinya asyik menari-nari diatas layar gadgednya. Tetapi tidak terlihat tanda-tanda kehamilan pada tubuhnya. Setelah mendaftar dan mendapat nomor urut periksa Wibi segera menyusul istrinya.
"Dokternya sudah datang, Mas?"
"Belum, sebentar lagi. Kata perawatnya baru kunjungan pasien." Wibi duduk dengan meluruskan kedua kaki dan sedikit merebahkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Capek, Mas?" tanya Ratri. Wibi mengangguk dan sebentar kemudian memejamkan matanya. Perlahan-lahan dia membuka mata dan pandangan matanya menerawang ke langit-langit ruangan.
"Tidak kerja kok malah capek. Sini aku pijitin sebentar sambil nunggu dokternya," kata Ratri.
Sekali lagi Wibi hanya mengangguk dan mengalihkan pandangan matanya ke arah Ratri. Terlihat senyum manis menghias wajah Ratri. Hari ini dia terlihat begitu cantik. Bahkan lebih cantik dari hari dan bulan kemarin.
Wibi membetulkan posisi duduknya sementara Ratri mengubah posisi duduknya menghadap ke arah Wibi. Dan tanpa menunggu persetujuan Wibi tangan Ratri telah memegang pundaknya dan perlahan-lahan mulai memijit. Suasana hening sejenak. Wibi teringat kata orang-orang kalau perempuan hamil terlihat lebih cantik dan berseri-seri itu pertanda bayi yang dikandungnya berjenis kelamin perempuan.
"Calon anak kedua kita perempuan, Rat," kata Wibi membuka pembicaraan.
"O ya? Kok tahu, Mas?"
"Kata orang dengan melihat ibunya. Kalau terlihat lebih cantik dan berseri berarti bayinya bakal perempuan. Seperti kamu, Rat."
"Hmm ... kalau lagi dipijit, gini deh ... merayu," kata Ratri tersenyum.
Tetapi ada yang tidak bisa disembunyikan oleh Ratri. Tangannya terasa lebih dingin dari biasanya ketika menyentuh leher Wibi. Menandakan ada sesuatu yang membuat gundah hatinya.
"Kamu kenapa, Rat? Sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu?" tanya Wibi. Sementara Ratri menghentikan pijatannya. Sejenak dia hanya diam sambil memandang Wibi.
"Ratri ...?"
"Eh, iya, Mas. Dokternya belum datang juga ya? Keburu beduk Zuhur. Nanti kita pulangnya bagaimana, Mas?" Wibi hanya tersenyum mendengar pertanyaan Ratri. Karena Wibi melihat dokter itu sudah datang dan masuk ke ruang prakteknya.
"Ya ... pulangnya biasa saja. Banyak kok yang melakukan perjalanan saat itu. Jamannya sudah berubah, Rat. Kamu jangan terpengaruh terus dengan perkatakan Simbok," jawab Wibi mencoba menenangkan perasaan Ratri.
"Tapi, Mas. Bukankah perkataan Simbok tadi pertanda kolomengo lagi bagi kita?"
"Berpikir logis saja, Rat. Jangan semua dihubungkan dengan hal-hal gaib dan lelembut. Jangan sampai pikiranmu tersugesti dengan itu semua sehingga akan memicu munculnya halusinasi atau kejadian misteri dalam kehidupan kita. Yang ujung-ujungnya kamu akan disuruh melakukan ritual bancakan dan sesajen lagi."
"Sebenarnya aku juga begitu, Mas. Tetapi Simbok selalu mengingatkan akan tradisi leluhur tersebut ...."
"Ibu Ratriningsih ... silahkan masuk ruangan." Tiba-tiba terdengar nama Ratri disebut oleh perawat.
Wibi menggandeng istrinya masuk ke ruang praktek dokter kandungan. Dilihatnya dokter senior itu duduk di belakang mejanya di dampingi seorang perawat muda dan cantik yang berdiri di sampingnya.
"Mari, Bu, silahkan duduk. Ada keluhan apa?" tanya dokternya. Wibi dan Ratri segera duduk di depan meja dokter tersebut.
"Tidak ada, Dok," jawab Ratri.
"Kalau begitu langsung saja di USG," kata dokternya sambil mempersiapkan peralatannya. Sementara itu Ratri dibantu seorang perawat berbaring di samping alat USG tersebut. Tak lama kemudian terlihat gambar embrio dua dimensi di layar monitor.
"Usia kandungan ibu sudah enam bulan lebih ... tepatnya dua puluh enam minggu. Sehat dan normal, posisi kepala sudah di bawah dan sepertinya bayi ibu perempuan." Ratri tersenyum lega mendengar penjelasan dari dokter senior itu. Dia melirik ke arah Wibi sambil tersenyum.
Wibi berharap keadaan ini perlahan-lahan dapat menghapus sugesti lelembut dalam pikiran Ratri dan meredam peran lelembut dalam kehidupan anak keduanya kelak. Ratri pun keluar dari ruangan dengan wajah berseri-seri.
"Kita langsung pulang saja, Mas. Kasihan Ayu kalau terlalu lama menunggu," ajak Ratri.
"Pelan-pelan saja, Rat. Ini baru saja beduk Zuhur," jawab Wibi.
Ratri hanya tersenyum mendengar jawaban Wibi. Ekspresi wajahnya tetap ceria tanpa menunjukkan rasa kekhawatirannya meskipun Wibi menyebut waktu beduk Zuhur. Sepertinya dia berhasil memperbaiki tembok dalam pikirannya sehingga mampu meredam sugesti lelembut dan mengurungnya bersama tradisi leluhur di dalamnya.
*****
Kumandang adzan Zuhur terdengar dari masjid di pojok pertigaan jalan di sebelah timur rumah Mbok Sum. Udara panas dan diselingi angin hanya sesekali saja bertiup menerbangkan butiran-butiran debu di jalanan. Cuaca kian panas dirasakan Mbok Sum yang sedang duduk di ruang tamu dengan perasaan gelisah. Raut mukanya terlihat tegang seperti sedang memikirkan sesuatu. Berkali-kali dia berdiri dan menengok ke luar rumah menanti kedatangan Wibi bersama Ratri.
"Sudah hampir bedug Zuhur dan mereka belum juga pulang. Sepertinya mereka sengaja tidak mau menuruti pesanku. Hmm, baguslah kalau begitu. Mudah-mudahan aku mendapat alasan untuk membujuk Ratri agar mau melakukan ritual sesajen untuk baurekso jika benar-benar terjadi sukerta lagi pada mereka," gumam Mbok Sum. Dia kembali berdiri dari tempat duduknya dan melempar pandangannya ke luar rumah. Tiba-tiba saja seekor cicak terjatuh ke bahu kiri Mbok Sum.
"Jabang bayi ...!" teriak Mbok Sum kaget.
Mbok Sum terlihat mendekapkan kedua tangan di dada sambil memperhatikan seekor cicak buntung yang baru saja jatuh dan meloncat dari pundaknya. Cicak buntung itu berlari cepat dan menghilang di bawah kursi ruang tamu.
"Jatuhnya cicak buntung itu dapat aku jadikan alasan lagi untuk mempengaruhi Ratri," kata Mbok Sum dalam hati. Pandangan matanya masih tertuju ke bawah salah satu kursi ruang tamu hingga tidak menyadari kedatangan Wibi bersama Ratri.
"Mbok ...? Simbok sedang apa di sini?" tanya Ratri keheranan melihat sikap ibunya yang berdiri mematung di depan pintu.
"Oh, kamu Ratri. Kamu sudah pulang? Slamet to Nduk, tidak ada apa-apa?" tanya Mbok Sum.
"Pangestunipun)* Mbok. Tidak ada apa-apa," jawab Ratri.
"Syukurlah kalau begitu. Sebenarnya Simbok khawatir kalian pulang pas waktu beduk Zuhur, apalagi tadi Simbok kejatuhan cicak," Mbok Sum memandangi Ratri.
"Memangnya ada apa kalau kejatuhan cicak, Mbok?" tanya Ratri.
"Itu pertanda buruk. Akan ada kesialan menimpa keluarga Simbok," jawab Mbok Sum dengan nada pelan agak berat. Dia mencoba mempengaruhi Ratri kembali.
"Simbok jangan berprasangka jelek dulu. Mungkin cuma kaki cicak itu yang tidak kuat menempel di dinding atau di atap rumah hingga terjatuh dan kebetulan saja mengenai bahu Simbok."
"Kamu itu selalu saja membantah nasihat Simbok dan kepercayaan leluhur!" kata Mbok Sum dengan nada agak tinggi.
Ratri mencoba tersenyum untuk meredakan emosi ibunya. Bukan maksudnya membantah hanya saja kepercayaan itu belum tentu kebenarannya.
"Bukan begitu, Mbok. Itu kepercayaan orang-orang jaman dulu. Sekarang situasi dan kondisi jaman telah berubah. Semua itu sudah tidak bisa dijadikan pegangan lagi."
"Memang jaman sudah berubah, Nduk. Tapi jangan terus melupakan tradisi leluhur. Kejadian di kehidupan itu sudah ada hitungannya sendiri-sendiri menurut kepercayaan leluhur dulu dan itu masih tetap berlaku hingga sekarang," kata Mbok Sum mencoba memberi pengertian pada Ratri.
"Tapi, Mbok. Jangan terus mengaitkannya dengan hal-hal gaib dan keburukan." Wibi ikut nimbrung pembicaraan beliau, "doakan kami dan calon cucu Simbok supaya tidak mendapat kesusahan di kemudian hari, ya, Mbok."
Mbok Sum hanya diam mendengar perkataan Wibi. Sorot matanya menunjukkan rasa kekecewaan pada Wibi dan Ratri karena tetap tidak mau menuruti nasihat Simboknya tentang tradisi leluhur.
"Iya, Mbok. Doakan kami yang baik-baik saja. Bukankah perkataan seorang Simbok merupakan doa bagi anak-anaknya. Dan itu diijabahi)* oleh Gusti Alloh," kata Ratri.
Ratri memandang ibunya dengan tatapan lembut dan tersenyum kemudian pergi menuju kamarnya. Mbok Sum bergegas menuju dapur menyelesaikan kegiatan memasaknya untuk acara bancakan nanti sore. Sementara Wibi tetap di kamar tamu menemui Ayu yang sedang asyik bermain dengan boneka dan peralatan anak-anakan yang lain.
Catatan :
Pangestunipun : berkah
Diijabahi : dikabulkan
*****