Sepertinya lelembut itu sudah mengambil perannya. Lelembut itu terseret masuk kedalam situasi ini karena pengaruh sugesti pikiran Mbok Sum. Kemudian mempengaruhi pikiran Ratri untuk mempercayai kembali tradisi leluhur dengan melaksanakan ritual sesajen. Begitu juga dengan Wibi meskipun ada batas antara tradisi leluhur dengan keyakinannya bahwa makhluk gaib atau lelembut itu tetap ada, tapi batas itu sangatlah tipis sekali.
"Apakah Simbok juga lupa membuat sesajen? Biasanya setelah pertengahan bulan. Tapi ini ... sudah hampir akhir bulan. Aku akan menanyakannya pada Simbok," kata Ratri lirih. Dia seperti memikirkan sesuatu dan bergumam sendiri.
Wibi tak bisa mendengar semua kata-kata itu tetapi dia melihat ekspresi kegelisahan di wajah Ratri. Tetapi Wibi sempat mendengar sedikit ada kata sesajen disebut oleh Ratri. Sesaat pandangan mata Ratri berkeliling ruangan. Dia terlihat menghela nafas panjang ketika beradu pandang dengan Wibi.
"Mas, mungkin Simbok lupa membuatkan bancakan weton untuk calon anakku ..." katanya dengan pandangan sayu.
Pandangan mata itu seperti menyiratkan akan runtuhnya tembok penghalang yang telah sekian lama mengurung tradisi leluhur dalam pikirannya. Wibi membalas pandangan mata isterinya dengan senyuman dan mencoba memberi semangat padanya. Wibi hanya bisa berharap agar Ratri tidak memukul-mukul genderang keraguan dalam hatinya yang dapat menggetarkan tembok penghalang itu.
"Ratri ... hilangkan keraguanmu. Ada atau tidaknya bancakan atau sesajen itu ... kejadian yang menimpamu tetap bisa terjadi karena kehendak Gusti Alloh. Berdoa dan pasrah kepada-Nya, ya, Rat. Aku selalu di sampingmu ...."
Malam pun semakin larut. Dan rasa kantuk mulai menyerang mereka berdua. Wibi mengajak Ratri masuk ke kamar. Senyum manis kembali menghiasi bibir tipis Ratri. Ditepisnya keraguan dalam hati dan diurungkan niatnya untuk menanyakan perihal bancakan itu pada Simboknya.
***
Ratri terlihat duduk di ruang tamu sambil mengelus-elus perutnya yang sudah kelihatan besar. Wajahnya terlihat kurang bersemangat. Ingatannya kembali pada kejadian satu bulan yang lalu ketika terdengar sebuah senandung gaib yang mengganggu kandungannya. Kini enam bulan sudah usia kandungannya. Dia duduk di sana menunggu Wibi yang sedang memandikan Ayu.
"Lelembut itu memang ada dan telah menggangguku. Bulan ini Simbok belum membuatkan bancakan selamatan untuk bayiku. Aneh ... kenapa aku berharap akan adanya bancakan itu? Apakah lelembut itu telah mempengaruhi pikiranku? Benar kata mas Wibi, aku harus pasrah pada Gusti Alloh," kata Ratri dalam hati sambil memperhatikan perutnya, "sehat ya, Dik. Semoga Gusti Alloh selalu menjagamu."
Tak lama kemudian Ayu dengan seragam sekolah TK-nya sudah keluar kamar menuju ruang tamu dan menghampiri ibunya.
"Ibu ... ayo berangkat."
"Sebentar lagi, Sayang, nunggu ayah. Kita berangkat diantar ayahmu."
"Oo ... kita diantar ayah, to? Terus, ayah langsung berangkat kerja?"
"Tidak, Ayu ... Ayahmu libur hari ini. Nanti mau mengantar ibu periksa adikmu."
"Yee ... Ayah libur! Ayah libur ...! Bisa main bersamaku!" teriak Ayu kegirangan.
Ratri tersenyum melihat tingkah Ayu yang sedang mengekspresikan kegembiraannya. Tak lama kemudian Wibi keluar kamar sudah bersiap mengantar isteri dan anaknya. Dia segera menuju garasi mengeluarkan sepeda motornya. Saat itu Wibi berpapasan dengan Mbok Sum yang baru saja pulang berbelanja sayur pada pedagang sayur keliling yang biasa mangkal di perempatan jalan. Cukup banyak juga barang belanja bawaannya. Tak lama kemudian Ratri dan Kakak menyusul ke luar rumah dan bersiap naik di boncengan motornya.
"Simbok belanja banyak hari ini. Mau buat sesajen dan bancakan weton lagi untuk kamu dan bayimu, Nduk," kata Mbok Sum sambil tersenyum.
Wibi dan Ratri saling pandang, ada gejolak pikiran yang berbeda antara Wibi dengan Ratri. Wibi melihat perubahan air muka isterinya menjadi cerah. Ratri sepertinya bersyukur bahwa Simbok tidak lupa membuatkan bancakan untuknya. Yang berarti akan meredam perilaku lelembut yang telah mengganggunya seperti bulan kemarin. Apakah tembok penghalang dalam diri Ratri telah retak sehingga lelembut dapat mengambil sedikit demi sedikit tradisi yang terkurung di dalamnya dan menanamkannya kembali pada pikiran Ratri?
Tapi bagi Wibi, bancakan itu ibarat sesaji atau persembahan makanan bagi lelembut. Sehingga keberadaannya semakin diakui dan akan semakin kuat mempengaruhi pikiran manusia. Dan mungkin ini yang sedang terjadi pada Ratri.
"Kamu diantar suamimu, Nduk?"
"Iya, Mbok. Paling cuma sampai jam sepuluh."
"Lha terus suamimu tidak berangkat kerja?"
"Tidak, Mbok. Hari ini aku mau ambil cuti," jawab Wibi.
"Iya, Mbok. Mas Wibi ambil cuti. Nanti jemput aku ... terus langsung kontrol ke rumah sakit."
"Ke rumah sakit itu lagi?"
Ratri mengangguk. Wibi melihat perubahan air muka Mbok Sum. Beliau menjadi gelisah dan seperti ingin menyampaikan sesuatu. Tapi buru-buru Wibi menenangkannya.
"Iya, Mbok. Tidak apa-apa. Simbok jangan berpikiran yang enggak-enggak, kasihan Ratri, Mbok. Doakan yang baik-baik, supaya Ratri dan bayi dalam kandungannya normal, sehat, dan selamat," pinta Wibi. Mbok Sum hanya diam sambil memandangi Ratri. Kemudian beliau mencoba sedikit tersenyum.
"Kalau berangkatnya belum terlalu siang ... berarti sebelum bedug sudah sampai di rumah to?"
Pertanyaan Mbok Sum menyiratkan adanya sesuatu yang harus mereka berdua penuhi. Sesuatu yang tidak boleh dilakukan pada waktu bedug ... waktu matahari tepat di atas kepala atau sesaat sebelum dan sesudah waktu sembahyang Zuhur.
"Iya, Mbok. Tergantung dokternya on time apa enggak. Kalau on time bisa pulang cepat. Soalnya Ratri dapat nomor antrian awal. Kalau tidak, ya ... mungkin sehabis bedug baru selesai diperiksa."
"Ya, sudah. Ora ilok ... seandainya waktu beduk Zuhur nanti, kalian masih di jalan. Itu harus dihindari agar tidak terjadi sukerta lagi dikemudian hari." Mbok Sum berusaha memberikan sugesti tentang tradisi yang harus dipatuhi oleh Wibi dan Ratri.
Sepertinya kolomengo itu harus terdengar lagi di telinga mereka berdua. Kata ora ilok yang berarti tidak baik, mungkin mempunyai arti yang tidak begitu mendalam bagi Wibi dan Ratri bila diucapkan dalam percakapan sehari-hari. Bahkan seseorang bisa tidak memahami maksud dari pengucapan kata-kata itu.
Kata-kata itu biasa diucapkan untuk mencegah seseorang melakukan suatu perbuatan atau larangan tanpa mengetahui mengapa perbuatan itu dilarang dan akibat apa yang akan terjadi bila dilanggar. Tetapi kata ora ilok yang diucapkan Mbok Sum menunjukkan adanya suatu tradisi leluhur yang harus diketahui dan dilaksanakan. Dan tentu saja dengan tebusan sebuah sesajen jika dilanggarnya.
Wibi dan Ratri saling pandang. Ratri terlihat mengerutkan dahinya seperti mencoba menebak apa yang ada dalam pikiran Simboknya. Air mukanya mendadak berubah memancarkan sedikit rasa kegelisahan. Dia menatap Wibi dalam-dalam. Satu tangannya memegang lengan Wibi erat-erat. Sementara tangan lainnya mengelus-elus perutnya.
"Mas ... aku khawatir dengan perkataan Simbok."
"Sudah, tidak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan. Aku khawatir perkataan Simbok dapat menyugesti perasaan dan pikiranmu untuk percaya pada sesuatu yang belum pasti, meskipun itu adalah tradisi dari leluhur kita."
Wibi teringat kejadian beberapa bulan yang lalu saat Mbok Sum melarangnya pergi memeriksakan kandungan Ratri. Saat itu secara tegas Mbok Sum melarang mereka pergi. Tetapi kata ora ilok yang baru saja beliau ucapkan tersebut tidak secara tegas melarang, hanya anjuran yang sebisa mungkin untuk ditaati juga. Mungkin akibat dari dilanggarnya pantangan pada waktu bedug tidak begitu parah sehingga beliau menggunakan kata tersebut.
Wibi mencoba berpikir positif, waktu bedug adalah saat matahari bersinar dengan terik sekali. Dan dapat berakibat tidak baik bagi tubuh, apalagi bagi ibu hamil yang terpapar sinar matahari secara langsung. Radiasi panas dan sinar ultraviolet matahari dapat menembus dinding perut mengenai bayi di dalamnya dan dapat merugikan kesehatannya. Sehingga ada baiknya menghindari waktu bedug untuk bepergian.
Tetapi Ratri masih cukup gelisah dengan kata-kata itu. Terbayang dalam pikirannya akan terjadi gangguan yang dilakukan oleh lelembut bila waktu bedug masih di jalan. Kejadian bulan lalu masih menorehkan ketakutan akan hal itu. Ratri belum bisa melepaskan sepenuhnya sugesti lelembut dalam pikirannya. Dan sepertinya lelembut itu sudah berhasil membongkar sebagian kecil tembok penghalang dan mengikatkan salah satu tradisi leluhur dalam pikiran Ratri. Ratri berharap agar bancakan tersebut dapat dilaksanakan dan bahkan untuk bulan-bulan berikutnya hingga dia melahirkan dan punya anak kedua.
"Ayo, Mas, segera berangkat. Tidak enak kalau terlambat. Soalnya nanti ijin pulang duluan," ajak Ratri.
"Kamu sudah tidak apa-apa, Rat?"
"Tidak, Mas. Kan nanti Simbok mau membuatkan bancakan untuk bayi dalam kandunganku," jawabnya sambil tersenyum.
Wibi pun hanya bisa memandang senyum dan jernih sorot bola mata Ratri. Begitu cepat sugesti itu masuk dalam pikirannya. Akankah kehidupan rumah tangganya kembali terikat dengan tradisi dan ritual-ritual kepercayaan leluhur? Wibi harus bisa mengembalikan pikiran Ratri agar tidak terseret terlalu jauh oleh sugestinya sendiri dan tanpa bermaksud mengesampingkan nilai-nilai luhur dalam tradisi dan kepercayaan leluhurnya.
Sepanjang hari itu Wibi bisa menikmati waktu libur cutinya bersama Ayu, anak mbarepnya.)* Setelah mengantar Ratri, Wibi menyempatkan mampir ke toko membeli biskuit dan jeli kesukaan Ayu untuk bekal di sekolahnya.
"Nanti pulang dijemput ayah lagi," kata Wibi sambil memasangkan tas sekolah di pundak Ayu.
"Iya, Yah," kata Ayu sambil mencium tangan ayahnya dan segera bergegas masuk ke dalam kelasnya.
*****