Rasanya belum afdol kalau aku hanya bercerita tentang Anty, Tita, dan Silvi saja padahal selain mereka bertiga aku masih punya banyak teman sekelas. Apa yang pertama terlintas di benakmu ketika bertemu dengan anak sastra? Nyentrik? Gila? Aneh? Absurd? Hmm, mungkin keempatnya bisa dirangkum dalam satu kata: Rebellion.
Rebellion ini adalah satu geng di kelasku yang terdiri dari kumpulan para cowok dengan empat kriteria di atas. Aku tidak tahu persis berapa jumlah anggotanya tapi yang jelas awalnya grup ini terdiri dari sekumpulan geng gamers yang nerd. Sebut saja Bima, Eka, Hamid, Andri. Sepertinya merekalah formasi awal terbentuknya Rebellion. Dan entah bagaimana akhirnya grup mereka bisa menambah personil dengan menggaet Radit, Tahu yang sebenarnya bernama asli Taat Hudaya padahal ga ada taatnya sama sekali, hingga Abe Si Ketua Angkatan 2006 yang ga kalah sengklek.
Rebellion ini biang rusuh karena mereka selalu berbicara satu sama lain dengan suara nyaring dan menggunakan istilah yang hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Mereka ini juga bisa menjadi komentator nyinyir. Segala sesuatu yang ada di depan mata bisa dijadikan bahan olok-olok. Menariknya mereka selalu menggunakan bahasa Jawa ngapak meski komunikasi mereka dalam bahasa Inggris cukup baik sehingga mereka cukup menjadi perhatianku. Misalnya seperti percakapan berikut ini.
"Kae patung sastra deneng esih nang kene baen? Ujarku wis lulus ya. [Itu si patung sastra kok masih disini aja? Kirain udah lulus]" Aku menangkap perkataan Bima dengan logat khas ngapaknya suatu hari.
"Iya, malah esih dolanan basket baen nang kene koh. Kae skripsi kepriwe lah? Kerjakna apa kepriwe ben cepet rampung cepet lulus malah haha hehe nang kampus baen. Ujare ganteng apa? [Iya, malah masih main basket aja disini. Itu skripsi gimana lah? Dikerjain apa gimana biar cepet kelar cepet lulus eh malah haha hehe di kampus aja. Dipikir ganteng apa?]" Eka menimpali.
"Ora isin apa ya wes angkatan tua tapi esih pada nongkrong nang kampus? Anu, duite ora kanggo apa dadine kuliah terus baen? [Ga malu apa ya udah angkatan tua tapi masih pada nongkrong di kampus aja? Anu, duitnya ga kepake ya jadinya kuliah terus aja?]" Andri juga ikut menyahut.
Aku bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang dimaksud Bima, Eka, dan Andri itu. Suasana kampus sore itu sedang ramai. Oleh sebab itu, aku agak susah menebak siapa gerangan yang dimaksud Si Patung Sastra oleh ketiganya. Oh, tunggu sebentar. Aku ingat petunjuk selanjutnya. Basket. Mereka merujuk pada salah satu orang yang bermain basket. Akupun melihat ke arah lapangan basket dari bangku panjang dari kayu yang sedang kududuki ini. Mmm, ada banyak orang yang main basket. Tapi yang angkatan tua cuma satu. Kak Seto. Dia dari Sastra Inggris angkatan 2000. Sudah hampir 7 tahun dia kuliah tapi belum kelar skripsi juga. Padahal aku dengar dari selentingan berita bahwa dia sudah diancam DO kalau tahun ini masih belum lulus juga.
Aku menyunggingkan senyum saat berhasil memecahkan "kode" dalam percakapan para anggota Rebellion. Ternyata menyenangkan juga. Mendengarkan percakapan para Rebellion seperti memecahkan kasus dalam komik Detektif Conan atau membaca novel Sherlock Holmes. Aku mengunyah batagorku dengan bangga.
Di waktu yang lain aku juga tak sengaja mendengar percakapan para Rebellion lagi. Lagi-lagi aku sedang duduk sendirian di bangku kayu panjang di depan ruang 3.
"Kae delengna. Siki lagi jamane wong-wong pada putih gur raine tok apa ya? [Tuh liat. Sekarang lagi musimnya orang-orang pada putih cuma di mukanya aja apa ya?]" Eka membuka percakapan.
Kebetulan saat itu di depan kami ada mbak-mbak angkatan 2005 yang sedang melintas. Wajahnya memang putih bersinar licin bagai porselen yang mana itu berbeda 180 derajat dibandingkan kulit tangannya yang terlihat dari balik kemeja lengan panjangnya. Kulit tangannya terlihat kusam dan hitam. Nampak tidak terawat. Saat itu memang sedang marak-maraknya obat pemutih wajah bahkan ada yang dijual bebas dengan takaran dan bahan yang entahlah. Silvi sempat bercerita bahwa salah satu teman SMA-nya ada yang membeli obat pemutih wajah itu dan hasilnya benar-benar luar biasa. Hanya dalam waktu kurang dari dua minggu wajah temannya benar-benar putih mulus kinclong bak kaca habis disemprot. Namun, yang membuat Silvi ngeri adalah kenyataan bahwa obat pemutih wajah itu benar-benar mengupas kulit bagian atas yang hitam itu alih-alih harusnya mengupas kulit ari atau sel kulit mati. Silvi pun urung membeli obat pemutih wajah itu karena khawatir terkena kanker kulit di kemudian hari. Lagipula Silvi sudah putih. Untuk apa juga dia membeli obat pemutih wajah? Untuk memutihkan dosa-dosanya agar dia kembali suci? Kalau begitu lebih baik Rebellion aja yang pake. Dosa julid mereka sepertinya sudah terlalu banyak.
"Anu, kayane kuwe wadon tok lah. Masa lanang arep kaya kuwe juga. Ora mbok? [Mmm, itu kayaknya yang kayak gitu cuma cewek aja deh. Masa cowok mau kayak gitu? Ga kan?]" Bima, yang sepertinya sudah didapuk sebagai ketua Rebellion, menyahuti ucapan temannya.
"Jere sapa wadon tok sing kaya kuwe? Ora kemutan Randi kelas sebelah kowe? [Kata siapa cewek doang yang kayak gitu? Kamu ga inget Randi kelas sebelah?]" Hamid menimpali membuat Eka dan Bima tertawa terpingkal-pingkal.
"Oh, sing ganu ana sabun cuci muka ketinggalan nang kamar mandi mbok? Jebule pas Bima maca kuwe udu sabun cuci muka tapi pemutih wajah. [Oh, yang dulu ada sabun cuci muka ketinggalan di kamar mandi kan? Ternyata pas Bima baca itu bukan sabun cuci muka tapi pemutih wajah.]" Eka menimpali dan kembali membuat Hamid dan Bima larut dalam tawa lagi.
"Nek Randi mbok pancen kaya wadon kelakuane. Deleng bae kancane sing lanang ana ora? [Kalo Randi kan emang kayak cewek kelakuannya. Liat aja temennya yang cowok ada ga?]" Hamid makin membara mengolok-olok.
Aku kenal Randi. Dia dari jurusan Sastra Inggris juga tapi dari kelas sebelah. Dia memang agak gemulai dibandingkan dengan mahasiswa cowok yang lain. Mungkin itu sebabnya Randi lebih nyaman berteman dengan mahasiswa cewek di kampus. Tidak ada mahasiswa cowok yang sudi berkawan dengannya. Mungkin pikir mereka pertemanan mereka dengan Randi bisa mengurangi nilai ke-macho-an mereka di mata cewek. Padahal yang kutahu Randi ini baik sekali. Dia selalu rela membantu siapapun temannya yang sedang kesusahan tanpa pamrih.
Kali lain aku mendengar Eka mencibir dua teman kami dari Sastra Inggris yang menggunakan kaos ketat nan kekecilan dengan celana pendek untuk latihan pentas drama di kampus.
"Halah, masih takut panas aja pake baju Barbie. Kalo takut panas jangan pake baju boneka oy!"
Dua mahasiswi itu hendak menuju koridor seberang melintasi lapangan basket. Mereka enggan memutar jauh melintasi seluruh koridor kelas. Lapangan basket yang sedang disinari teriknya matahari siang itu jadi satu-satunya jalan pintas. Namun, mereka ribut takut hitam dan takut panas saat akan menyeberang yang sebenarnya hanya butuh waktu satu menit untuk sampai di koridor seberang melalui lapangan basket.
"Aku yang lebih putih aja ga segitunya sama panas." Eka masih ngedumel.
Kalau kamu berpikir kalau Rebellion kurang absurd dari contoh-contoh di atas sih maklum saja. Kalo kurang kerjaan memang iya. Semua hal dikomentari berarti kan kurang kerjaan ya? Tapi mungkin contoh berikutnya akan membuat orang geleng kepala.
Rebellion membuat jaket khusus berwarna oranye dan hitam hasil rancangan mereka sendiri dengan logo keong Naruto di bagian belakang jaketnya. Pernah juga mereka membuat jaket dengan gambar serigala padahal dalam nama Rebellion tidak mengandung kata wolf.
"Harusnya kalian pake jaket dengan gambar singa dong kan Rebellion = rebel + lion," kataku pada Bima.
"Itu karena motto kita adalah I like to be a lone wolf." Sahut Bima ngasal.
Herannya para anggota Rebellion dengan sukarela patungan untuk membuat jaket itu dan memakainya ke kampus bersamaan. Sungguh suatu persahabatan yang mengharukan dan penuh kenorakan bukan?
Mereka juga pernah memproklamirkan band bikinan mereka sendiri dengan nama Ralucu- plesetan dari band Laruku atau L'Arc En Ciel, sebuah band rock asal Jepang, yang berarti tidak lucu- padahal mereka sama sekali tidak mengerti musik apalagi bisa memainkan alat musik. Kalau mereka menyanyi suara mereka juga amburadul.
Selain berbakat menjadi komentator nyinyir, mereka juga berbakat menjadi wibu sejati alias pecinta fanatik segala sesuatu yang berbau Jepang. Bima dan Hamid bahkan pernah membeli sebuah bantal dengan gambar tokoh anime perempuan favorit mereka yang mereka sebut waifu. Atau Andri yang membeli figur tokoh anime favoritnya. Mereka juga selalu membicarakan games kesukaan mereka dimana saja dan kapan saja. Ingat, mereka sejatinya memang perkumpulan para mahasiswa pecinta games. Saking gandrungnya dengan games, Eka bahkan pernah menyelesaikan sebuah game yang levelnya cukup sulit. Dia berhasil mendapatkan sebuah armor yang malah dia jual ke pemain lain.
"Nyong olih duit nematus ewu kie lah bar ngedol armor wingi. Lumayan kena nggo tuku billing maneh. [Aku habis dapet duit 600 ribu nih habis jual armor kemarin. Lumayan bisa buat beli billing lagi.]" Begitu kata Eka dengan bangga.
Aku yang kebetulan ada di dekat Eka bertanya. "Armor itu apaan, Ka?"
"Itu loh, Mir, senjata yang dipake avatar kita di games. Biasanya kalo games survival atau games tertentu yang sejenis gitu kan ada senjatanya kalo bisa unlock ke level berikutnya. Nah, aku jual itu ke temenku."
Aku mengernyit bingung. "Tunggu, tunggu. Berarti armor itu bentuknya ga nyata kan? Ada di game aja kan? Kenapa bisa kamu jual? Kenapa kamu bisa dapet duit? Oh, duitnya dalam bentuk coin buat main gitu ya?"
"Nggak. Duitnya asli lah. Duit beneran." Eka menunjukkan beberapa lembar uang ratusan ribu yang diambilnya dari saku celana. "Kalo senjatanya emang di game aja. Tapi aku bisa transfer ke pemain lain. Enaknya main game gitu, Mir, bisa diduitin dengan memanfaatkan orang-orang yang ga mau repot unlock level tertentu buat dapetin armor tapi mereka keburu pengen pegang armor-nya."
Aku jadi makin bingung. Aaaahh, sudahlah. Dunia Rebel memang bukan duniaku. Aku cukup menerima mereka jadi teman sekelas saja dan bersabar terhadap tingkah laku aneh mereka selama tiga tahun ke depan di sisa masa kuliahku.
***