Tempat kos baruku tak lagi ada di gang sempit dengan rumah berhimpit-himpit. Tak ada lagi lagu-lagu Peterpan mengalun dengan suara kencang yang kadang berpadu dengan suara lagu dangdut atau India dari rumah seberang. Tempat kos baruku sekarang ada di perumahan tapi bukan perumahan elit. Perumahan itu hanya perumahan kapling biasa tapi cukup bagus dan nyaman untuk ditempati. Perumahan itu bernama Sarwodadi.
Kamarku ada di lantai dua. Sementara pemilik kosan menempati bagian bawahnya. Pemilik kosan baruku adalah sepasang suami istri muda bernama Pak Narno dan Bu Aisyah. Usia mereka mungkin sekitar pertengahan tiga puluhan. Mereka memiliki dua anak laki-laki. Anak pertama bernama Ical, 9 tahun, yang duduk di kelas 3 SD sedangkan adiknya bernama Akmal, 5 tahun, masih bersekolah di TK A. Keduanya adalah anak-anak yang sopan. Jadi aku tak bermasalah meski kadang mereka naik ke lantai atas karena penasaran dengan kedatanganku sebagai penghuni baru di rumah mereka. Toh, mereka tak pernah berisik atau masuk kamar tanpa permisi. Mereka juga tak pernah mengacak-acak apapun yang ada di lantai atas.
Lantai atas awalnya hanya berisi dua buah kamar tidur, balkon, dan bagian belakang yang bisa disulap menjadi tempat jemuran.
"Itu sebenernya kamar buat anak-anak sih, Mbak. Tapi karena anak-anak masih kecil dan belum mau tidur sendiri jadinya ya kenapa ga kita sewain aja buat tempat kos. Daripada kamarnya kosong terus ga ditempati. Nanti malah jadi sarang setan." Terang Bu Aisyah saat pertama kali aku melihat-lihat kesana.
"Tapi, mohon maaf nih, Pak, Bu, sebelumnya, kalau misalnya saya ngekos disini akses saya keluar masuk rumah gimana ya? Soalnya kan pintu masuk dan keluar cuma ada di bawah. Masalahnya saya kan sering ada tugas kelompok dan latihan untuk pentas drama ke depannya. Kadang latihan bisa sampai malam. Di kampus juga sering ada acara juga sampai malam. Acara teater gitu. Saya takut mengganggu kalau harus ngetok pintu malem-malem." Aku menyela.
"Oh, itu gini aja." Pak Narno akhirnya angkat bicara. "Nanti dinding balkon yang sebelah barat dijebol aja. Di bawahnya nanti kita pasang tangga buat jalan masuk-keluar. Gimana?"
Mmm, boleh juga, pikirku.
"Oh, bagus kalo gitu, Pak."
"Sekalian nanti kita buatin kamar mandi di atas kalo emang sudah cocok dan beneran mau ngekos disini," kata Bu Aisyah.
"Oh, bisa, Bu?"
"Bisa. Daripada tiap mau ke kamar mandi harus ke bawah dulu. Lagian kamar mandi di bawah itu kan nyatu sama rumah dan kalo malem biasanya saya selalu ngunci pintu belakang yang buat sekat dapur sama dalem rumah. Pasti ga enak kan kalo kebelet pipis malem-malem harus repot turun ke bawah dan gedor-gedor pintu dulu?"
"Iya tuh, Bu, bener."
"Tapi-" Bu Aisyah menjeda kalimatnya. "Anu, mohon maaf sebelumnya, Mbak. Kalo bisa sih uang sewa kosnya dibayar di muka dulu untuk biaya bikin tangga dan kamar mandi." Bu Aisyah tersenyum sungkan.
"Oh, saya usahakan, Bu. Pokoknya sebelum saya bener-bener pindah saya pasti sudah kasih uangnya."
"Makasih ya, Mbak."
Long story short, akhirnya aku resmi pindah kosan. Bu Ndari sempat terlihat kecewa saat aku dan Anty mengatakan akan pindah kosan. Mungkin karena menyewakan kamar menjadi penghasilan tambahan yang lumayan buat mereka. Apalagi kedua saudaranya juga tidak bekerja.
Saat aku sudah mengepak barang dan memindahkan barang-barangku ke kosan baru, kamar mandi sudah jadi dan tangga di depan pun sudah terpasang. Aku tersenyum puas. Kosan disini sepertinya jauh lebih menyenangkan daripada di rumah Bu Ndari karena aku punya privasi. Meski kamar mandinya tidak diberi bak dan diganti dengan ember dengan alasan kepraktisan, aku tak protes karena Bu Aisyah memang sudah mendiskusikan itu denganku sebelumnya.
"Nguras bak sendirian repot, Mbak. Mendingan pake ember aja. Lagian bisa buat wadah cucian juga kan?"
Alasan yang dikemukakan Bu Aisyah sangat masuk akal sehingga aku langsung menyetujuinya.
Tangga di depan kos juga hanya terbuat dari besi yang dilas bukan semen. Tapi bagiku itu juga bukan masalah besar. Meski konsekuensinya aku harus rela mendengar suara 'dang dang' berisik tiap menapaki tangga tapi menurutku itu bisa jadi alarm tanda bahaya. Aku bisa waspada andaikan ada suara seperti itu terdengar dari depan. Terutama bila bapak ibu kosku sedang tak ada di rumah dengan membawa serta anak-anak mereka dan itu berarti aku hanya sendirian di kosan.
Aku memilih kamar tidur yang ada di bagian dalam. Sedangkan yang bagian depan masih dibiarkan kosong. Aku tak suka tidur disana karena takut diintip sebab jendelanya langsung menghadap balkon. Lagipula kamar tidur di depan mudah terkena cahaya matahari padahal aku suka bangun siang.
Awalnya aku ngekos sendiri disana. Namun, beberapa minggu kemudian teman sekos Naras dari kosan lama pindah kosan ke tempat kos baruku itu atas rekomendasi Naras.
"Hai. Aku Julia." Cewek itu memperkenalkan dirinya saat pertama kali ketemu aku. "Samira kan?"
Aku mengangguk. "Kamu anak Sasindo kan ya?" Kali ini Julia yang mengangguk.
Meski aku tidak begitu mengenal sosok Julia tapi aku sering sekali melihat wajahnya kalau aku mampir ke kosan Naras. Julia kadang ikut nimbrung obrolanku dan Naras. Cewek bongsor itu tipe orang yang mudah dekat dengan siapa saja karena dia tipe orang yang supel.
"Bawaan kamu dikit, Jul?"
"Iya. Cuma segini doang." Dia menunjuk sebuah tas pakaian besar seperti milikku dan sebuah tas ransel. "Kamarku berarti yang di depan ini kan? Soalnya ini doang yang masih kosong."
"Iya, pake aja yang itu. Aku lebih suka yang ga ngadep depan karena ga kena matahari."
"Kamu kok kayak vampir sih ga suka matahari," kekehnya. Aku tersenyum dengan candaannya.
"Mendingan vampir daripada manusia. Kalo vampir ga mungkin gigit sesama temen vampir. Lah, kalo manusia kadang gigit temen sendiri."
Julia terbahak. "Bisa bisa. Candaan kamu boleh juga."
Akhirnya kami pun menjadi teman satu kos sejak saat itu. Sangat disayangkan aku tak bisa satu kos lagi bersama Anty karena Anty merasa lebih cocok di kos sebelah bersama Naras. Padahal Anty adalah sosok teman baik bagiku. Yah, mungkin memang sudah saatnya aku mencari teman baru setelah setahun lamanya hanya berakrab ria dengan Anty.
"Semoga betah disini sama aku ya, Mir." Kata Julia setelah menata barang-barangnya di kamar.
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Siap. Kamu juga."
Tapi aku lupa bahwa semua orang bisa saja punya kesan pertama yang baik. Mana aku pernah tahu bahwa seiring berjalannya waktu banyak hal yang membuatku tak cocok dengan Julia.
***