"Itu kenapa, Mir?" Tanya Julia saat aku sedang berusaha meraih buku di atas lemari. Julia sedang menunjuk ke arah bawah lenganku di bawah ketiak yang tak tertutup lengan baju. Saat itu aku hanya memakai daster kutung warna oranye bergambar Hello Kitty favoritku yang adem banget kalo dipake.
"Emang apaan sih?" Aku jadi ikut melongok ke arah yang ditunjuk Julia dengan susah payah karena tak terjangkau oleh mataku. Aku jadi tak bisa melihat apa gerangan yang menarik perhatian Julia.
"Emang ga keliatan?"
"Kalo keliatan aku ga bakal nanya, Jul." Aku meliriknya kesal.
"Itu, Mir, kayak-"
Aku buru-buru mencari cermin. Aku memposisikan cermin itu di lengan bawahku. Meski sulit tapi aku akhirnya berhasil melihat apa yang mengusik penglihatan Julia.
"Bintik-bintik putih ya, Jul?" Tanyaku memastikan. Maklum, indera penglihatanku kan emang rada soak. Siapa tahu saja apa yang kulihat tak sama dengan apa yang dilihat Julia.
"Iya." Julia mengangguk mengiyakan. "Tapi banyak banget, Mir, sampe ngegerombol gitu. Kayak telor hewan."
"Ih, jangan gitu dong. Aku jadi geli nih. Jangan-jangan emang telor hewan lagi." Aku jadi parno.
"Ah, masa gitu aja takut? Emang kalo ada telor hewan nemplok di kulit kenapa gitu?"
"Ya kali aja dia mau menjadikan aku sebagai inang. Begitu telornya netes nanti dia ngeluarin larva apa gitu terus nanti masuk ke tubuhku dan bikin penyakit. Kan serem, Jul."
"Aih, kamu kebanyakan nonton Discovery Channel eh salah maksudnya kebanyakan nonton film yang mutan mutan gitu jadinya parnoan." Tepis Julia.
Dia lalu mendekatiku dan mengecek bintik-bintik putih di kulitku.
"Gatel ga?" Tanyanya yang kujawab dengan gelengan kepala.
"Mmm, mungkin cuma jerawat." Kata Julia. Tapi ekspresinya menunjukkan ketidakyakinan.
"Ya kali ada jerawat disitu, Jul. Banyak banget lagi. Lagian masa jerawat kayak gitu sih? Kayaknya bukan deh."
"Ya terus apa dong? Aku kan bukan dokter kulit. Tapi setauku nih, Mir, yang kayak gini namanya herpes."
"Herpes? Itu penyakit?" Tanyaku dengan muka dongo. Maklum, penyakit dengan istilah keren yang kutahu hanya kanker. Itupun kanker yang merupakan kependekan dari kantong kering. Herpes? Aku baru tahu kalau ada penyakit dengan nama begitu.
"Penyakit lah. Masa nama makanan." Julia mesem kecut. "Tapi kalo ga gatel ya udah ga papa, Mir. Mungkin bukan herpes soalnya biasanya herpes gatel. Kalo ga gatel kan ga bakal digaruk dan berbekas. Kalopun berbekas juga letaknya di dalem. Tersembunyi. Ga malu-maluin lah." Hibur Julia tapi tetap membuatku waswas.
Tak lama setelah insiden munculnya bintik-bintik putih itu, aku mulai merasakan tubuhku gatal-gatal beberapa hari kemudian. Aku bahkan menemukan beberapa benjolan berisi air di sekujur tubuhku. Bila cuaca panas, rasa gatal itu makin menjadi. Sialnya, itu terjadi saat aku UTS semester 3. Aku dapat jadwal ujian pukul 13.00 dan Purwokerto sangat panas saat tengah hari. Apalagi ruang kelas di kampusku tak ada yang ber-AC hingga rasa gatal itu makin membuatku tak konsentrasi mengerjakan soal-soal UTS.
"Mir, ssst. Mir!" Panggil Anty yang duduk di seberangku saat ujian. NIM kami memang berurutan.
Aku menengok ke samping kiri, ke arah Anty. "Apa?" Tanyaku ketus. Aku sedang sibuk menahan gatal.
"Dih, lo jutek amat sih? Gue mau nanya nomer 5 lo udah jawab belom?" Tanya Anty setengah berbisik.
Aku mengangguk pelan lalu menggeser kertas jawabanku ke arahnya. Anty menyalinnya dengan tekun.
"Thanks, Mir." Katanya kemudian. Aku membalasnya dengan senyum tipis. Aku tak berminat basa-basi dengan siapapun hari ini. Pun ketika Nuya yang duduknya di sebelah kananku bertanya perihal jawabanku yang tak sama dengannya, aku menjawabnya dengan sedikit kesal.
"Lo lagi PMS, Mir?" Tanya Anty begitu selesai ujian. "Seharian ini kayaknya lo bete banget? Gue liat tadi lo juga rada ketus sama Nuya padahal biasanya lo ga pernah gitu. Kenapa?"
Aku merasakan gatal di sekujur punggung. Lalu pindah ke sepanjang lengan. Menjalar lagi ke pinggang. Balik ke punggung lagi. Luar biasa. Aku menggaruknya dengan semangat. Dan baru menyadari itu adalah hal terbodoh yang dilakukan saat ini.
"Mir?" Anty bertanya lagi karena tak ada respon dariku. "Mir, lo kenapa sih? Panuan? Kadas? Kurap? Kutu air?"
"Sejak kapan kutu air di punggung, di lengan, di pinggang, Ty?"
"Fix! Lo panuan berarti!" Kikik Anty geli.
Aku memasang ekspresi poker face. Anty malah tergelak. Kemudian wajahnya berbalik 180° menjadi terkejut saat mengamati wajahku dengan seksama. "Lo kena cacar?"
"Hah? Cacar?"
"Iya, itu di wajah lo ada satu. Di pipi sebelah kiri. Ini cacar namanya, Mir. Pantes lo gatel-gatel. Udah nyebar ya?"
"Gue ga tau. Yang gue tau beberapa hari lalu di bawah ketek gue ada bintik-bintik putih kecil banyak banget tapi ga gatel. Ga lama setelahnya badan gue tiba-tiba gatel. Apalagi kalo cuaca panas kayak sekarang."
"Yuk, kita balik. Lo lepas baju nanti gue liat yang bikin gatel di badan lo itu bener cacar atau apa. Abis itu kita periksa ke dokter biar lo ga tersiksa gitu." Anty menyeretku ke luar kampus dan pulang menuju kosan.
Sesampainya di kosku, Anty menyuruhku melucuti seluruh pakaianku. Dia mengamati sekujur tubuhku.
"Bener, Mir, lo kena cacar. Paling banyak di punggung." Lapor Anty begitu pengamatannya selesai.
"Pantesan gue ngerasa gatel banget di bagian situ." Aku hampir kelepasan menggaruk punggungku.
"Eh, eh, eh..." Anty buru-buru menepis tanganku. "Jangan lo garuk-garuk mulu. Cacar kalo digaruk bisa pecah. Kalo pecah bisa makin banyak karena airnya kemana-mana. Masih bagus cacar lo mau sembunyi."
"Tapi aku ga tahan, Ty." Aku meringis.
"Kita ke rumah sakit atau puskesmas aja buat periksa. Siapa tau ada obat yang bisa bikin cacarnya cepet ilang dan ga berbekas." Saran Anty.
Akhirnya aku dan Anty pergi ke klinik dokter kulit yang dekat dari kosan karena puskesmas tidak mungkin buka sampai sore hari. Anty tidak mau membuatku menunggu sampai esok hari karena rasa gatal yang tak boleh digaruk itu pasti menyiksaku dan membuatku sulit tidur.
"Ini cacar dan herpes ya, Mbak." Kata dokter yang memeriksaku. "Duet maut yang menyiksa ya." Canda si dokter.
"Banget, Dok." Aku nyengir.
"Herpes itu biasanya dipicu oleh kotoran misalnya dari debu atau keringat. Sering-sering cuci tangan atau membasuh tubuh saat sudah beraktivitas seharian. Nah, meskipun kena cacar Mbak tetap mandi 2 kali sehari seperti biasa ya agar tubuh tetap bersih biar kumannya ga betah nempel di badan. Saya akan berikan resep obat untuk diminum dan salep untuk dioles agar cacarnya tidak berbekas."
Aku mengangguk saja mendengar penjelasan dokter cantik itu.
"Terima kasih, Dok." Pamitku setelah aku mendapat resepnya.
"Sama-sama. Semoga cepat sembuh." Pungkas si dokter.
Aku dan Anty pun pergi ke apotek di sebelah klinik sebelum pulang ke kosan.
"Banyakin makan ikan, telor, sama makanan yang amis amis, Mir." Kata Julia sambil mengoleskan salep dari dokter ke bagian punggung yang terkena cacar dan herpes di malam harinya. Aku meminta tolong pada Julia untuk membantuku mengoleskan salep karena itu satu-satunya bagian yang paling banyak terpapar cacar dan herpes dan sialnya tidak bisa dijangkau olehku sendirian.
"Bukannya malah makin banyak keluar, Jul, kalo kayak gitu?" Aku melirik Julia yang berada di belakangku, sedang asyik menotol-notolkan salep menggunakan cutton bud ke punggungku.
"Justru itu, Mir," katanya sempat menghentikan aktivitasnya sebentar. "Temenku ada yang sempet kena cacar pas masih kecil eh pas gede kena cacar lagi masa."
"Kok bisa? Terus emang bisa gitu? Bukannya cacar itu sekali doang seumur hidup?"
"Katanya sih karena pas kecil cacarnya ga keluar semua gara-gara ga dibolehin makan yang amis-amis. Jadinya bersambung deh. Tapi ga tau juga deng bener atau ga." Julia mengedikkan bahu, menekuri punggungku dengan salep lagi.
Aku terdiam tak tahu harus membahas apa lagi. Membahas cacar dan herpes bukanlah sesuatu yang menyenangkan buatku.
"Untung aku udah kena cacar, Mir, jadi pas disuruh ngolesin gini aku ga takut ketularan." Julia memecah keheningan sesaat tadi.
Aku nyengir. "Iya, makasih ya, Jul."
"Sama-sama. Nih." Julia menyerahkan salep padaku. "Udah selesai."
Aku menyimpan salep itu di kotak susun serbaguna di atas lemari yang biasanya kupakai untuk menyimpan aksesoris jilbab. Salep kumasukkan di kotak paling bawah sementara aksesoris jilbab sudah memenuhi kotak pertama.
"Besok kalo butuh aku buat ngolesin salep lagi panggil aja." Kata Julia yang kusambut dengan anggukan dan acungan jempol kanan.
Butuh waktu 2 minggu bagiku untuk sembuh dari siksaan herpes dan cacar. Benar kata Anty, untung cacarku pintar sembunyi jadi bekasnya tidak terlihat. Ada satu sih di pipi kiri. Tapi tidak terlalu mengganggu pemandangan.
Tak lama setelah aku sembuh dari cacar, Eka dan Bima ngedumel.
"Asem koh. Deneng dewek bisa kenang cacar sih? [Sialan nih. Kok kita bisa kena cacar sih?]" Bima bersuara.
Mampus. Aku mencelos dalam hati. Selama ini memang tidak ada yang tahu bahwa aku sempat kena cacar karena aku selalu memakai pakaian berlengan panjang dan bercelana panjang serta menggunakan jilbab. Apalagi cacarku pintar sembunyi. Bekasnya di pipi pun nyaris tak kentara.
"Wingi mesti ana sing bar kenang cacar! [Kemarin pasti ada yang abis kena cacar!]" Eka menyahut.
Aku buru-buru mengendap-endap menjauh dari mereka pelan-pelan tapi malah jadi tertawa terpingkal-pingkal setelah mendengar skema "kejahatan" mereka berdua.
"Kie dewek kudune mecahna cacare dewek terus banyune cacare kuwe dilebokna nang bak mandi toilet kampus. Bar kuwe mesti akeh sing kenang cacar. [Ini kita harusnya mecahin cacar kita terus airmya dimasukin ke bak mandi toilet kampus. Abis itu pasti banyak yang kena cacar.]" Bima yang jadi ketua geng Rebellion memang selalu punya ide absurd bin aneh.
"Nah, apik kuwe, Bim! [Nah, bagus itu, Bim!]" Eka langsung setuju saja dengan ide aneh itu.
"Kenang apa kowe, Mir, deneng ngguyu dewek? [Kenapa kamu, Mir, kok ketawa sendiri?]" Tegur Bima saat melihatku tertawa terpingkal sendiri.
"Eh, oh, enggak. Lucu aja. Kalian belom kena cacar to ternyata?" Aku berusaha menutupi penyebab tertawaku karena siapa tahu skema kejahatan mereka ini bersifat rahasia dan bagi siapa saja yang mendengarnya akan diberi hukuman dengan direkrut menjadi anggota Rebellion yang berarti hukuman paling mengerikan karena aku harus menjadi orang normal di antara orang aneh.
"Iya nih. Ga tau siapa sih yang nyebarin cacar ini sampe akhirnya kita kena. Makanya kita punya rencana busuk." Eka tersenyum miring, senyum khas tokoh antagonis. Bima dan Eka lalu tertawa iblis bersamaan.
Selang tiga hari kemudian anggota Rebellion yang lain juga terkena cacar termasuk Radit. Aku curiga jangan-jangan Eka dan Bima benar-benar melakukan skema kejahatan mereka.
"Minum ini sama olesin ini aja." Kataku pada Radit saat dia tetap memaksa datang ke kosanku untuk mengantar makanan meski dia mengaku tubuhnya mulai demam. Aku memberinya obat cacarku yang masih tersisa.
Radit mengernyit. "Obat apa ini?"
"Obat cacar." Jawabku kalem.
"Kadaluwarsa?" Radit menatapku curiga.
"Enak aja." Tampikku. "Baru dua mingguan kok. Belum ada sebulan deh pokoknya."
"Kamu belum lama ini kena cacar juga?" Radit bertanya seolah tak percaya. Lihatlah, bahkan pacarku saja tak tahu aku sempat kena cacar.
Aku tersenyum.
"Wah, wah, wah, jangan-jangan aku dan geng Rebellion yang lain kena cacar gara-gara kamu ya?" Radit menatap dengan pandangan menuduh tapi wajahnya tersenyum jahil.
"Aku harus laporin ke Bima soal temuan ini jadi kamu bisa dikasih hukuman sama geng Rebellion." Lanjut Radit yang membuatku akhirnya tahu apa arti seringai jahilnya.
"Anything but not being Rebellion's member, please. [Apapun asal bukan jadi anggota Rebellion.]" Kataku jengah. Radit lalu mengacak-acak kepalaku dan kami pun tertawa berdua.
***