Chereads / Balada Mahasiswa: FRNDS / Chapter 16 - Tragedi Kecoa

Chapter 16 - Tragedi Kecoa

Aku ini tipe hoarder alias pengumpul barang. Barang apa aja suka aku simpan dengan alasan "ah, nanti bakal kepake" meski harusnya barang itu sudah dibuang. Belakangan aku baru tahu bahwa itu sebenarnya masuk kategori kelainan bahkan bisa jadi ciri gangguan jiwa yang disebut hoarding disorder.

Aku mengumpulkan apa saja; kertas bekas fotokopian catatan teman menjelang ujian karena aku tipe mahasiswa yang malas menulis meski ada yang aku salin setelahnya jika sedang tidak ada kerjaan, plastik bekas bungkus membeli apa saja selama bukan bekas bungkus gorengan, kancing yang sudah lepas padahal entah bajunya masih ada atau tidak, ring gantungan kunci, pensil mekanik yang sudah rusak karena berharap beberapa bagiannya masih bisa berguna untuk hal lain, type x kertas yang sudah habis, dan masih banyak lagi. Sampai di kosan pun aku masih membawa kebiasaan itu.

Pikirku waktu itu, plastik dan kertas bekas bisa kupakai lagi untuk membungkus pembalut bekas pakai. Membungkus pembalut bekas pakai dengan kertas atau plastik adalah ajaran kakak keduaku, Mbak Anjani.

"Biar orang yang liat sampahnya nggak jijik," begitu kata Mbak Anjani saat kutanya kenapa pembalut itu harus kubungkus.

Bukan, bukan karena pembalutnya tidak kucuci sebelum kubuang tapi karena Mbak Anjani menganggap bahwa pembalut bekas pakai adalah "barang kotor" yang tidak sama seperti sampah lain.

Selain sebagai bungkus pembalut bekas pakai, aku juga menggunakan plastik sebagai wadah sampah kering yang biasanya kukumpulkan di kamar kemudian aku baru membuangnya ke tempat sampah kosan setelah penuh.

Aku biasanya mengumpulkan plastik-plastik bekas di dalam laci lemari baju. Kulipat-lipat hingga berbentuk segitiga- kupelajari teknik melipat ini juga dari Mbak Anjani- agar ringkas kemudian kumasukkan ke dalam laci setelahnya. Sedangkan kertas bekas kutusuk menggunakan peniti kemudian kugantung di dinding kamar kos agar lebih mudah mengambilnya.

Tak ada yang aneh dengan kebiasaanku itu. Bahkan Anty juga menirunya. Dia mulai mengumpulkan plastik dan kertas bekas untuk membungkus pembalut bekas pakai atau untuk membungkus benda-benda lain. Aku mulai curiga ketika suatu hari kamarku kedatangan kecoa. Awalnya seekor. Aku sampai jejeritan tak karuan di kamar sambil memegang sapu.

"Lo kenapa sih, Mir, heboh bener?" Anty melongokkan kepalanya ke kamarku.

Aku meringis. "Ada kecoa, Ty. Bi-bisa ga bantu aku?" Aku memberi tatapan lelah dan putus asa karena gagal membuat si monster itu enyah dari kamarku. Aku merinding bukan main dan gemetar ketakutan karena si kecoa sempat menyentuh kulit lenganku. Aku sedang asyik tiduran di kasur saat si kecoa lewat tanpa permisi di kasurku. Otomatis aku langsung kaget. Aku benci sekali dengan serangga. Aku benci semua hewan dengan kaki banyak. Terutama yang bisa terbang.

"Oh." Anty masuk ke dalam kamarku. "Dimana kecoanya?" Tanyanya santai.

"Ga tau. Tadi lewat kasur. Ga tau sekarang ada di-"

"Sssttt..." Anty menempelkan jari telunjuknya ke bibir. "Ada di meja." Anty menunjuk meja tempat aku meletakkan termos, mi instan, dan jajanan yang biasanya kubeli saat belanja bulanan. Untung saja aku tidak menyimpan makanan yang sudah dibuka. Kalau sampai si monster laknat itu menginjakkan kaki-kaki kotornya ke atas makanan yang sudah dibuka maka aku harus tega membuang makanan yang sudah terkontaminasi itu meski itu makanan yang paling enak di dunia.

Anty mengendap-ngendap berjalan mendekati meja itu. Lalu-

"Kena lo!" Kata Anty kemudian. Dia mengintip ke dalam dua belah tangannya yang menangkup. "Aman, Mir! Udah gue tangkep. Gue buang kecoanya dulu ya."

"Kenapa ga lo injek aja biar mati?" Tanyaku dengan tatapan horor karena bisa jadi monster kecil berantena itu kembali ke kamarku lagi.

"Lah, kecoa mah mending disemprot pake baygon daripada diinjek, Mir. Emang lo belum tau dampaknya apa?"

Aku menggeleng dungu.

"Kalo kecoa diinjek sampe mati dan penyet nanti bakteri yang ada di badannya ikut keluar dan infeksi tubuh kita, Mir. Bisa-bisa kita malah ikut sakit."

"Tapi kalo kecoa itu balik lagi juga sama seremnya, Ty," aku bergidik ngeri.

"Ah, kagak lah. Kalo dibuang nanti juga dia bakal nyari tempat lain." Kata Anty sotoy. "Apa gue piara aja di kamar ya?"

"ANTYYYYYY!!! TEGA KAMU!!!" Aku berteriak marah. Dia nyengir lalu membuang kecoa itu entah kemana.

Keesokan harinya aku kaget saat mendapati makhluk bersayap itu muncul lagi di kamar.

"Tuh kan bener. Kalo cuma dibuang ga bakal mati. Dia pasti malah balik lagi kesini. Anty sih dibilangin ga percaya," aku menggerutu.

"Mana Anty masih belum balik kuliah lagi. Terus ini kecoa kudu digimanain? Aku jijik kalo harus ngusir sendiri." Tapi aku tetap mengambil sapu dari dapur. Aku mencoba menguatkan diri mengusir kecoa laknat itu.

Tapi-

"Astagfirullah al'adzim!!" Aku membelalak ngeri melihat pemandangan di depan mataku. "Kenapa kecoanya jadi ada dua?"

Aku sampai harus memakai kacamata untuk mengecek pandanganku karena aku berpikiran jangan-jangan mata rabunku yang sering tidak fokus ini menyebabkan kecoa itu terlihat menggandakan diri. Namun, ternyata tidak. Kecoa itu memang benar ada dua. Apakah saat dia dibuang kemarin si kecoa justru menggunakan kesempatan itu untuk mencari pasangan? Lalu dia pikir aku ini adalah majikannya yang bermurah hati memberinya kesempatan untuk mencari jodoh sehingga dia kembali ke kamarku lagi untuk memperkenalkan pacarnya padaku dan hendak meminta restuku?

Belum usai permasalahan dua monster ini, aku dikejutkan lagi dengan kecoa-kecoa lain yang berukuran lebih kecil. Aku makin berang. Apa? Kecoa yang kemarin itu bahkan sudah beranak pinak di kamarku tanpa ikatan pernikahan? Eh, salah. Maksudnya kenapa mereka buru-buru punya anak kalau aku belum memberi restu? Apa mereka dengan sengaja beranak pinak lebih dulu agar aku memberi restu? Duh, bukan gitu maksudnya. Maksudnya kenapa mereka ada banyak? Kecoa-kecoa kecil itu berasal dari mana? Apakah kini kecoa juga punya kemampuan membelah diri layaknya amoeba?

Tunggu, tunggu. Aku menelusuri arah datangnya mereka. Kulihat beberapa kecoa kecil itu merayap dan menyelinap menuju lemari pakaianku melalui lubang kecil yang ada di samping lemari. Perasaanku mulai tidak enak. Dengan sedikit bergidik geli, aku memberanikan diri untuk membuka pintu lemari dan wuuussss... Bagaikan air bah, kecoa-kecoa lain dalam jumlah yang lebih banyak langsung menyerbuku. Sontak saja aku menjerit ketakutan.

"AAAAAAAAA....."

"Ada apa, Mir?" Mbak Parti, adik ibu kosku, yang pertama datang begitu mendengar jeritanku.

"Anu, itu, Mbak. Itu-" mulutku bagai dikunci. Kengerian masih membayang di kepalaku melihat serbuan kecoa tadi. Aku masih bergidik ngeri karena masih merasakan geli bekas dirembeti kecoa-kecoa kecil tadi. Aku sudah tak peduli lagi kemana mereka pergi. Entah kemana mereka menginvasi. Aku hanya ingin ketenangan yang hakiki kembali.

Mbak Parti melihatku dengan kebingungan. "Kenapa to?"

"Itu, Mbak. Anu-" susah payah aku menjelaskan. "Kecoa." Ketika bibirku akhirnya mengucap dengan jelas aku langsung bernapas lega seolah baru saja melepaskan beban besar di pundakku.

"Ada. Kecoa. Banyak. Banget. Tadi. Keluar. Dari. Kamar. Saya." Aku menjelaskan dengan terbata pada Mbak Parti.

"Kok bisa?" Mbak Parti akhirnya masuk ke kamarku lalu melongok semua penjuru kamar. "Ga ada kok, Mir."

"Udah. Pergi. Mbak. Tapi. Tadi. Banyak. Banget."

"Keluar dari mana?"

Aku menunjuk laci lemari yang masih belum kubuka karena takut ada monster yang lebih banyak lagi di dalamnya.

Mbak Parti membuka laci lemariku. Benar saja. Ada beberapa ekor kecoa yang menyerbu keluar begitu Mbak Parti membuka laci lemarinya.

"Waduh, kok banyak gini ya?" Tanya Mbak Parti. "Itu kayaknya gara-gara kamu nyimpen banyak plastik disitu deh, Mir. Coba plastiknya kamu buang-buangin apa gimana gitu. Atau kamu coba bisa pake kapur barus disimpen disitu biar ga ada kecoa atau serangga lain yang beranak disitu."

Aku mengangguk lemah. Rasanya seluruh tulangku lepas dari tubuh gara-gara kecoa sialan itu.

"Sama ini. Baju-baju kamu dikeluarin semua dulu. Siapa tau masih ada yang nyelip di belakang baju. Sekalian baju-bajunya dicuci. Barangkali kena kotorannya kecoa. Bau."

Aku mengangguk lagi. Tapi otakku sebenarnya sudah tak bisa berfungsi untuk menangkap informasi apapun karena saking syoknya.

"Kenapa, Mir?" Tiba-tiba Anty muncul di ambang pintu kamarku.

"Kecoa. Lebih banyak. Di lemari baju." Aku hanya berkata singkat.

Anty mengerti lalu dia membantuku membongkar seluruh isi lemari. Dia membersihkan lemariku bahkan memberiku setengah kantong kapur barus padaku dan meletakkannya di dalam lemari.

"Nih, baju-baju lo dilaundry aja semua. Udah bau gitu. Udah gue masukin ke tas. Tinggal bawa aja."

Aku mengangguk. "Makasih, Ty. Aku ga tau kalo ga ada kamu yang suka mainan kecoa mungkin aku cuma bisa bengong karena syok."

"Never mind. This is what friends are for. Yok, gue temenin ke tempat laundry."

Akhirnya aku membuang semua plastik yang ada di laciku. Menjejali lemari dengan banyak kapur barus. Aku juga membeli obat semprot serangga untuk persiapan bila ada kejadian seperti ini lagi meski aku berharap tidak ada lagi. Mengirim semua bajuku ke laundry dan terpaksa memakai baju itu-itu saja dengan sistem cuci-kering-pakai selama berhari-hari karena waktu untuk menyelesaikan laundry milikku yang cukup lama. Lalu aku berjanji dalam hati tak akan menjadi hoarder lagi. Tapi dalam hatiku masih ada satu pertanyaan: Kenapa Tuhan menciptakan makhluk bernama kecoa kalo dia ga ada gunanya selain buat menakut-nakuti manusia kayak aku?

***