Ternyata setelah Tita dan Bowo resmi jadian tak lama Anty menyusul jadian juga. Bukan dengan anak Sastra Indonesia juga atau dengan anak Sastra Inggris melainkan dengan sepupu Bowo yang dikenalkan dengan Anty tak lama setelah Tita dan Bowo resmi berpacaran. Maulana, sepupu Bowo yang akhirnya jadi pacar Anty yang akrab disapa Maul itu, kudengar bekerja di PT. KAI entah sebagai apa. Sepertinya sih bagian staf kantor tapi aku tak tahu persisnya. Setahuku Maul itu seumuran dengan Anty hanya saja dia tak melanjutkan pendidikannya ke jenjang kuliah karena terbentur biaya sehingga dia bertekad membiayai kuliahnya sendiri kelak. Beruntung Maul diterima bekerja di perusahaan yang bagus, milik negara pula.
Praktis setelah mereka berdua punya pacar aku jadi sering sendirian di kosan. Mereka yang tadinya beli makan denganku akhirnya lebih memilih makan di luar bersama dengan pacar masing-masing. Jadwal kencan mereka tidak selalu sama sih tapi seringnya memang bersamaan. Bowo dan Maul akan datang bersama dengan menggunakan motor yang berbeda kemudian mereka akan mengajak Tita dan Anty untuk kencan diluar.
Dari luar, keadaanku yang tetap jomblo di antara teman-teman yang sudah berpacaran terlihat menyedihkan. Bu Ndari, ibu kosku, juga sepertinya mengasihani aku. Seolah menjadi satu-satunya orang yang belum punya pacar dalam sebuah lingkar pertemanan adalah hal paling tragis yang pernah dialami oleh seorang Samira Daneswari. Oh, andaikan ibu kosku tahu bahwa aku pernah dapat nilai 0.7 saat ulangan Matematika waktu SMA. Itu adalah hal paling tragis yang pernah kualami seumur hidup.
"Kalo mau nonton TV ke ruang tengah aja, Mir," ajak ibu kosku itu.
"Iya, Bu." Jawabku sopan. Padahal aku sama sekali tidak tertarik menonton TV bersama ibu kos dan dua saudaranya. Pasalnya tontonan favorit mereka adalah sinetron yang mana itu adalah tontotan yang kubenci. Tontonan sejuta umat ibu-ibu di Indonesia itu tak pernah absen menghiasi layar TV di rumah indekosku. Apalagi jarak antara ruang tengah dan kamarku cukup dekat sehingga aku bisa mendengar jelas suara TV dari kamarku.
"Sudah makan?" Tanya ibu kosku lagi.
"Sudah, Bu. Tadi saya sudah beli makan di warung." Jawabku.
"Oh, kirain belum makan. Kalo belum makan bisa makan di sini sih ga papa kok. Saya masak tumis kangkung sama tempe goreng. Kalo mau makan seadanya boleh kok numpang makan di sini." Ibu kos berbasa-basi.
"Nggak usah, Bu, makasih." Tolakku halus. Bukan aku anti makanan sederhana begitu. Toh nasi rames yang kumakan tiap hari juga isinya begitu begitu saja kok tapi aku paling tidak suka merepotkan orang lain dengan numpang makan pada orang lain di saat aku masih bisa beli makan.
"Tita sama Anty itu kok ga kasihan ya liat kamu sendirian terus di kosan," kata ibu kos dengan nada yang terdengar menyudutkan Tita dan Anty.
Aku tak menjawab karena bingung harus menanggapinya bagaimana. Aku cuma bisa senyum.
"Mereka asyik pacaran sementara temen ditinggal sendirian." Ibu kos makin gencar menyudutkan kedua temanku.
"Anak jaman sekarang itu kalo pacaran bahaya. Ga kenal waktu ga kenal tempat. Jangan-jangan kalo pacaran malem-malem gini mampirnya ke GOR." Ibu kos semakin sengit melancarkan tuduhan.
Sebagai informasi, GOR yang dimaksud ibu kosku adalah GOR Satria. Kalau pagi dan siang terutama saat hari Minggu memang dikenal sebagai gelanggang olahraga. Di hari Minggu pagi malah banyak sekali pedagang makanan menggelar lapak di sana karena biasanya GOR digunakan sebagai lokasi CFD. Banyak orang berdatangan kesana untuk berolahraga. Tapi siapa sangka jika saat malam hari GOR justru ramai oleh pasangan muda-mudi memadu kasih bahkan katanya ada yang nekat melakukan hubungan seksual di dalamnya. Tak jarang di jalan sepanjang GOR yang cukup gelap itu juga banyak pasangan kekasih yang "mojok".
Aku mengernyit bingung. Setahuku Anty memang jarang sekali keluar untuk berkencan. Maksimal tiga kali seminggu dengan hari yang tak ditentukan. Sedangkan Tita sedikit lebih sering berkencan daripada Anty. Namun, yang jelas mereka tak pernah pulang lebih dari pukul 21.00 karena mereka biasanya pergi hanya untuk makan malam. Itupun mereka berangkat dari selepas magrib bahkan selepas isya. Jenis makanan di dekat kos kami memang tak banyak sehingga saat mereka pergi berkencan mereka menjadikan itu sebagai kesempatan untuk mencicipi menu-menu baru diluar sana. Mereka bahkan seringkali membawakan camilan untukku saat mereka pulang. Atau mengirimiku pesan dan bertanya aku mau menitip apa. Kadangkala mereka juga membagi camilan yang mereka beli pada keluarga ibu kos kok.
Anty pernah bercerita memang pacaran dengan Maul yang sudah bekerja tak seleluasa berpacaran dengan mahasiswa. Apalagi Maul bekerja dengan sistem shift sehingga tak punya jadwal tetap untuk berkunjung. Sedangkan Bowo memang lebih sering berkunjung saat malam hari karena jadwal kuliah yang tak sama dengan Tita sebab mereka berdua beda jurusan.
Aku jadi merasa agak tersinggung saat ibu kosku seolah-olah ingin menyudutkan Tita dan Anty. Bagaimanapun keduanya adalah temanku. Aku yang lebih banyak tahu soal mereka daripada ibu kosku. Tapi aku tak berkata apapun untuk membela mereka. Aku tak ingin menyulut pertikaian dengan ibu kos. Apalagi ibu kos kan lebih tua. Kalau aku melakukan pembelaan terhadap mereka nanti aku dianggap melawan orang tua.
Hingga suatu malam terjadilah insiden itu. Pasca aku memberitahu Anty dan Tita bahwa secara tak langsung ibu kos menegur mereka lewat aku, mereka akhirnya memutuskan untuk tidak pergi keluar untuk berkencan selama beberapa hari. Tapi sebagai gantinya mereka berbincang dengan Maul dan Bowo di teras kosan. Kebetulan sekali malam itu Maul dan Bowo datang bersamaan. Akhirnya Anty dan Tita menemui mereka di teras rumah. Aku ikut nimbrung agar aku tak hanya ngendon di kamar di belakang. Saat mereka tengah asyik bergurau tiba-tiba saja ibu kos keluar dari rumah sambil menggebrak pagar rumah yang terbuat dari kayu sambil menggerutu. Tentu saja kami semua yang ada di sana kaget. Maul dan Bowo kebingungan dengan apa yang terjadi.
"Kalian pulang aja deh mendingan. Aku jadi ga enak sama ibu kos," kata Anty yang meski terkesan nyablak tapi sebenarnya tipe orang yang ga enakan. Dia lebih peka ketimbang aku kalau soal perasaan orang.
"Iya deh mendingan kalian pulang aja dulu deh." Tita ikut mendukung keputusan Anty untuk menyuruh Bowo dan Maul pulang.
"Sebenernya ada apa sih?" Tanya Bowo. Bowo ini tipe cowok humoris yang tak pernah gagal melucu. Ekspresinya saja cukup membuat orang terhibur. Sedangkan Maul tipe cowok pendiam. Dia terlihat lebih dewasa daripada Bowo meski dilihat dari usia mereka sepantaran.
"Lagi PMS kali," jawab Anty asal.
"Emang di usia segitu ibu masih mens?" Aku menyahuti dengan lebih asal lagi sehingga aku menerima pelototan dari Anty dan Tita sebagai balasannya.
"Apa tadi kita ngomong kenceng banget ya sampe kedengeran berisik banget dari dalem?" Tanya Anty retoris karena baik aku maupun Tita tak tahu jawabannya.
Aku hanya mengedikkan bahu. Tita hanya diam seribu bahasa.
"Baru kali ini loh Bu Ndari begitu." Anty masih mengoceh. "Apa kita perlu minta maaf?"
"Kayaknya ga usah deh," cegahku. Anty meminta penjelasan lewat tatapan matanya. "Soalnya tadi kita juga ga tau kan isi gerutuannya ibu apaan. Siapa tau dia emang sempet berantem sama adek-adeknya di dalem terus dilampiaskan ke pagar rumah."
Anty dan Tita menimbang-nimbang perkataanku.
"Apa mungkin Bu Ndari sensi sama kita yang sering diapelin ya?" tanya Anty lagi. Retoris.
"Apa hubungannya?" Tita akhirnya buka suara setelah terdiam agak lama.
"Dia kan, maap maap nih ya, perawan tua. Mungkin dia jadi agak sensi gitu kalo liat orang pacaran," terang Anty.
Aku tersenyum geli. "Tapi ya udah ga pada tempatnya lah, Ty, kalo masih iri sama abege. Lah dia kan udah ga muda lagi. Ya masa mau iri sama anak muda yang masih pacaran."
"Namanya juga iri, Mir. Iri mah ga kenal waktu dan tempat apalagi umur."
Aku mengedikkan bahu.
"Udah deh ga usah dipikirin. Mending kita tidur aja." Kata Tita akhirnya. "Besok kita kuliah pagi kan? Ini udah mau jam sembilan loh."
"Dih, cupu!" Olok Anty. "Baru jam sembilan udah mau tidur. Banci Rajawali aja baru mangkal."
Tita menoyor kepala Anty. "Kan gue bukan banci jadi ngapain melek sampe malem?"
Fyi, Rajawali sebenernya adalah nama bioskop, satu-satunya bioskop, yang ada di Purwokerto. Seringnya daerah sekitaran bioskop itu dijadikan tempat mangkal para banci saat malam hari sehingga dikenallah istilah banci Rajawali.
Akhirnya kami memang tidak jadi tidur dan malah mengobrol ngalor ngidul sampai pukul sebelas malam. Aku menyerah duluan dan kembali ke kamar karena sudah mengantuk. Kejadian malam itupun perlahan hilang dari ingatan kami bertiga meski akhirnya ada kesan tak menyenangkan tentang ibu kos sejak saat itu.
***