Balada Mahasiswa: FRNDS

🇮🇩giesalindri
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 63.8k
    Views
Synopsis

Prolog

Aku menjejakkan kaki yang berjuluk Kota Satria ini. Sebuah kota kecil nan sejuk yang terletak di bawah kaki Gunung Slamet. Aku agak sedikit terkejut dengan perubahan cuacanya. Aku terbiasa hidup di daerah pesisir pantai lalu tiba-tiba mulai sekarang sampai empat tahun ke depan (dengan catatan kalo bisa lulus tepat waktu) harus tinggal di daerah dataran tinggi. Namun, aku sudah membayangkan serunya kuliahku nanti di jurusan Sastra Inggris ini meski aku masih bisa mengingat euforia saat aku menemukan namaku di barisan nama-nama calon maba lain yang terpampang di satu lembar koran lokal. Ya, aku berhasil masuk ke sebuah universitas negeri di kota ini lewat jalur SPMB. Betapa bangganya aku. Yah, meski universitas ini tergolong kurang bergengsi dibanding dua universitas negeri lain di Jawa Tengah tapi aku tetap bangga. Dua kakakku bahkan tak pernah ada yang lolos seleksi SPMB meski ikut lebih dari sekali dan terpaksa harus puas dengan hanya kuliah di universitas swasta.

"Haaaachiii..." aku bersin.

Ah, ini dia. Ucapan selamat datang dari imun tubuhku yang lemah dengan hawa dingin. Ah ya, aku memang alergi dengan hawa dingin. Lebih tepatnya dengan cuaca ekstrim. Sebentar panas sebentar dingin. Ini masih siang bahkan menjelang tengah hari bolong tapi cuaca di sini masih dingin bukan main. Aku menyentuh hidungku, berdoa semoga dia tidak rewel selama empat tahun ke depan karena harus berjibaku dengan udara dingin begini.

"Ajigineeeeeng!! Lo bersin liat-liat dulu kek. Muncrat tauk!" Teriak seseorang yang awalnya tak kuperhatikan. Sepertinya dia sudah di dekatku dari tadi. Hanya saja karena hawa keberadaannya tipis jadi aku tak menyadari kehadirannya. Kuperhatikan dia. Perempuan. Berambut panjang. Memakai kaos putih. Aku terpaku pada kedua kakinya.

Semoga napak, harapku.

Kakinya diselubungi sepatu Converse dengan corak army. Setelah kuperhatikan lagi ternyata kepalanya juga ditutupi oleh topi hijau dengan corak senada. Aku mendesah lega. Ga mungkin Mbak Kunti make sepatu Converse dan topi army kan apalagi nongol siang-siang gini. Aku melupakan kemungkinan bahwa fashion bisa saja sudah merambah ke dunia perhantuan. Kulihat dia sedang membersihkan sisa bersinku yang tak sengaja terarah padanya. Ya kan lendir bersin nggak punya mata jadi kalo dia kemana-mana wajar lah. Maklumin aja.

"Apa lo liat-liat?" tanyanya galak. Seperti anjing tetanggaku yang suka menyalak. Gara-gara ini aku yakin perempuan di depanku ini manusia. Kalo dia Mbak Kunti pasti aku sudah dijadikannya sate dan dimakannya sekaligus dalam sekali suap.

Aku memang sedang memperhatikan penampilannya yang bak calon tentara. Andai dia mengenakan kaos hijau army juga sudah bisa kupastikan dia pastilah calon tentara yang sedang pendidikan. Atau setidaknya cewek yang terobsesi jadi tentara tapi ga direstui bapaknya karena dia perempuan. Tubuhnya beberapa senti lebih tinggi dariku meski sepertinya berat badan kami hampir sama karena kami sama-sama kurus.

"Nggak papa. Maap, maap ya. Tadi aku nggak tau kalo ada orang," aku menangkupkan kedua tangan memohon maaf.

"Buseeett. Gue segede gini lo ga liat?" cewek itu tampak tersinggung. Aku cuma bisa senyum kikuk.

"Lo orang mana sih? Jawa?" tanyanya.

"Pekalongan," jawabku lebih spesifik.

"Oh, yang banyak batik itu ya? Ortu lo pengusaha batik juga?" 

Aku menggeleng. "Bukan."

"Kirain semua orang dari sono jualan batik."

Lah, dikata Pekalongan nggak ada keberagaman pekerjaan? Emang cuma kota gede aja yang ada diversity?

"Eh, bentar bentar. Lo seriusan orang sono? Masa sih? Kok ga medok?"

Pertanyaan kesekian, batinku.

Banyak orang menyangsikan ke-Jawa-anku gara-gara aksenku yang tidak seperti orang Jawa. Maklum ayahku sering berpindah-pindah dinas keluar kota bahkan keluar Jawa. Aku pernah menetap lama sekitar sebelas tahun di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Di sana aku tidak belajar bahasa Jawa sebagai bahasa daerah tapi bahasa Madura. Dulu aku fasih sekali berbahasa Madura. Bahkan dulu aku lebih mengerti bahasa Madura daripada bahasa Jawa yang notabene adalah bahasa ibuku. Sampai detik inipun aku masih tidak tahu bahasa krama sehingga bila aku disapa oleh budhe, pakde, dan saudara-saudara lain yang lebih tua aku selalu menjawabnya dalam bahasa Indonesia. Kata ibu tidak sopan menggunakan bahasa Jawa ngoko pada orang yang lebih tua. Lebih baik menggunakan bahasa Indonesia kalau memang tidak tahu. Kini bahasa Madura pun sudah lupa. Maklum, sudah lama sekali aku tidak berbahasa Madura sejak aku pindah ke Pekalongan di tahun 2003 untuk meneruskan SMA di sana karena ayahku juga pindah dinas ke sana. Kosa kata dalam bahasa Madura yang dulu bisa kuhapal sekarang hilang dan bercampur dengan ingatan lain.

"Emang kalo orang Jawa wajib medok ya?"

"Ngg, nggak juga sih. Cuma biar keliatan Jawa banget aja. Eh, btw, nama lo siapa? Nama gue Murni Wijayanti. Panggil aja Anty. Gue dari Bekasi." Dia mengulurkan tangannya.

Aku membalas uluran tangannya tapi hanya bengong. Anty lalu bertanya. "Kenapa? Nama gue norak ya?"

Aku buru-buru menggeleng. "Ng-nggak kok. Cuma kontras aja nama sama penampilan kamu. Nama kamu terlalu-" aku mencari padanan kata yang pas agar Anty tidak menganggap aku sedang mengejeknya karena memang tidak. "-cewek buat penampilan kamu yang cowok." Aku meringis. Berharap dia mengerti maksudku.

"Oh. Iya sih emang. Ini mungkin gara-gara bokap gue pengen anak cowok tapi nyokap ngelahirin anak cewek lagi. Akhirnya kelakuan gue tomboy deh. Dan gue emang paling ogah dipanggil Murni karena nama itu terkesan, bener kata lo, cewek banget. Ga cocok sama gue yang berjiwa lelaki." Anty menyahut enteng.

"Nama lo siapa?" Akhirnya Anty bertanya lagi karena pertanyaannya tadi belum terjawab.

"Aku Samira. Samira Daneswari. Panggil aja Mira," aku membalas uluran tangannya.

"Lo kesini naik apa?" Tanya Anty basa-basi. Kulihat dia menenteng tas pakaian dan sekotak kardus mi instan yang entah isinya apa dengan susah payah. Sementara di punggungnya ada sebuah tas ransel yang terisi penuh hingga menggembung. 

"Naik mobil travel. Kamu?"

"Naik bis. Lo sama siapa kesini?"

"Sendiri."

"Hah? Terus lo cuma bawa barang segitu aja?" Mata Anty membulat kaget.

Aku mengangguk. Kulirik tas pakaian yang kubawa dari rumah. Ukurannya memang cukup besar karena aku suka segala sesuatu yang praktis. Tas itu memuat banyak barang yang kujejalkan jadi satu; beberapa pasang pakaian, jilbab, aksesoris jilbab seperti peniti dan bros serta alat make up yang hanya terdiri dari bedak, sisir, dan lip gloss yang kumasukkan ke dalam kantong kecil, sepasang sepatu dan sandal, tas untuk kuliah, serta handuk dan peralatan mandi. Sedangkan di bahuku terselempang sling bag kecil yang kugunakan untuk membawa ponsel dan dompet.

"Emangnya lo ga bawa banyak baju?"

Aku menggeleng. "Males. Toh, nanti kalo udah lama di sini juga pasti bakal beli baju juga."

"Iya sih." Anty manggut-manggut.

"Kok kita dari tadi jalan bareng terus? Emangnya tujuan kita sama ya?" Tanyaku saat menyadari kami melangkah bersamaan.

"Iya, waktu registrasi bokap gue dapet kosan buat gue di sekitar sini."

"Yang punya rumah Bu Ndari bukan?"

"Iya kok lo tau? Jangan-jangan kita-"

"Jodoh?" Aku terkikik.

Anty mengibaskan tangannya seraya mendecak. "Ih, bukan! Ngarep lo!"

"Najis! Lesbi juga liat-liat lah." Aku terkekeh lagi.

Anty melotot. "Maksudnya jangan-jangan kita satu kos ya?"

Aku mengangguk.

"Wah, salam kenal, Teman Satu Kos. Mohon kerjasamanya ya." Anty sedikit membungkukkan badannya. Aku terkekeh geli melihat tingkahnya.

"Semoga kita cocok sampe empat tahun ke depan," timpalku.

Lalu saat kami menemukan sebuah rumah di gang sempit yang akan menjadi tempat kos kami, kami tersenyum.

***