Kegiatan ospek di kampusku terdiri dari tiga hari ospek dan satu hari makrab. Hari ini adalah hari dimana kami akan pergi ke Baturraden untuk menjalani kegiatan makrab. Melaksakan makrab di Baturraden memang sudah jadi tradisi bagi jurusan Bahasa dan Sastra. Kami akan berangkat ke sana di hari ketiga ospek pada sore harinya dengan menggunakan truk terbuka kemudian kegiatan makrab akan dilaksanakan pada malam harinya sampai siang hari berikutnya. Sore harinya kami harus segera pulang karena vila yang dijadikan tempat kami menginap hanya disewa untuk satu hari.
Secara keseluruhan kegiatan makrab tidak ada yang spesial. Yang berbeda dari kegiatan ospek di hari-hari sebelumnya hanyalah panitia komdis yang tidak banyak muncul karena ini adalah kegiatan bersenang-senang. Dari malam hari sebelum sampai siang hari berikutnya hanya ada panitia acara. Kami diajak bermain games, bermain api unggun, unjuk kebolehan seperti bakat menyanyi atau main alat musik, pentas drama dadakan, dan sebagainya. Saat malam makrab aku juga merasa para anggota kelompok jadi lebih dekat dan bisa saling berinteraksi dengan santai karena kami tidak lagi ditekan oleh perintah-perintah komdis yang menyebalkan itu.
"Wah, kamu ternyata orang Pekalongan juga?" Aku takjub mendengar penuturan Imam, salah satu teman sekelompokku.
Fyi, saat ospek kami memang sedikit sekali mengenal satu sama lain karena kami masih dipusingkan oleh komdis yang selalu menebar teror sehingga kami tidak sering bertegur sapa. Kami hanya sekadar tahu nama teman masing-masing. Bahkan ada beberapa teman perempuan sekelompok yang sering aku lupa namanya.
"Iya," jawabnya malu-malu. Padahal kalau untuk urusan jatah makan dia tak pernah malu-malu. Dia dengan senang hati menerima sisa jatah makan cewek-cewek sekelompok yang biasanya makan cuma sedikit. Tentunya cewek itu bukan aku.
"Kota atau kabupaten?" Tanyaku mencoba akrab. Menyenangkan rasanya bisa ketemu dengan teman satu kota di perantauan.
"Kabupaten. Wonopringgo." Dia menyebutkan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Pekalongan.
"Oalah," aku memukul-mukul lututku dengan antusias. "Ya ampun dunia ternyata sempit banget yak."
Imam cuma mesem karena mulutnya sedang penuh dengan jajanan yang ditawarkan oleh rekan-rekan perempuan kami.
"Kalo kita tetangga, Mir, kotanya." Seorang mahasiswa cowok yang duduk di sebelahku tiba-tiba menimpali. Kalau aku tak salah ingat namanya Bambang.
"Oh ya? Dimana? Tegal?" Tebakku.
"Pemalang."
"Oh wow!" Aku bingung mau menimpali apa jadi hanya itu yang keluar dari mulutku.
"Tapi aku cukup sering ke Pekalongan kok karena ada saudara di sana. Sepupuku yang masuk jurusan Sastra Inggris juga tinggalnya di Pekalongan. Kenal Lulu ga? Dia ngekos di deket kampus. Kamu kos dimana?" Aku mengapresiasi keinginan Bambang untuk terus melanjutkan obrolan jadi akhirnya aku juga ikut menyahut obrolannya.
"Oh, jadi Lulu itu sepupu kamu to? Kenal. Aku kenal Lulu. Aku kenal dia pas TM terus pernah mampir ke kosannya selama ospek. Biasa, nyari koloni. Kosanku juga deket sama kosan Lulu kok. Kamu kos dimana, Bang?"
Akhirnya kami terlibat obrolan yang lebih intens. Sesekali ada rekan lain yang menyela. Acara makrab ini memang bertujuan agar para maba saling mengakrabkan diri. Judulnya saja makrab alias malam keakraban.
"Kamu keren loh, Mir, berani banget ngomong kayak gitu di depan panitia komdis yang serem itu," puji Nila, salah satu teman cewek yang sekelompok denganku yang paling kalem. Ada total 4 orang cewek di kelompokku termasuk aku. Sedangkan maba cowok ada 6 orang. Wajah Nila manis, berkerudung panjang, berbadan mungil. Dia tipikal muslimah syariah.
"Iya bener. Aku aja takut banget tiap liat panitia itu. Siapa namanya, Wen?" Andina bertanya pada Wenny.
"Mmm siapa ya? Aji?" Wenny berusaha mengingat.
"Nah, iya Aji kayaknya."
"Bukannya Anjay ya?" Tanyaku bloon.
Seketika tawa mereka berderai. Padahal aku memang benar-benar lupa nama si panitia wajah gorila itu. Yang kuingat namanya berawalan huruf A dan ada huruf J-nya. Seingatku namanya mirip dengan nama India makanya aku pikir namanya Ajay atau Anjay.
"Mira penyelamat angkatan 2006." Seru Bambang.
Aku tersipu malu lalu melambaikan tangan bak Miss Universe memberi salam sementara teman-teman sekelompok yang lain bersorak ramai. Untung saja suasana sekitar kami juga sedang ramai sehingga keriuhan dari kelompok kami tidak begitu menarik perhatian. Aku perhatikan ada yang sedang duet menyanyikan lagu Broken-nya Seether featuring Amy Lee versi akustik di dekat api unggun. Mmm boleh juga. Aku juga suka lagu itu. Setelah duet itu ada kelompok lain yang juga ikut unjuk kebolehan.
"Eh, ini pentasnya ga tiap kelompok harus maju kan?" Nila nampak panik karena dia pemalu sekali. Dia takut justru dialah nanti yang ditunjuk maju. Dia sempat bercerita kalau dulu saat SMP dan SMA dia jadi bahan bullyan karena sifatnya yang pemalu. Dia akan selalu ditunjuk jadi perwakilan lomba apa saja di kelasnya. Bukannya jadi berani, Nila justru makin minder. Emang temen-temen Nila itu ga ada akhlak. Nila merasa tidak punya bakat apa-apa yang bisa ditunjukkan ke khalayak ramai selain berusaha menjadi anak solehah untuk orang tuanya.
Aku menggeleng. Aku tidak mengerti karena sejak tadi aku tak memperhatikan.
"Tiap kelompok kok," sahut Adam. Adam ini tipe cowok pendiem dan kalem dalam artian sebenarnya.
"Terus nanti siapa yang mau maju ke depan?" Tanya Wenny.
"Kenapa ga Samira aja?" Usul Ilyas. Ilyas ini tipe-tipe cowok yang diem tapi suka modus. Aku pernah melihatnya modus pada Santi, maba cewek di kelompok Wiji Tukul yang selalu baris di sebelah kelompokku. Setelah dicuekin Santi, Ilyas berpindah pada Erna, maba cewek di kelompok Charlotte Bronte, dan setelahnya entah kemana lagi karena aku tak bisa selalu mengamatinya.
"Kenapa mesti aku?" Sanggahku.
"Karena kamu kan yang paling berani," sahut Anto dengan santai. Dia tipe cowok yang pasti kuhindari untuk jadi gebetan dan pacar. Dari mukanya saja sudah ngajak berantem apalagi gerak-geriknya yang songong itu. Selama ospek dia juga yang selalu pamer tentang keluarganya yang katanya kaya raya dan mengklaim barang-barang yang dipakainya branded semua. Aku tahu dia sedang membual makanya aku selalu diam saja saat dia cerita.
"Semua mahasiswa sastra harus berani dong." Edwin berdiplomasi. Dia ini maba yang pinter tapi kadang terkesan sok pintar. Dia merasa seolah tak ada orang lain yang tahu bahwa pemimpin Nazi adalah Adolf Hitler atau Chairil Anwar adalah penyair yang membuat sajak berjudul Aku. Apesnya aku. Kenapa aku harus sekelompok dengan cowok-cowok ampas.
"Nah, tuh bener!" Tapi kali ini aku setuju dengan kata-kata Edwin. "Semua mahasiswa sastra harus berani. Apalagi cuma unjuk bakat aja kan? Siapa di sini yang bisa main gitar atau nyanyi?" Tanyaku sambil memandang rekan-rekan sekelompokku satu persatu.
"Ah, kalo main gitar sama nyanyi udah banyak banget dari tadi, Mir. Yang lain kek," seru Anto bernada protes.
"Oh, ya udah kamu aja kalo gitu yang maju. Gimana? Kamu mau unjuk kebolehan apa?" Tantangku.
"Capoeira aja gimana?" Anto mengedipkan sebelah matanya padaku sambil senyum genit. Dipikirnya aku bisa terpesona dengan caranya itu.
"Capoeira apaan?" Tanya Nila, Imam, dan Adam bersamaan.
"Cupu kalian berdua ga tau capoeira!" Ejek Edwin. "Capoeira itu sejenis martial art-nya orang Brazil sono," terang Edwin dengan bangga.
"Ok, fix ya Anto nampilin capoeira. Setuju?"
Kata sepakat akhirnya didapat setelah semua orang setuju Anto yang akan jadi penampil di sesi unjuk bakat. Anto yang memang suka pamer tentu saja dengan bangga mempersembahkan capoeira-nya.
Setelah pukul 22.00 api unggun dimatikan dan saatnya peserta makrab tidur di dalam vila sesuai kelompok yang dibagi berdasarkan jenis kelamin. Cowok di sisi utara, cewek di sisi selatan.
Aku merutuk diri sendiri karena baru saja hendak tidur hidungku sudah mampet berkat udara dingin di Baturraden.
"Udah bawa selimut masih kurang anget juga, ya Allah," aku mendengus dalam hati. Akhirnya aku terpaksa bernapas dengan mulut sepanjang malam demi menjaga ruhku tetap ada dalam tubuh.
***