Chereads / Balada Mahasiswa: FRNDS / Chapter 9 - Tiga Saudara

Chapter 9 - Tiga Saudara

Oh ya, aku ingin bercerita sedikit mengenai sosok induk semang dan keluarganya. Pemilik tempat kos kami unik. Mereka adalah tiga bersaudara. Anak pertama- ibu kos kami- bernama Sundari adalah seorang wanita tua berumur sekitar lima puluhan tahun. Anak kedua seorang wanita berusia mungkin sekitar akhir tiga puluhan atau mungkin malah sudah kepala empat. Sedangkan anak ketiga seorang pria berumur sekitar pertengahan tiga puluhan. Kenapa aku bilang mereka unik? Itu semata karena ketiganya adalah kakak beradik yang sama-sama belum menikah. Apakah kecenderungan belum menikah itu menular antar saudara? Aku tidak tahu karena belum ada peneliti yang melakukan riset tentang ini. Aku juga tidak tahu apa alasan ketiganya belum menikah hingga sekarang.

Aku pernah berdebat dengan Anty saat pertama kali kami indekos di sana. Kami berdebat masalah status ibu kos kami.

"Single ah." Anty berkeras dengan pendapatnya. "Single dalam artian belum pernah nikah."

"Janda, Ty, janda." Akupun ikut keukeuh mempertahankan pendapatku.

"Single, Mir, single." Anty tetap tak mau kalah.

"Kamu tau dari mana kalo si ibu kos single?" Tantangku.

"Dari bokap gue."

"Bokap? Kok bisa?" Aku bingung memikirkan korelasi antara status si ibu kos dan bapaknya Anty. Emangnya bapaknya Anty petugas sensus apa sampe tau status orang?

"Jadi pas pertama kali gue ke sini abis registrasi ulang itu gue dianter bokap kan-"

Aku manggut-manggut.

"Nah, ternyata bokap tuh nanya-nanya sama si ibu kos. Cerita-cerita gitu terus akhirnya nyerempetlah ke masalah pernikahan," terang Anty.

"Terus terus?" Aku masih menyimak karena penasaran.

"Nah, jadi pas ngobrol sama bokap gue dia cerita kalo dia belum pernah nikah-"

"What? Sampe sekarang?" Aku terkejut.

"Ya lo liat sendiri kan selain tiga orang itu dan kita ada orang lain lagi ga?"

Aku menggaruk-garuk janggut meski tidak gatal.

"Gue kirain si ibu janda, sumpah, terus anaknya merantau gitu!" Kataku.

"Sotoy lu! Tau dari mana?"

"Dari foto di depan, di ruang tamu," aku nyengir.

"Ah iya. Gue jadi inget sekarang. Bokap juga sempet liat foto di ruang tamu itu makanya bokap gue nanya apa foto itu foto suami si ibu. Tentara gitu kan ya kalo ga salah."

"Ngg, kayaknya sih semacam itu lah. Entah tentara atau polisi atau prajurit PETA ga tau deh. Tapi pokoknya berseragam," sahutku.

"Prajurit PETA? Buset, jadul amat?" Anty terkikik geli dengan istilahku.

"Abisnya fotonya jadul banget. Mana masih item putih kan. Ya udah mungkin aja emang itu diambil pas jaman pendudukan Jepang di Indonesia kan. Who knows?" aku mengedikkan bahu. "Terus jadinya itu foto siapa dong, Ty?"

"Kalo kata bokap gue sih Bu Ndari cerita kalo itu foto bapaknya."

"Nah kan apa aku bilang. Itu foto pasti foto tentara PETA deh. Lah, anaknya aja udah setua Bu Ndari gimana bapaknya?"

"Iya juga sih."

Nah, anak kedua di keluarga tersebut bernama Parti. Menurutku dia adalah manusia paling unik di keluarga ini. Dia punya ritual khusus sebelum mandi: ngerol poni. Iya, ngerol poni. Anty juga suka pake rol sih karena rambutnya panjang dan dia suka membuat rambutnya punya efek bergelombang agar terlihat lebih tebal. Tapi ngerol poni? Jadi poni Mbak Parti ini selalu on point alias tergulung sempurna setiap hari. Ga peduli mau pergi atau cuma di rumah aja, poni Mbak Parti tetep harus melengkung sempurna. Aku sendiri takjub dengan kebiasaan ngerol rambut itu karena ini sudah tahun 2006. Aku pikir kebiasaan ngerol rambut itu sudah berakhir di tahun 90an karena di rumahku rol rambut yang jumlahnya bejibun sudah teronggok tak berguna di laci meja rias. Selain ngerol rambut sebelum mandi, Mbak Parti juga sepertinya senang melakukan skincare routine. Tak hanya ritual sebelum mandinya yang menurutku serba ribet, waktu yang dibutuhkannya untuk mandi pun lamaaaaa sekali. Entah sejam atau bahkan dua jam.

"Gileeee!" Anty berdecak sambil geleng-geleng kepala. Di lehernya sudah tergantung handuk.

"Kenapa, Ty?" tanyaku saat Anty masuk ke kamarku di belakang yang dekat dapur dan kamar mandi. Aku sedang asyik baca novel sambil tidur telungkup.

"Gue dari tadi nungguin Mbak Parti kelar mandi ga kelar-kelar." Anty berkata dengan berbisik. Maklum kamarku hanya disekat triplek dan karena rumah indekos kami sempit maka jarak antara satu kamar dengan kamar lain berdempetan. Kalau kami lagi gibahin si empunya kosan kami harus bisik-bisik biar ga diusir mendadak.

"Lah, dari tadi kamu belum mandi to?" aku duduk di kasur. "Perasaan dari pagi deh kamu antre mandi karena mau pergi."

Anty memang cenderung lebih rajin mandi dua kali sehari daripada aku yang selalu ogah-ogahan mandi pagi. Aku ini aktivis Anti Mandi Pagi Club yang punya misi menghemat air demi masa depan.

"Nah, makanya itu. Gara-gara Mbak Parti mandinya lama banget kayak bidadari lagi nyebur kolam, gue jadi belum mandi sampe sekarang. Mana gue mau nugas novel sama Silvi bentar lagi."

"Mungkin Mbak Parti lagi nungguin Joko Tarub nyolong selendangnya, Ty, makanya mandinya lama. Eh, taunya ga dateng-dateng," kikikku geli.

"Lo kata ini dunia dongeng?"

"Mandi lama, ngerol poni, make skincare juga belum tentu jadi jaminan dapet jodohnya cepet juga kan yak," kataku spontan yang langsung membuatku reflek menutup mulut.

"Parah lo!" kata Anty. "Hinaan lo barbar. Tapi bener juga sih."

Aku dan Anty lalu tertawa bersamaan.

"Kamu SMS Silvi aja. Bilang telat soalnya ngantre kamar mandi," aku memberi saran pada Anty.

"Pinjem hape lo dong, Mir," kata Anty.

"Lah, kok hapeku?" aku bertanya bingung.

"Hape gue ga ada pulsa. Lupa belum beli." Anty nyengir tanpa dosa.

Aku mendecih. Tapi tetap saja kuserahkan ponselku pada Anty.

Oh ya, selain ritual mandi yang ribet dan waktu mandi yang lama, Mbak Parti masih punya kebiasaan lain yang bikin geleng kepala dan ngurut dada: nyetel lagu Peterpan setiap hari dengan speaker.

"Lama-lama gue apal lagu Peterpan juga nih sealbum," dumel Anty saat suara Ariel mengalun di penjuru rumah.

"Bisa diganti lagunya MCR ga ya?" kikik Anty yang emang MCRmy sejati.

Fyi, MCR itu singkatan dari My Chemical Romance. Sebuah band asal Amerika yang membawakan musik bergenre rock. Lagu-lagunya berisik banget bikin kuping sakit tapi belum seberapa kalo dibandingkan dengan System Of A Down atau Slipknot yang lagu-lagunya ga ada yang bisa didenger telinga biasa saking isinya cuma teriak-teriak doang.

"Gila kamu! Yang ada diomelin orang sekampung karena nyetel lagu rock kenceng-kenceng," kataku.

"Biar kejang-kejang sekalian," kekeh Anty lagi.

Oh, dan jangan lupa masih ada anak bungsu di keluarga ini. Namanya Joko. Kadang kulihat dia pergi seharian sambil membawa tas entah dalam rangka apa dan tasnya berisi apa. Dia berangkat pagi dengan pakaian rapi. Tapi dia lebih sering luntang-lantung tidak jelas atau bahkan malas-malasan seharian di rumah. Aku pikir jelas saja dia susah mendapat jodoh karena dia tidak bekerja. Wanita mana yang mau dipinang seorang pengangguran?

Setahuku, Mas Joko tidak punya kebiasaan aneh. Hanya saja dengan kehadirannya di rumah ini aku kadang merasa waswas. Dia satu-satunya pria di rumah ini. Dia juga seorang pria dewasa yang belum menikah.

"Kamu pernah ngerasa takut atau khawatir ga, Ty, sama kehadiran Mas Joko?" Tanyaku suatu hari di kampus pada Anty selepas kuliah.

"Takut kenapa?" Anty malah balik bertanya.

"Takut kayak yang dia punya fantasi aneh gitu tentang kita. Karena disitu kan yang bukan keluarga cuma kita bertiga. Aku, kamu, sama Tita. Pernah ga kamu kepikiran dia sebenernya suka liatin jemuran pakaian dalam kita atau diem-diem dia ngintip kamar kita pas kita lagi tidur?"

"Pernah sih. Itu kepikiran pas pertama kali gue ngekos di sana malah. Tapi karena udah telanjur deal sama ibu kos, gue ga enak batalin jadinya. Gue sebelumnya ga tau kalo ada cowok di situ dan ibu kos juga ga jelasin. Mana duitnya udah telanjur dikasihin kan. Pas gue kasih tau bokap, bokap gue marah tuh. Pengen batalin aja tapi gue bilang ga usah. Tunggu aja sampe kontrak kosan abis. Tapi kalo misal, amit-amit, ada kejadian ga enak sebelum kosan abis ya gue bakal lapor terus cabut."

"Iya. Gimanapun juga dia kan pria dewasa yang belum nikah yak. Mana kita tau kalo dia punya penyimpangan. Mana kita tau dia butuh pelampiasan. Mana kita tau dia bisa nahan napsu sampe sejauh mana. Aku ngeri aja sih bayanginnya. Mana kita jadi ga bebas kan kalo abis mandi mau pake bath robe doang. Padahal biasanya kalo di rumah kan kita bisa pake bath robe aja. Bahkan kadang kalo ketinggalan sesuatu aku biasanya ngeloyor gitu aja ke kamar pake handuk."

"Yah, semoga aja ga ada kejadian apapun."

"Amin." Aku mengaminkan doa Anty lalu berkata, "Kamu tau ga kenapa aku selalu nyuci pakaian dalam satu satu tiap abis mandi?"

Anty menggeleng.

"Biar aku bisa ngitung pakaian dalamku masih utuh ga atau ada yang ilang. Saking parnonya bakal ada yang nyuri."

"Bisa aja lo. Tapi bagus juga buat diikutin sih."

Begitulah cerita tentang keluarga induk semangku. Aku dan Anty memang tak pernah berharap akan lama ngekos di sana. Tita justru berharap kelak ibunya pindah rumah saja dari Cilacap ke Purwokerto agar dia tak perlu ngekos lagi. Namun, kami masih harus bertahan setidaknya selama setahun ke depan sampai masa indekos kami di sana berakhir. Keluarga mereka memang baik dan tak ada masalah sejauh ini tapi aku memang kurang nyaman tinggal bersama di sebuah rumah sempit di gang kecil. Jadi mungkin kelak aku akan pindah dari tempat kos itu.

***