Chereads / Balada Mahasiswa: FRNDS / Chapter 6 - New Member

Chapter 6 - New Member

Tiap pulang ke kos entah kenapa Anty selalu bawa temen baru. Aku curiga jangan-jangan dia ini terlatih sebagai agen MLM dulunya. Tapi hipotesis ini belum terbukti sih karena sejauh ini dia belum prospekin aku.

Kali ini Anty membawa seorang teman lagi ke kamar kosnya. Dia mengenalkanku pada teman barunya yang mungkin akan jadi temanku. Itupun kalo teman baru Anty sudi jadi temanku.

"Ini namanya Tita." Anty menunjuk pada seorang gadis manis berambut panjang dengan kulit sawo matang yang duduk lesehan di kamar Anty. Meski sama-sama berambut panjang, pembawaan Tita lebih kalem daripada Anty. Gadis itu hanya melambai padaku yang kubalas dengan senyuman.

"Ini teman sekosan gue, Ta. Namanya Samira." Anty menunjuk padaku yang sedang sibuk menata makan siangku di atas meja tulis milik Anty.

"Temen seangkatan kita juga?" tanyaku karena merasa ga ngeh dengan wajahnya selama di kelas. Ah, aku kan mahasiswa rajin. Jadi kalo udah di kelas ya kerjanya nyatet aja. Iya, nyatet tapi di kertas kecil-kecil gitu biar gampang dibawa kemana-mana; di kantong, di tempat pensil, di lipetan baju, pokoknya bisa diselipin deh saking kecilnya jadi aku bisa tengok catetan itu kapan aja. Biasa lah persiapan sebelum ujian. Praktis kan?

"Iya," jawab Tita kalem.

"Kenal pas registrasi juga?" tanyaku lagi lebih kepada Anty tapi justru Tita yang menjawab.

"Nggak. Kenal pas beli gado-gado di kantin kampus."

"Hah?" Aku tercengang.

"Lo sih tiap gue ajakin campus tour ga pernah mau." Anty menyela.

"Emang ada campus tour?"

"Yassalam, itu istilah gue aja biar lebih keren kedengerannya. Maksudnya keliling-keliling kampus gitu, Mir."

"Oh, kirain beneran ada. Kalo beneran ada keterlaluan sih. Kampus macem SD Inpres gitu doang pake campus tour segala. Ya kali aku bisa nyasar ke kamar mandi yang dari gerbang cuma tinggal lurus aja."

Anty dan Tita tak kuasa menahan tawa mereka begitu mendengarku berkata begitu.

Fyi, jurusanku itu jurusan baru. Baru tiga tahun dibentuk. Statusnya pun masih prodi bukan jurusan sebenarnya. Jadi pamornya emang kalah sama jurusan-jurusan dari fakultas-fakultas lain seperti Hukum, Ekonomi, Ilmu Sosial dan Politik, MIPA. Gedung-gedung kampus mereka mentereng. Sementara gedung kampusku lebih seperti SD Inpres. Gersang, surem, cuma ada tiang bendera di tengah lapangannya. Rumput-rumput hanya tumbuh di beberapa bagian tanah. Kalo diibaratkan kepala, gedung kampusku itu botak. Di bagian dalam cuma ada ruang-ruang kelas usang yang ga punya pendingin ruangan melainkan kipas yang berbunyi nyaring saat berputar. Bunyinya berderit mengerikan. Kadang itu bikin aku takut kalo mau duduk di bawahnya karena kebayang tiba-tiba baling-baling kipasnya jatuh terus kepalaku putus. Iya, aku emang kebanyakan nonton film horor jadi imajinasiku agak liar. Ada juga tiang basket yang sesekali masih dimainkan oleh senior-senior yang harusnya udah ga mikirin maen basket di kampus lagi karena harus ngerjain skripsi sebab peringatan DO sudah menunggu. Kayaknya- berdasarkan pengalaman terdahulu dari zaman aku sekolah- kampusku baru akan direnovasi atau dipindah ke tempat yang lebih bagus begitu aku sudah lulus. Kalo udah ditinggalin emang biasanya baru keliatan indah. Eh, ini ngomongin gedung kampus kan bukan mantan?

"Astaga, jleb banget omongan lo. Keraaaddd!!" Anty mengacung-acungkan jempolnya sementara Tita memegangi perutnya karena tertawa kencang. Luruh sudah imej kalemnya tadi.

"Tapi emang bener sih yang dibilang Samira. Kampus kita tuh jelek banget. Tau gitu dulu gue masuk UNJ aja deh nurutin omongan bokap," wajah Anty terlihat menyesal.

"Emang udah pasti diterima?"

"Sialan!" Anty melemparku dengan bantal yang kutangkis dengan gesit. Takut porsi makan siangku tumpah. Kan sayang jadi ga bisa dimakan. "Temen bangke emang lo!"

Aku mengedikkan bahu lantas mulai khusyuk memakan makan siangku yang berlaukkan tempe mendoan dan ikan tongkol bumbu pedas yang kubeli hanya dengan tiga ribu rupiah. Di kotaku saja yang notabene bukan kota besar, aku tidak bisa membeli makanan enak nan murah meriah seperti ini. Jadi ini sungguh kenikmatan yang hqq.

"Kalian udah pada makan?" tanyaku tanpa berniat berbagi makan pada Anty dan Tita.

"Udah," jawab mereka serempak.

"Lo sih ditungguin lama banget. Ya udah gue balik duluan sama Tita," kata Anty.

"Iya," aku mengunyah nasi dan mendoanku lalu menelannya. "Tadi aku dipanggil sama Nuya. Tukeran nomer hape. Katanya dia sekelompok sama aku buat presentasi DDF. Terus jadi ngobrol lama deh."

DDF itu singkatan dari Dasar Dasar Filsafat. Mata kuliah yang paling malesin. Ya dosennya ya materinya. Dosen DDF di kampusku itu ibu-ibu. Gaya rambutnya ala Cleopatra. Aku sering nge-gap si ibu selalu sisiran abis turun dari motor dan buka helm. Tiap ngajar ga lupa make kalung mutiara. Dia orang Jogja. Jadi kalo ngajar ngomongnya medok banget. Herannya mata kuliah se-nggak-penting DDF itu ada presentasinya. Maksudnya tuh emang kita mau presentasi apaan? Ya masa kita mau membedah kata mutiaranya René Descartes yang bilang cogito ergo sum selama satu jam kuliah? I think, therefore I am. Gitu doang dibahas sampe lama? Yang bener aja!

"Tita orang mana?" tanyaku.

"Tita asli Cilacap. Orang Jawa juga kayak lo, Mir." Kata Anty.

"Perasaan kamu mulu yang jawab, Ty. Job desc kamu udah bukan mahasiswa lagi tapi jadi jubirnya Tita?" sindirku setengah mengejek.

Anty nyengir kuda. Lebar banget. Untung giginya rata. Ga kayak gigiku yang gingsul.

"Bukannya bokap nyokap lo katanya orang Jawa, Ty? Berarti lo orang Jawa juga dong." Tita bersuara.

"Bentar bentar. Tadi kamu bilang Tita asli Cilacap kok ngomongnya lo gue juga?"

Aku jadi bingung. Cilacap udah pindah jadi bagian dari DKI Jakarta apa gimana sampe cara ngomong juga sama? Dan sepertinya aku jadi selalu terjebak dengan lo-gue-speaking people yang dulu aku anggep cara ngomong kayak gitu tuh cara ngomongnya orang sombong. Maklum lah, aku kan dari kota kecil jadi cara ngomong yang ga lumrah di kotaku itu jadi stereotype negatif. Kalo orang dari kota kecil kayak aku ngomong pake lo-gue dikira songong. Lagian mikir juga emangnya pantes kalo aku ngomong pake lo-gue?

"Oh, gue emang asli Cilacap tapi gue sempet gede di Jakarta lumayan lama jadinya sampe sekarang masih kebawa kadang cara ngomong kek gini. Tapi tergantung sama siapa gue ngomong sih. Gue juga bisa ngapak kok," jawab Tita.

"Oh gitu," aku mengangguk paham.

"Lo juga ga medok kok. Bagus kalo misalnya mau coba ngomong pake lo gue," kata Tita kemudian.

Hah? Emang iya pantes?

"Iya tuh si Mira emang gue pikir tadinya dia boong soal dia dari Pekalongan soalnya orang Jawa tapi ga medok. Trus selama ini ga pernah gue denger dia ngomong bahasa Jawa. Padahal kan gue pengen denger dia keselip lidah ngomong rada medok biar bisa gue ledekin. Hahaha..." Udah tau kan ini kata-katanya siapa. Udah pasti si Anty. Dia emang masih terobsesi denger aku ngomong bahasa Jawa dengan logat medok. Heran aku sama manusia satu itu. Mbok ya punya obsesi tuh yang rada bagusan dikit gitu loh ya.

"Ya ga semua orang Jawa kudu medok kali, Ty," sanggah Tita.

Aku mengepalkan tangan ke atas, "Yes, bener banget, Ta!" Aku menyetujui pernyataan Tita. Anty mencibir.

"Eh, gue kan ikut lo tadi karena mo tau lo ngekos di mana. Gue lagi nyari kosan. Dari kemaren belom nemu yang sreg makanya laju mulu PP Purwokerto-Cilacap kalo kuliah. Dipikir-pikir cape juga tapi yak." Tita menggaruk-garuk kepalanya. "Kemaren sempet nemu kosan bagus terus murah juga. Tapi yang ngekos banyakan anak SMA. Anak MAN depan kampus. Ya gue males. Ga ada temen."

"Yauda, lo ngekos bareng kita aja di sini kalo gitu. Gimana?" Anty mengajukan ide yang sepertinya akan disetujui oleh Tita.

"Eh, boleh juga tuh ide lo. Masih ada kamar kosong kan?"

"Masih lah. Nih kamar gue."

Tita malah bingung dengan pernyataan Anty.

"Kok kamar lo? Emang lo mau pindah dari kosan ini?"

"Ck, bukan." Anty akhirnya menjelaskan. "Kosan ini kan sebenernya cuma rumah biasa. Kamar yang kosong cuma dua yang sekarang ditempatin gue sama Samira-"

"Nah, terus gue gima-"

"Makanya ada orang jelasin didengerin dulu sampe kelar, Maemunah!" Anty gemas.

"Maap maap. Silakan lanjut." Tita nyengir. "Tapi nama gue masih Tita belum ganti jadi Maemunah by the way."

Anty memutar bola mata. Kesal.

"Nah, kamar gue kan lumayan luas nih terus ranjangnya kan tingkat. Kalo lo mau kita sekamar aja nanti biaya kosnya patungan. Kan mayan, Ta, jadi murah. Gimana?"

Mata Tita langsung berbinar cerah. Kata "murah" itu sepertinya yang jadi pemicunya. Sontak dia langsung menyetujui ide Anty untuk berbagi kamar.

"Oke. Nanti gue bilangin deh ke nyokap kalo gue udah nemu kosan. Semoga aja disetujui sama nyokap."

"Yey, kos kita nambah orang lagi deh, Mir. Gue dapet komisi ga ya dari ibu kos?" Canda Anty yang kuhadiahi toyoran di kepalanya.

"Aw.." Anty mengaduh.

"Kan belum tentu Tita dibolehin ngekos."

Tita tersenyum. "Kalian akrab banget kayak udah lama temenan," dia menunjuk ke arahku dan Anty yang kini malah terlibat baku hantam.

***