"Ayo, Dek, cepet!"
"Jalannya jangan lelet dong!"
"Masih pagi ini loh kok udah loyo?"
"Lari dong biar ga telat nyampenya!"
Dan masih banyak seruan-seruan para panitia ospek bagian komdis alias komisi disiplin saat aku dan para maba lain berjalan di sepanjang jalan menuju kampus. Ternyata beberapa panitia komdis sudah menunggu di berbagai check point. Mereka ditugaskan untuk memastikan tak ada satupun maba yang membawa sepeda motor atau kendaraan lain sendiri ke dalam kampus. Entah tujuannya apa. Aku melirik jam tanganku. Masih jam setengah enam jadi aku menyeret kakiku dengan langkah santai sesantai Anty yang berjalan sambil ngemut permen.
"Kenapa mbak-mbak panitia pada heboh dah? Masih setengah enam juga." Anty berkata seraya mencabut dan memasukkan kembali permen lolinya ke dalam mulut.
"Mau nebar teror ketakutan. Kan kerjaannya panitia ospek gitu biar maba pada takut."
Anty menjentikkan jarinya di depan wajahku hingga aku berkedip kaget. "Bener banget!"
"Aku masih ngantuk banget, Ty. Bangun jam 4 langsung mandi. Mana di sini airnya dingin banget. Idungku langsung mampet nih. Belum sempet sarapan pula," gerutuku menyebutkan segala penderitaan yang kualami pagi ini berkat ospek.
Aku melirik ke arah Anty lalu ke arah badanku sendiri lalu terkikik geli.
"Lo kenapa dah ketawa-ketawa sendiri? Ospek belum mulai woy jangan gila dulu," tegur Anty.
"Aku pikir-pikir kita kayak orang gila ya. Nurutin semua perintah senior padahal disuruh aneh-aneh gini. Coba kamu liat deh tuh kostum kita. Rompi dari tas kresek hitam-putih, name tag segede gaban, topi dari kresek juga. Kan kayak orang gila."
"Iya sih. Kenapa ya ospek di negara kita ini ga faedah banget? Apa hubungannya coba antara atribut aneh ini sama jadi mahasiswa yang baik dan berbudi luhur?"
Aku mengedikkan bahu.
Anty menguap. "Gue ngantuk, Mir. Mana semalem gue ga bisa langsung tidur. Gelisah gitu ga tau kenapa."
"Lah, sama dong. Kamu pergi dari kamarku kan jam setengah sepuluh ya. Nah, aku baru bisa bener-bener tidur tuh kayaknya baru sekitar jam sebelas."
Anty menjentikkan jarinya lagi hingga aku berkedip kaget lagi. "Persis!"
"Kamu jangan cetak cetik jari depan mukaku dong. Kaget mulu akunya."
Alih-alih meminta maaf, Anty justru tertawa. Tapi itu ternyata tawa terakhir kami sebelum kami masuk ke dalam area kampus yang mencekam. Bau horor menguar di udara ketika di depan gerbang kami menemui seorang panitia komdis sedang berdiri kaku tanpa senyum sama sekali. Aku dan Anty berjalan lurus memasuki area kampus lebih dalam tanpa mengindahkan si panitia.
"Pura-pura ga liat aja lah," kataku berbisik pada Anty.
"Mukanya serem bener. Ga usah sok galak aja udah takut gue. Mukanya kayak gorila gitu." Komentar Anty.
Wajah panitia komdis itu emang serem. Laki-laki. Tubuhnya tinggi besar berkulit hitam kayak gorila. Wajahnya pun mirip dengan binatang primata itu. Bukannya menghina tapi aku bingung bagaimana mendeskripsikan wajahnya secara spesifik.
Saat kami menuju ruang serba guna tempat berkumpulnya para maba, kami disambut oleh sebuah spanduk besar bertuliskan **PROSA: Process to Optimize Students' Ability** di dinding panggungnya.
*Hmm, keren dan kreatif juga bikin singkatannya,* pikirku.
Aku dan Anty mencari kelompok kami masing-masing berdasarkan papan nama yang ditulis di sebuah kardus yang diletakkan di lantai. Aku berbaris di kelompok William Shakespeare sementara Anty berbaris di kelompok Jane Austen. Nama-nama kelompok sepertinya dibuat berdasarkan nama-nama penulis dan penyair dari dalam maupun luar negeri. Selain William Shakespeare dan Jane Austen yang jadi nama kelompokku dan Anty masih ada Wiji Tukul, Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Thomas Hardy, Kahlil Gibran, Bram Stoker, dan Charlotte Bronte. Total ada sepuluh kelompok dan masing-masing kelompok terdiri dari sekitar 10-15 mahasiswa dengan didampingi dua escort per kelompok.
Ospek dimulai tepat pukul 06.00. Tentu saja ada sesi marah-marah ala komdis dulu. Tapi aku mengabaikannya karena aku akhirnya bisa meyakinkan diri bahwa ini semua hanya sandiwara. Aku nyaris pingsan karena kelaparan saat jam 07.00 seksi komdis belum selesai marah-marah juga. Tapi sepuluh menit kemudian ternyata seksi acara turun dan mempersilakan kami makan katering yang disediakan. Aku selamat. Setelah waktu menunjukkan pukul 17.00 kami baru bisa pulang ke kos masing-masing. Tak lupa para panitia memberi kami tugas lagi untuk dibawa saat ospek di hari berikutnya. Dan seperti biasa tugas yang diberikan aneh-aneh lagi. Tapi kini aku mulai bisa membaca pola tugasnya. Tugasnya terlihat sulit padahal itu sebenarnya hanya permainan kata saja. Khas anak bahasa sekali.
Kami menjalani ospek di hari berikutnya. Namun, pada hari kedua aku gagal mendapatkan rol rambut berwarna pink. Aku dan Anty sudah mencarinya seantero kota tapi semua toko sudah kehabisan. Sebagai konsekuensinya aku dan Anty harus rela berdiri di depan lapangan bersama maba-maba lain yang juga gagal dan menerima "kata mutiara" dari panitia komdis.
"Kalian itu dungu seperti keledai!" Maki si panitia wajah gorila itu di depan kami. "Disuruh beli rol rambut warna pink kenapa pada pake warna selain pink?"
Aku dan maba-maba lain termasuk Anty yang juga kena hukum hanya mengunci mulut rapat. Bukan, bukan karena takut. Aku hanya malas berdebat dengan panitia karena hari sudah makin panas. Perutku juga ikut keroncongan. Aku hanya berpikir bahwa kalau aku tidak melakukan perlawanan mungkin sesi marah-marah ga guna ini bisa segera berakhir meski aku tidak suka diksi dungu yang diucapkan si panitia wajah gorila. Aku masih menyebutnya begitu karena aku selalu gagal mengingat namanya. Aji, Anjay, Ajun, atau siapalah namanya pokoknya diawali dengan huruf A.
"Kalian ga buta warna kan? Pink sama merah sama ijo sama kuning sama coklat itu jelas beda jauh!" Si panitia wajah gorila itu masih terus marah-marah sambil menunjuk-nunjuk warna rol rambut kami masing-masing.
"Pink itu kan campuran merah dan putih jadi anggep aja mirip," aku bergumam lirih. Gobloknya aku tak menyadari bahwa si panitia wajah gorila itu sudah berdiri di hadapanku.
"Kamu bilang apa tadi?" Ternyata si panitia wajah gorila mendengar gumamanku.
Mampus! pekikku dalam hati.
Anty yang berdiri di sebelahku melirikku dengan tatapan lu-sih-makanya-jadi-orang-jangan-suka-nyeletuk-sembarangan-kena-kan-lu-sekarang yang tak akan bisa menyelamatkanku dari cecaran si panitia wajah gorila itu.
"Kamu bilang apa tadi?" Si panitia wajah gorila itu mengulang pertanyaannya dan makin mendekatiku.
"Pink itu hasil campuran merah dan putih jadi anggap aja sama. Lagian saya kemarin sudah kehabisan stok rol warna pink-"
"Kreatif dong!" Si panitia wajah gorila berteriak di depanku sambil menunjuk kepalanya sendiri seperti mau bilang come on use your brain padaku. "Kamu kan bisa aja ngecat rolnya pake cat pink-"
"Udah ga ada waktu, Kak. Saya udah capek. Ngantuk. Kelar ospek aja baru jam 5 terus langsung buru-buru mandi dan beli makan. Abis beli makan pulang dulu ke kosan biar bisa makan sekalian istirahat sebentar. Abis itu solat magrib terus baru deh beli persiapan buat ospek hari berikutnya. Ngiter-ngiter sampe kemanapun ga nemu sampe toko-tokonya tutup ya udah saya pasrah aja deh dihukum daripada bolos nanti dibilang cemen. Belum lagi saya hampir aja ga solat isya gara-gara kecapekan. Terus besoknya saya harus bangun pagi-pagi banget sebelum subuh. Mana sampe sekarang belum makan. Ini dijemur di bawah matahari gini. Saya emosi, Kak, kelaparan dan kepanasan. "
Si panitia wajah gorila tercengang mendengar penjelasanku yang kuucapkan seolah tanpa titik koma. Kulihat Anty menepuk jidatnya. Setelahnya aku merasa dunia seolah berhenti berputar karena ada jeda hening cukup lama. Sampai akhirnya aku mendengar bunyi ngiing panjang dari arah sampingku yang berdekatan dengan tempat dimana speaker berada.
"Oke. Waktu komdis sudah habis ya. Sekarang sudah jam 7 lebih jadi saatnya seksi acara mengambil alih. Terima kasih. Mohon komdis mundur dulu ya." Seorang panitia dari seksi acara berbicara di mikrofon. Para panitia yang tergabung dalam komdis pun bubar dari lapangan. Bersamaan dengan itu suara musik mulai mengalun melalui speaker disusul seruan dari seksi acara untuk menikmati katering yang sedang dibagikan.
"Lo gila!" Cuma dua kata itu yang keluar dari mulut Anty saat kami diperkenankan istirahat untuk solat duhur dan makan siang.
Aku nyengir kuda mendengar kata-kata Anty itu.
"Lo tau ga mukanya si mas-mas panitia itu cengok banget pas lo ngomong cepet ga pake titik ga pake koma." Anty nyaris terbahak. Ada gurat puas di wajahnya. Padahal aku yang jadi pahlawannya.
"Salah siapa dah ngelawan cewek. Lagi PMS, laper, kepanasan pula. Paket komplit kan?"
"Top top!" Anty mengacungkan dua jempolnya. "Abis ini lo bakal dikenal sama para maba angkatan 2006 sebagai Si Maba Cerewet Yang Bikin Cengok Si Panitia Wajah Gorila Karena Ngomong Ga Pake Titik Koma."
Hari kedua ospek pun akhirnya kami lalui dengan selamat seperti hari pertama. Masih ada satu hari lagi untuk ospek dan satu hari lain untuk makrab alias malam keakraban. Aku sudah tak sabar lagi melewati semua itu dan menyongsong hari baru menjadi mahasiswa.
***