"Vivian!" geram Alex.
"Why?!"
Vivian terlihat disoriented. Namun sudah terlanjur dan ia harus menguatkan dirinya. Perlahan ia mengumpulkan fokusnya kembali. Menarik napas dalam dan menegakkan tubuhnya. Ditatapnya mata Alex.
"Serakah. Sombong. Nafsu. Iri. Murka. Rakus. Malas.
"Semuanya. Normal khan?" lirihnya sambil tersenyum kecut.
Alex terdiam. Wanita itu betul. Fenomena ini selalu terjadi dari segala jenis lapisan masyarakat dimanapun. Kadarnya saja yang berbeda. Tapi intinya sama.
"Siapa yang bunuh Edward?" sergah Alex.
"Does it matter?" jawab Vivian retoris.
"Sebentar lagi kamu akan menyusul" lanjutnya sambil melihat Alex yang sedari tadi menatap mata Vivian dengan penuh kemarahan. Pria itu tampak siap untuk mati.
"Robert dan Jaden sedang diruangan lain dikantor ini" sebut Vivian. "Jika Robert tetap tidak bisa dibujuk untuk melanjutkan merger maka ia juga akan dibawa kesini..." kata-kata Vivian menggantung. Matanya menatap Alex dengan tajam.
"Menyusul kamu" desis Vivian dingin.
Alex tertawa kecut. Peristiwa kudeta perusahaan seperti ini sudah basi. Semua sama tipenya. Dilakukan oleh orang terdekat dan tersering menjilat. Pay attention to your surrounding. Begitu setiap saat Alex mengingati kliennya.
"Kemudian Angel akan mengambil alih" seloroh Alex sinis.
Vivian mengangkat bahu.
"Pagar makan tanaman" cetus Alex sambil tertawa kecil. Lalu ia mengangkat muka memperhatikan Vivian yang sedari tadi berdiri dipojok ruangan.
"Lalu kamu ngapain disini?" sergah Alex. Vivian tidak menjawab. Ia tersenyum sinis.
"Siapa saja yang sudah tahu email Sulaiman ke Clara?" tanya Vivian tidak menjawab pertanyaan Alex.
Pertanyaan itu mengagetkan Alex. Ia harus melindungi Clara. Tugasnya hanya memeriksa dan meneruskan setiap laporan Sulaiman kepadanya. Hanya itu.
"Leave her outta' this" sergah Alex.
"She knows nothing!" geram Alex.
Tapi Vivian tidak percaya.
"Does Ang Bun knows abou...." belum sempat Vivian menyelesaikan omongannya tiba-tiba...
BRAKKKKKKKK!!!!!
Tiba-tiba perkataan Vivian terputus. Ia menoleh kearah pintu yang terdobrak keras. Ia tercengang ketika melihat sepasang tubuh pria dilempar kemudian jatuh berdebam dihadapannya.
Alex juga terkesiap. Beberapa pengawal nampak menghampiri kedua tubuh itu lalu mendudukkan mereka dikursi samping Alex. Mata para pria tawanan itu bergerak liar. Mereka meronta meminta dilepas. Kemudian masuk seorang wanita kedalam ruangan itu.
Vivian dan Alex sama-sama terbelalak. Dengan gerakan kalap wanita itu mengambil sebuah riffle gun yang tergeletak di atas meja dan langsung menempelkannya ke kaki salah satu pria disamping kiri Alex.
DOOORRRRRRR!!!!!
Bunyi letusan riffle gun itu menggema hebat di dalam ruangan pengap itu. Paha kiri pria berhidung mancung itu sontak berdarah hebat. Memuncratkan darah segar membasahi bajunya. Pria perlente itu jatuh terjengkang bergulingan dilantai bersama kursinya. Berteriak panik dan kesakitan. Temannya menjerit histeris. Semua itu tidak dihiraukan wanita kalap itu.
Vivian juga berteriak histeris. Ia berusaha menghentikan wanita itu. Namun langkahnya terhenti ketika wajahnya malah ditodong pistol. Vivian mundur teratur. Tangannya saling meremas satu sama lain. Ia kaget. Takut. Bingung.
Tapi semua sudah terlambat.
Seorang pengawal yang gemuk kembali menghampiri pria yang tertembak itu lalu mendudukkannya kembali dikursi. Plester dimulutnya ditarik keras. Tangis pria itu pun terdengar. Berteriak meminta ampun tanpa mengerti kesalahannya.
"Why you killed my Dad???" lirih wanita itu dingin sambil menodongkan moncong senjatanya.