Untuk semua sudut kehidupanku, hanya aku yang tahu. Namun, tersimpan banyak pesan yang ingin kusampaikan kepada banyak orang. Bahwa tak semua kaum kecil akan tetap kecil.
Tanam dan kembangkan apa yang ada pada diri, maka akan menjadi besar.
Kehidupan kami sama seperti kebanyakan orang, aku bersekolah, emak mengurus rumah, bapak bekerja. Dan tak banyak hal baru yang aku temui di rumah.
Hari-hari berjalan dengan normal dan apa adanya.
Sekarang aku baru sadar mengapa perbuatanku seperti mayoritas negatif, aku teringat kata-kata emak "bersikaplah yang baik, bila ingin dicontoh baik oleh anak-anakmu nanti".
Kalian pernah mendengar trauma masa kecil? yang akhirnya masuk dan terekam oleh alam bawah sadar seorang anak dari apa yang dilakukan orang tuanya? Aku termasuk orang yang memiliki pengalaman seperti itu, yang mempunyai trauma masa kecil hingga sampai sekarang terbawa oleh waktu.
Mungkin untuk menyembuhkannya aku perlu datang ke psikolog agar bisa membenahi alam bawah sadar yang rusak oleh pengalaman negatif yang kuterima sejak kecil.
Itulah mengapa alasanku terlalu menutup diri dari orang banyak, karna aku tidak paham bagaimana caranya bersosialisasi dengan baik.
Karna masa keciku tak seindah dan se-teratur kebanyakan anak-anak pada umumnya. Sehingga aku merasa banyak hal yang tidak aku dapatkan dari anak-anak seusiaku.
Masa kecilku tidak merekam adanya aura kebaikan, ramah dan damai. Jiwa ini sudah terlatih dan menyimpan banyak amarah yang disampaikan oleh orang-orang sekitarku. Sehingga kebiasaan itu pun aku bawa hingga dewasa.
Aku tertutup, ketika teman-teman bersenda gurau aku memilih untuk menyendiri di kamar. Bagiku, itu bukan sesuatu hal yang aneh karena aku melakukannya setiap hari selama hidupku, aku kesepian diakibatkan rasa trauma itu.
*****
2010
Kala itu..
Eshaal Altair, adikku. Sering dianggil Al, sedang bermain di kamar dengan mainan mobil-mobilannya. Langit sudah menggelapkan diri, suara adzan isya telah bergema.
Aku dan emak bersiap-siap untuk sholat isya berjama'ah. Bapak sudah lebih dulu untuk sholat lalu ia berbaring di kasur.
Sedangkan Al, tengah asyik memainkan mobil-mobilannya dan ditempelkan ke tembok, Al menempelkan mainan itu di tembok tepat di atas kepala bapakku di atas kasur.
Ketika sedang asyik bermain, tiba-tiba mainan yang Al pegang jatuh mengenai kepala bapak. Sontak bapak terkejut dan langsung meraih mainan itu, lalu dipukulkan kearah kepala Al. Yang mana kala itu ia belum genap berumur 3 tahun.
Kalian tahu bagaimana rasanya, dipukul dengan mainan yang terbuat dari besi pada bagian kepala? Pasti ini adalah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban.
Aku tidak habis pikir, mengapa bapak bisa melakukan seperti itu.
Aku dan emak sudah mengenakan mukena untuk melaksanakan sholat. Tapi, melihat kejadian itu, emak tidak ambil diam dan langsung berkata.
"Apa-apaan si pak, masa kepala anak nya dipukul pake mobil-mobilan!"
"Saya juga sakit kepalanya, lagian main mobil-mobilan ko di tembok!"
"Al juga gak sengaja ko jatohin mainannya!"
Al sudah bersimbah air mata, pasti ia juga merasa kesakitan. Apalagi, ia masih kecil.
"Tapi kan bisa, gak di pukul lagi!" Kata emak sambil mengusap-usap kepala Al.
"Salah dia mainan di tembok! Coba sini kamu rasain gimana sakitnya!!"
"Nih coba sesakit apa si emang cuma mainan doang! Pukul tangan emak!" Kata emak sambil menyodorkan tangannya.
"Sini, sini, mana kepala kamu saya maunya kepala kamu!"
"Nih coba ditangan emak!" tegas emak.
"Mana sini kepala kamu, biar ngerasain gimana sakitnya!"
Aku tahu bagaimana perasaan seorang ibu. Disaat anaknya merasa kesakitan, secara tidak langsung ibu lah yang sangat paham seperti apa rasanya.
Aku paham emak hanya ingin membela Al, agar Al tenang bahwa emak akan selalu membela Al. Sekalipun Al masih kecil aku yakin dia bisa merasakan ketulusan emak.
Memang mainan itu adalah mainan yang terbuat dari besi, pasti sakit jika kejatuhan mainan itu.
Tapi bukanlah hal yang pantas, jika dilakukan semata-mata hanya untuk menyakiti orang lain demi kepuasan dendam dalam hati.
Dengan segala ketulusan seorang emak, agar anaknya merasa aman dan tenang. Emak rela dipukul kepalanya dengan mainan itu.
Dengan kepasrahan emak, akhirnya mainan itu mendarat dengan halus, samar, namun keras pada kepalanya.
Ahh.. emak
Sebercanda itukah kasih sayangmu? sampai kau rela dipukul oleh seonggoh mainan yang tak berharga, dengan kepalamu yang tempatnya surga.
Baik-baik saja kah kau emak? Bagaimana kepalamu? Jangan kau bohongi perasaanmu di depanku mak, Katakan bahwa itu sakit!
Pedulikah kau dengan perasaanmu? Demi ketenangan seorang anak, kau korbankan semuanya.
Seluruh badanku dingin, mereka terus saja adu argumen. Jujur, aku sangat takut bila mereka bertengkar seperti itu.
"Al duduk di sini ya nak, main di sini aja ya"
Sambil terisak, Al duduk di samping emak. Dan kami melanjutkan sholat isya berjama'ah. Dengan haru biru kulaksanakan sholat dengan tangisan di kegelapan malam.
Masih sangat ku ingat kejadian tadi, dan terbayang-bayang selama aku sholat.
Setiap kali terdengar suara mencekam di rumahku. Seakan darahku mengalir cepat dan membeku. Entah apa yang harus kulakukan.
Tak jarang benda-benda di rumah melayang kepada siapapun yang ada di rumah. Maka, aku lebih memilih untuk berdiam diri. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Seperti kejadian tadi.
Terlewati malam itu dengan pelukan hangat dari emak. Aku dan Al berbaring di sisi kanan dan kiri emak.
Eshaal sudah mulai berhenti menangis, dan kembali tenang. Sampai akhirnya kami berdua tertidur pulas di pelukan emak.
*****
Udara pagi yang segar, menyerobot masuk jendela-jendela rumahku. Dinginnya waktu subuh membuai setiap raga yang tengah bertekuk dengan hamparan alas tidur.
Sigapnya bapak yang selalu bangun lebih dulu daripada aku dan emak.
Semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Emak mempersiapkan semua hal untuk bapak.
Bapak bekerja di salah satu kantor daerah Pejaten, kantor pertanian.
Bapak tengah memanaskan mobil Jeep hijau army kesayangannya. Mobil itulah yang pertama kali bapak beli dari hasil kerja kerasnya.
"Mak, Ayra berangkat dulu ya"
"Jangan lupa bekel nya dimakan nak"
"Iyaa mak, assalamu'alaikum mak"
"Wa'alaikumsalam" sahut emak sambil melambai kearahku.
Aku, Ayra Altair perempuan kelahiran Jakarta, 09 September 1999. Kata emak, angka yang cantik pada tanggal kelahiranku 09-09-99.
Umurku 17 tahun, aku duduk di bangku sekolah Madrasah 'Aliyah. Menjelang Ujian Nasional, aku sangat bangga dan bahagia karena sebentar lagi aku lulus!
Banyak opsi dalam isi kepalaku, untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Namun, yakin tidak yakin akan kemampuan yang ada pada diriku.
Aku punya sedikit kenangan aneh dulu.
Waktu pertama kali masuk SD, aku cengeng bukan main. Dan gerbang hitam di SD-ku yang punya kenangan lucu di dalamnya.
Kala itu..
Aku berpesan kepada emak untuk selalu memunculkan kepalanya di jendela kelasku. Selama aku belajar, selama itulah emak harus berdiri di depan jendela kelasku.
Sungguh merepotkan anakmu ini mak!
Ketika kepala emak hilang dari pandanganku, seketika itu juga aku akan lari dan mencari emak. Tak perduli pada guru yang sedang menjelaskan. Yang kucari hanyalah emak.
Kudapati emak sedang berdiri di luar pagar sekolah, dan pintu pagar tekunci. Aku menangis sekeras-kerasnya untuk bisa membuat emak masuk, dan kembali berdiri di tempat semula.
Tangisanku di dengar sampai semua penjuru sekolah. Hingga pak sape'i satpam sekolahku turun tangan untuk membantu melepaskan tanganku yang mencengkram kuat pagar sekolah.
Sepertinya drama Korea kalah dengan drama anak SD ini. Sungguh drama haru ketika kejadian itu.
Aku melambaikan tangan kepada emak di luar pagar, seperti ingin menggapai tapi tak sampai. Tapi, aku di seret masuk kembali oleh guru dan pak sape'i ke dalam kelas.
Sungguh aneh tapi nyata.
Memalukan bila diingat, namun kenangan lah yang melengkapi perjalanan hidupku.
Dan itulah kenangan 5 tahun lalu, ketika pengalaman pertama kali masuk sekolah SD.
"Aku masuk ya pak" ucapku kepada bapak.
"Hati2 Ayra, belajar yang rajin"
"Iya pak" jawabku singkat.
Bapak tidak terlalu suka basa-basi, berbeda dengan ibu. Bila ada di dekat ibu pasti apapun kalimatnya akan mengalir begitu saja dari mulutku.
Tapi, bapak itu adalah bapak yang sangat bertanggung jawab.
Aku suka bapak yang bekerja keras, ia sangat bertekad untuk bisa memenuhi semua kebutuhan keluarganya.
Aku merasa, apapun yang kupinta pasti bapak memenuhinya. Kata emak, dulu waktu seumur Eshaal, aku sering minta dibawakan coklat 'Silverqueen' atau yang sering ku bilang itu "coklat piquin".
Saking seringnya aku makan coklat, setiap kali bapak pulang kerja. Hingga membuat gigiku berbaris hitam seperti gigi taring semua.
Bukan hal yang aneh lagi bila aku selalu jadi bahan ledekan, karena gigi hitam yang menghiasi rongga mulutku.
Bahkan tak jarang, hal itu adalah alasan terkuat bagiku untuk diperolok. Awalnya memang biasa, tapi hal itu berlanjut dan membuatku menjadi anak yang tidak percaya diri.
Tragisnya lagi, sampai aku memiliki satu julukan yang menurutku sangat membuatku terganggu. Ayra si "Gitem" (gigi item).
Hmm, banyak dari mereka tidak menyadari hal itu. Apakah menyakiti atau tidak? Mungkin tak perlu dijawab.
Aku lebih banyak diam dan tak menanggapi ocehan mereka. Daripada membuatku stress lebih baik aku melakukan hal lain.
Aku memang dikenal sebagai Ayra "si pendiam". Hampir sangat jarang aku berbicara, itu pun bila penting saja.
Entah memang bawaan atau ada sesuatu hal yang membuatku seperti ini.
Sedikit cerita tentang sahabatku semasa SD, entah apa yang membuatku sangat dekat dengannya.
Kelasku 6A diampu oleh bu Elsa, dengan perawakan tinggi putih dengan hiasan kacamata berantai nya yang menyempurnakan gaya bu Elsa ala klasik modern.
Beliau sangat baik, ramah dan pintar. Kami semua sangat akrab dengan bu Elsa, karena beliau tidak pernah membeda-bedakan siswa pintar dan yang kurang.
Kata bu Elsa, siswa itu tidak harus pintar, asal ia mau belajar maka ia akan menjadi pintar sendiri.
Ku lewati gerbang hitam yang sangat melegenda dalam hidupku. Kupandangi semua bangunan sekolah bernuansa biru laut nan sejuk dilirik mata.
"Ayraaa.." panggil Ilke sahabat kecilku. Dan kami satu sekolah.
Aku menoleh ke belakang.
"Ra udah tau belom Minggu depan ada pemilihan dokter cilik?"
"Belum tuh, semua bisa ikut?"
"Kan program ini khusus kelas 6, kamu mau ikut?"
"Hmm gatau, liat aja nanti"
"Okee" balas Ilke.
Kami berdua berjalan menuju kelas. Sesampainya di kelas tak lama Bu Elsa datang.
"Assalamualaikum" ucap bu Elsa mengawali kelas.
"Waalaikumsalam bu Elsa" jawab kami serentak.
"Minggu depan bakal ada pemilihan dokter cilik, Ayra tolong bantu saya ambil formulir di ruang kepala sekolah nanti jam istirahat ya"
"Saya bu?"
"Iyaa, nanti selesai jam pelajaran kamu ikut saya"
"Siap bu" jawabku sigap.
"Tuhkan bener ra, kata aku juga apa bakal ada pemilihan dokcil (dokter cilik)"
"Iyaa ké" jawabku seadanya.
"Yee semangat dong, bukannya dari dulu pengen banget ikut dokcil?"
"Iya juga si, tapi udah gak berminat lagi"
"Loh kenapa?"
"Yaa gapapa, minatku udah bukan disitu lagi"
"Hmm yaudah deh terserah kamu"
Kulanjutkan pelajaran hingga waktu berakhir.
*****
Semua mata terfokus pada rumahku, sore itu terasa gelap sebelum waktunya. Gelap kelam seperti keadaan yang dirasa.
Entah bagaimana mulanya, namun keadaan ini terjadi begitu saja. Tanpa awal dan jeda.
Aku masih bingung dan tidak mengerti.
Emak tiba-tiba saja berteriak dan meminta tolong. Sontak semua kaget dan tetangga berhambur datang ke rumahku.
Kini sosok itu sudah berbaring tenang, dan aku melihatnya dari jauh.
"Semoga baik-baik saja" lirihku dalam hati.
*****