Selamat membaca
°•°•°
Suara arahan dari para fotografer bahkan gelak tawa para pengunjung memenuhi telingaku sejak tadi. Aku jadi makin semangat untuk mengabadikan ekspresi ke dalam jepretan foto. "Beneran nggak sabar!"
"Apa? Foto?" aku mengangguk semangat, membenarkan Sean yang posisinya ada di samping kiri. "Sabar, mungkin mereka masih jalan... lokasinya kan lumayan jauh dari tempat kita pisah tadi."
Karena Alin sempat mengirim pesan, "spot pertama taman sakura. Tema musim semi." akhirnya Sean menemaniku duduk di sebuah bangku dari kayu -tanpa senderan- warna cokelat tua. Jadilah kami di sini untuk menikmati suasana nyamannya di bawah bunga sakura yang sangat lebat nan indah. Meskipun itu bukan asli, tapi mampu membuatnya terlihat nyata. Ya, kalau dilihat-lihat saja.
"Iya, aku usahain sabar...."
Sudah ratusan detik yang termakan oleh rasa penantianku atas Alin juga Nino. Tiba-tiba kudengar suara pemuda memerintah setelah mengucapkan salam, "selamat siang menjelang sore! Berhubung pengunjungnya semakin banyak, bisa kita mulai sekarang? Tentunya dengan cepat bukan lambat!" membuat aku yang semula tersenyum kecil ke Sean lantas mendongak, memandanginya.
"Ayok, De! Sean!" Alin menambahi.
Aku yang heran kenapa mesti diatur, segera protes dengan nada yang masih bisa dibilang santai, "gaya pertama buat cetakan awalnya, kalo duduk dulu bisa kan, mas? Jadi enggak perlu berdiri...."
"Oh, boleh kok Mbak, sah-sah saja... kalau seandainya memang butuh properti, bisa barang-barangnya diambil dulu di belakang pohon..." dengan tangan kanan menunjuk pohon yang posisinya tak jauh di belakangku. Lehernya digunakan untuk menggantungkan tali kamera warna hitam, sony namanya.
"Sekarang aja Mas, mempersingkat waktu." ucap Nino yang langsung duduk di sebelah kananku.
"Aku ambil dulu. Lebih lucu pakek propertilah. Tunggu, tunggu sebentar ya Mas, sebentar..." Alin yang masih berdiri menghadap sang fotografer pun, memutar badan.
"Loh-loh! Kelamaan... Foto doang pit! nggak usah pake ribet!"
"Biarinlah No! Ngeselin amat!" sahutku yang mulai kesal. "Keburu dikejar waktu!"
"Maaf-maaf... ini jadinya gimana?"
Sean akhirnya ikut andil berpendapat, "biar temen saya ngambil properti bentar ya Mas... bukan gimana-gimana, properti itu kan sudah termasuk bonus dan kita juga sudah bayar juga... jadi, mau kondisi wisatanya ramai atau enggak, itu kan sudah resiko.... Biar temen saya ngambil dulu ya Mas," tanpa bersuara, Alin melangkah pergi.
Sedangakan sang tukang foto menjawab dengan wajah penuh penyelasan, "maaf Mas, saya beneran buru-buru. Apalagi suasananya memang tambah ramai, bisa dijamin kalau beberapa jam lagi stok fotografernya bisa kurang. Maaf ya Mas."
"Santai Mas, saya paham. Jadi jangan sungkan...."
Satu menit berlalu, Alin datang dengan membawa kardus coklat. Begitu aku berdiri mendekat dan menilik, isinya cukup bagus. Ya, lumayan. Di antaranya ada dua kacamata hitam, sebuah topi lebar polos warna putih, satu payung kertas berukuran mini dengan gambar puluhan bunga sakura, dan juga dua keranjang berukuran kecil terlihat imut sekali, salah satunya dicat pink dan satunya lagi berwarna putih bersih. Entah kenapa, aku tertarik dengan payung kertas mungil itu.
"Aku keranjang yang putih sama topi!" pesan Alin yang tak kuhiraukan, karena sudah pasti benda itu bukan yang aku minati.
"Cowok-cowok pakek nggak?! Ini ada kacamata!" ucapku yang sedikit berteriak. Tatapanku tertuju pada kedua temanku yang masih duduk di bangku coklat itu. Huh, tatapan Sean... Membuatku tersenyum senang di dalam hati.
"Pakek juga boleh, enggak juga nggak masalah." sahut Sean sambil menyugar rambutnya dan diacungi jempol oleh Nino.
Alin yang sudah membawa kedua barang pilihannya, lantas duduk. Diikuti olehku yang tersenyum lebar sembari memakai payung kertas untuk melindungi kepala.
"Oke, kalo saya boleh usul untuk sesi pertama... lebih cocok kalo satu cewek sama satu cowok duduk di bangku aja. Nah, sepasangnya lagi, berdiri di belakang. Jadi biar kesan manisnya lebih kelihatan."
"Bener Mas, biar romantis juga." Nino ikut-ikutan membetulkan.
"Boleh-boleh ajalah kalo aku." menurut Sean.
"Okeh, Alin sama aku di belakang."
"Ya udah. Sini duduk...!" ditepuknya kursi panjang itu, persis di posisiku tadi.
"Oke, coba Masnya yang berdiri di belakang itu, gaya tangannya seperti mau metik bunga di atasnya. Terus, pandangannya coba ke Mbaknya yang di sebelahnya. Nah... kalo Mbaknya, fokus lihatin keranjang yang dijinjing itu, sambil pegang topinya pakek tangan kanan." tak lama, sang fotografer melanjutkan, "nah-nah... gitu, bagus."
Sebelum aku mendongak untuk melihat, dia menyambungkan arahannya yang tertunda, "buat yang duduk, Mbaknya bisa pakek payungnya setengah aja, setengahnya lagi biar nutupin kepala si Masnya..." dia nampak diam sejenak. "...kalo pose Masnya, bisa pura-pura kepanasan sambil nengok kiri, berlawanan arah sama pandangannya si Mbaknya..."
"Berarti saya buang muka ya Mas?"
"Iya, bener Mas. Bisa dimulai Mbak?" yang kutahu ia menanyaiku.
Sesuai permintaan sang pemotret, aku melakukannya, "o-oke..." tentunya dengan jantungku yang berdebar-debar. Mana kuat aku menatap Sean yang keren dan gantengnya kelewatan? Apalagi gayanya yang membuatku harus mengumpulkan oksigen banyak-banyak.
Ya Tuhan... Sedekat ini... Satu payung kecil berdua dan membuat kita berkali-kali lipat semakin dekat. Wajahku dan pipinya benar-benar seperti tak berjarak. Ya, hidung kecilku hampir menyentuh pipinya, mungkin dua senti lagi.
Ya Tuhan... Gimana caranya biar Dea enggak keringat dingin? Biar perut Dea enggak mules? Biar dada Dea enggak jedag-jedug mulu? Jujur, jantungku mau copot!
"Mbaknya yang duduk, jangan nunduk ya Mbak!" kudengar kekehan halus dari bibirnya. "Mbaknya lama-lama kayak tambah nunduk, tambah nunduk!"
"Eh-HA?! O-oh... Iya, oke-oke! Oke Mas, maaf...!"
"Jangan grogi, De! Kayak sama siapa aja-ahaha..." bisik pemilik mata teduh dan lesung pipi mungil itu secepatnya, lalu kembali berpose seperti semula.
Refleks, aku memutar bola mata. Enak sekali dia bilang! Kalau aku benci sama dia, aku pasti bisalah jauh dari rasa gugup! Lah ini? HEEeeeh...! Lebih baik pulang pakai sepatu saja!
YA!!! JA-LAN KA-KI! Lebih mending daripada foto berekspresi malu.
Bunyi arahan-arahan yang semakin membuatku menarik dan mengeluarkan napas bertubi-tubi, akhirnya hampir selesai di pemotretan bertemakan musim ini. Beberapa macam gaya pun sudah kita coba. Ujung-ujungnya membuatku kesal karena kebanyakan senam jantung. Percayalah, aku mati-matian mencoba tenang.
Aku rasa, fotografer yang kedua ini lebih ribet dari yang pertama, membuatku sangat ingin memakai topeng di depan Sean! Kalau perlu karung beras dua puluh lima kilogram sekalian saja yang kukenakan!
Tetapi kalau dilihat-lihat, hasil jepretan dia memang lebih memuaskan daripada pemotret yang awal tadi. Bisa disebut, aku cukup senang melihat karyanya. Meskipun, suara gagap dan wajah merahku taruhannya!
Jelas! itu salah Sean sama fotografernya. Buat jantungku, kamu yang sabar ya. Jangan sering lonjak-lonjak enggak jelas! Aku yang punya wajah, jadi malu.
°•°•°
Terima kasih sudah membaca :) Ada yang mau disampaikan? (Ngarep dikit :D )
STAY HEALTHY! =)
See you XD
God bless you <3