Selamat membaca
°•°•°
"Mana ya..." dadaku bergemuruh hebat. Bola mataku terus bergerak ke kanan-kiri dan juga atas-bawah.
"Aduuuh, kok nggak ada?!" Tanganku juga sibuk memilah-milah barang yang ada di dalam tas sekolahku, maksudku membongkar semua benda di dalam sana. "Apa lupa aku bawa? Aduuuuh..." Entah sejak kapan dadaku berdegup kencang, jauh dari kata tenang. Bahkan jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
"LOH-LOOOHHH...! MANAAA INIII...?!" napasku terengah. Buku-buku pelajaran dari yang paket sampai buku tulis isi tiga puluh delapan lembar, kini berserakan di lantai kamarku. "JAKETNYA MANAAA?!" lidahku berdecak kesal, kebingungan maksimal sekaligus kesal tingkat tinggi.
Rasa takut juga semakin menjalar. Melebar, hampir memenuhi tubuhku. Berusaha kutepis rasa takut ini agar aku bisa sedikit lebih tenang. Tapi entah kenapa rasa kesalku yang makin menjadi. "Hiiih... Masa ketinggalan di dalem laci?! Perasaan tadi udah aku masukin ke tas dehhh...!" ucapku penuh keheranan. "A-AAHHH...!"
Aku yang masih memakai seragam sekolah ini, akhirnya tiduran terlentang di lantai sambil menatap langit-langit kamar. "Ya Tuhan, di mana..." kupejamkan mata dan mengepalkan masing-masing tanganku untuk meredam emosi yang masih kentara. "...padahal jaket itu barusan dikasih sama Sean pagi tadi, loh!" karena kesal, aku menjambak rambutku sendiri. Walau tak terlalu kencang, tapi itu cukup membuat kulit kepalaku sakit.
Tak terasa bulir air mata mengalir di kedua pipiku. "Gimana kalo Sean nanyain jaketnya? Gimana kalo dia nanya, udah dicoba apa belum? Terus kalo dia tanya aku suka apa enggak? Aku mau jawab apa?!" mencengkeram erat puncak rambutku yang sudah acak-acakan.
"Ck, Sean pasti kecewa..." lagi-lagi dahiku membentuk lipatan. "Apa ketinggalan di sekolah ya?" kepalaku sontak menggeleng. "Aku inget banget, sebelum Alin masuk ke kelas kan udah aku masukin ke tas! Ck, gimana niiih..." menutup mata lagi untuk membiarkan diriku tenang.
Karena perasaanku sedikit membaik dan emosiku mereda, aku mencoba duduk sambil senderan di sisi ranjang dengan kaki lurus memanjang.
"Apa aku ceritain ke Sean aja ya?" lantaran butuh bersih-bersih, aku lekas bangkit dan memilih baju rumahan. "Huh! Pikirin nanti lagi deh. Mandi dulu biar seger!"
Butuh waktu sebentar untuk seragamku yang lusuh berganti celana pendek coklat dan kaos kuning cerah yang bergambar kacamata hitam besar di bagian dada hingga atas perut. Rambutku masih tercepol tinggi-tinggi tapi acak-acakan. Persis seperti perasaanku sekarang.
Secepatnya aku melompat ke kasur setelah menggapai ponselku yang tergeletak di atas keramik. "Huuuh..." nama Sean sudah terbaca. Tinggal aku panggil saja. "...tapi aku takut." refleks jari-jariku memutar benda pipih ini lantaran perasaan bimbang tanpa permisi, menyerang. "Gimana kalo Sean kecewa...."
Aku terbelalak. Terkejut setengah mati kala dering ponsel berbunyi nyaring, mana lagi sumbernya jika bukan punyaku. "A-Alin?" kupikir tadi Sean. Helaan napas yang teramat lega keluar dari hidung sedang ini. Buru-buru kuangkat panggilan dadakan darinya, "iya, Lin?"
"Tolong temenin aku di rumah sebentar, De... Kalo perlu bawa baju sama buku buat besok ya! Buat nginep kalo misalnya kamu dibolehin sih, hehe. Lima belas menitan lagi aku jemput, gimana?" cerocosnya tanpa jeda sama sekali.
Desahan pasrahku keluar begitu saja. "Iya deh... Aku siap-siap dulu." Alin mengucapkan salam perpisahan dan panggilan terputus, dimatikan olehnya. "Oke, sekalian aku ceritain ke Alin." Aku pun beranjak dan mulai berkemas.
Waktu bergulir semakin cepat. Senja yang tadinya menghiasi daerah rumahku, digantikan oleh petang. Dan sekarang, gelaplah yang berperan.
Bulan dan para bintang bergiliran menjaga langit. Mendampingi makhluk bumi yang mungkin tengah merasa kesepian atau menikmati kesendirian. Lain halnya denganku, aku malah tersiksa karena volume suara Alin yang tak tanggung menusuk ke dalam indera pendengaran.
"SERIUS DIKASIH?!" aku manggut-manggut. "Udah kamu coba?" sontak menggeleng perlahan. "Kenapa?" tanyanya yang ketiga ini membuatku kesusahan menelan ludah.
Dengan berat hati aku mennjawab, "jaketnya udah hilang."
"JAK-HILANG?! Jaketnya hilang?"
"I-iya Lin... Aku nggak tau itu hilang apa ketinggalan. Aku takut Sean kecewa Lin..." ucapku sambil memegang erat lengannya dan menggoyang-goyang sampai Alin mengaduh kesakitan. "Duh. Pelan-pelan Dea... sakit!" sontak kulepas.
"Maaf-maaf. Jadi, aku harus gimana Lin?"
"Heeem..." ia sedikit melirik ke atas dan melanjutkan, "saranku sih, lebih baik kamu ceritain ke Sean besok aja. Semoga aja di laci meja ada, De... Tapi kalo enggak, ya udah... Mau nggak mau kamu harus bilang kalo jaketnya udah nggak ada, alias hilang."
"Se-serius aku harus cerita?"
Gadis yang tubuhnya berbalut piyama hitam, motif jutaan pita merah muda itu mengangguk. Membenarkan saran yang keluar dari mulutnya sendiri. "Daripada Sean taunya nanti-nanti? Terus dia tambah kecewa?"
"Iya-ya... bener juga sih. Ya ud---" Telepon genggam yang berbunyi di paha kiriku, berhasil mengganggu obrolan seriusku bersama Alin.
"SEAN!" aku membelalak. Kutatap Alin yang sama terkejutnya denganku. "A-Alin..." tatapanku sudah pasti melas. Kurasakan keringat dingin membanjiri pelipisku.
Raut wajah itu malah kembali tenang. "Udah, kita berpikir postif aja. Siapa tau Sean enggak ngebahas jaket itu. Coba kamu angkat."
Secepat kilat aku menggeleng. "Nggak! Kamu aja!"
"Aku?"
Mengangguk-angguk, "iya! I-iya, kamu aja Lin... em, bilang aku lagi nga-pain gitu... Aku beneran nggak siap!" kuberikan langsung benda yang berdering itu ke salah satu telapak tangannya. "Angkat aja. Pliiisss..."
Dengan terpaksa Alin mengangguk. "Ck, demi sahabat sendiri yang udah kayak keluarga. Huh!" kututup mata, enggan melihat ekspresi Alin. "Halo? Dea lagi ambil minum ke dapur... Iya, dia tidur di rumahku... APA?!"
Aku cuma bisa menelan ludah mendengar teriakan Alin barusan. "Maaf-maaf, kaget. Iya, nanti aku sampein. Iya Sean, nanti aku bilang. Oke-oke... KURANG DIDIKAN! DASAR NGGAK PUNYA MALU!"
Kelopak mataku terbuka lebar. Aku terkejut mendengar umpatan gadis di depanku ini. "Kamu kenapa?" bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah memelukku erat-erat dan memberikan elusan lembut di punggungku. "Hei! Kamu kenapa Lin?"
Kurasakan kepalanya bergerak ke kiri dan kanan. "Aku nggak kenapa-napa. Kamu yang kuat ya."
"Kamu ngomong apa sih?" sontak kudorong pelan tubuhnya agar pelukan erat ini terlepas. "Maksudnya kuat apa? Kamu ngomongin apa sama Sean? Dia sakit?"
"Bukan."
"Terus apa?"
"Cewek itu yang nggak tau malu sama nggak punya hati!"
"Cewek? Siapa?" Alin terdiam sambil menunjukkan muka kesal, mungkin lebih, sangat-sangat kesal? "Apa sih Lin... Aku beneran nggak paham!"
"Otak ceweknya Sean yang udah nggak ada! Dia yang nyuruh Sean buat ngembaliin jaket itu ke dia! Dia yang mintak jaket itu lagi! Elisa, Elisa yang ngelakuin hal menjijikkan kayak gitu, De...!"
Lidahku kelu untuk beberapa saat. Bahkan aku mengedipkan mata dalam beberapa detik ke depan. Rasanya sesak.
Kutarik sudut bibirku walau hanya setengah senti. Ya, aku tersenyum tipis. Sangat tipis. "Jaket itu memang punya Elisa. Dari awal aku emang nggak berhak Lin.
Gadis di depanku ini geleng- geleng kepala. Ekspresi jengkelnya masih kentara. "Udah malem, aku tidur duluan. Malem, Lin." sambil membaringkan tubuh di bagian kasur yang kosong. "Jangan lupa matiin lampunya. Bangun pagi, besok sekolah. Malem, selamat tidur Aliiin!"
"Ya, selamat tidur... semoga mimpi indah, Dea."
°•°•°
Terimakasih buat yang masih membaca cerita ini :) boleh kita kenalan? :v (canda elah, tapi kalau serius juga nggak papa :D)
Kiranya kalian selalu sehat! AMIN.
See You :*
God bless <3