Selamat membaca
°•°•°
Suasana kantin terbilang sangat ramai. Bagaimana tidak, jam istirahat adalah tempatnya para murid untuk mengisi perut. Jarang sekali aku menemukan hal seperti ini di perpustakaan. Aku pun sama, tujuan utama kantin.
Sudah lima menit aku duduk berhadapan dengan Alin di sini. Kami makan dalam diam dengan sesekali ia mencuri pandang ke arahku. Membuat risih saja anak itu. Hingga akhirnya dia yang memulai obrolan. "Aku tau, kamu sakit hati kan sama omongan Sean tadi malem?" aku yang sudah menatapnya, mengangguk. "Jangan patah semangat. Doain dan tetep jaga sikap kalo kamu masih pengen lanjut sama perasaan kamu." senyum tulusku terbit perlahan. Bersyukurnya aku, punya teman yang baik seperti si Alin ini.
"Makasih ya..." refleks kupeluk dia sambil melebarkan senyuman. Perkataannya memberikan dampak yang cukup besar buatku, tepatnya di dasar hati. "Aku beruntung punya temen kayak kamu." sambungku dengan posisi masih memeluknya.
"Sama-sama." Alin mengusap-usap lembut punggungku. Membuatku semakin tambah tenang. "Jadi, aku cuma temen nih?" aku terkekeh mendengarnya, berangsur melepas pelukanku dari tubuhnya yang tak terlalu kecil.
"Sahabat!" pekikku yang membuatnya tersenyum cerah.
Alin mengangguk dengan semangat. "Ya! SAHABAT!" sahutnya cukup keras. Membuat kepalaku menggeleng pelan tanpa dikomando.
"Alay!" ujar lelaki yang sudah duduk di sebelah Alin tanpa disuruh. Alin yang sama terkejutnya denganku, menatap sinis Nino. Tubuhnya ia geser agar tak terlalu dekat dengan laki-laki usil itu.
Alin memutar bola mata jengah. "TER-SE-RAH! Males debat." kemudian balik menatapku. "Cepetin makannya Dea... Mau bel." suruhnya lantas menunduk, ikut melanjutkan makannya yang sempat tertunda karena aksiku yang memeluknya dadakan tadi.
"Masih lama! Sok-sokan nggak mau debat. Bilang aja takut kalah." dengan santai menyomot snack jaring rasa rumput laut ukuran jumbo punya Alin. Alin yang langsung tahu tingkah jahil Nino, refleks memukul lengan kanannya.
"Udah bagus ngalah, masih aja dijailin. Pake makan jajanan orang lagi, ngeselin banget deh jadi orang! Minggir sana!" pukulan bertubi-tubi dari sahabatku itu membuat Nino mengaduh kesakitan.
Aku yang geli tapi enggak tega mencoba untuk menghentikan kelakuan Alin. "Udah-udah. Nggak malu apa diliatin anak lain?" ya betul, kini semua mata tertuju ke kami, lebih tepatnya lagi mereka berdua. "Lanjut makan!" aku memerintah dengan mata menajam, menatap kedua remaja di depanku ini bergantian. Tak ada bantahan dari keduanya. Alin melanjutkan makan, begitupun dengan si Nino, dia menyuapkan sesendok sotonya ke mulutnya sendiri.
Sehabis aku makan nasi bungkus, kulirik kanan-kiri. Mencari sosok Sean yang tak kunjung kutemukan. Kemana? Nggak tahu ya kalau aku dari tadi nyariin?
"Makasih ya De. Udah mau nampung aku makan di meja bareng kamu." dahiku mengerut. Alin yang ikut mendengar menghela napas, terdengar kasar. Aku yang baru mencerna perkataannya terkikik geli. "Besok-besok ajak aku kalo makan. Biar kamu nggak sendirian lagi." ucapannya membuatku terkekeh. Tahu? Nino menganggap Alin sosok tak kasat mata, haha.
"Udah sana! Buat orang darah tinggi tau nggak?! Hush..." sambil mendorong Nino. Aku tahu, gadis berjepit pita merah muda itu tengah kesal.
"Tuh Dea! Nggak merinding apa? Badanku aja kedorong. Duluan ya, takut kalo setannya tambah jahat." pamit Nino dengan tampang takut yang dibuat-buat. Buru-buru Nino membereskan bekas makan-minumnya.
"Nino sinting!" geram Alin setelah Nino pergi dari hadapan kami.
"Entar suka... Jangan gitu ah." godaku yang direspon dengan delikan tajamnya.
"Terserah." Alin mengakhiri dengan kaki yang menjauh dari bangku tempatnya duduk tadi.
Aku pun beranjak dari tempatku duduk. "HEIII... Tungguin!"
"Sama Nino aja...! Aku kan setan!" seraya mengibaskan rambut sebahunya.
Sontak aku terkekeh. "Bener ya! Dengan senang hati..." aku tahu, dia hanya bercanda. Mana mungkin Alin benar-benar mengatakan itu. Aku tahu itu karena kekesalannya sama si bocah tengil. Saat-saat seperti inilah yang membuatku terhibur. Ya, dengan begitu aku bisa melupakan sejenak kegelisahan hatiku.
°•°•°
Pelajaran di kelas membuatku bosan. Penjelasan singkat yang sialnya belum bisa dicerna lancar oleh otakku. Bukannya aku malas untuk bertanya, tapi takut kalau aku malah tambah pusing dengan penuturan guruku itu. Lebih seru kalau dijelasin Alin, lebih ngerti juga.
"Alin..." lirihku memanggil gadis yang duduk di sebelah kiriku. Ia mengangkat kedua alisnya. "Pulang sekolah ajarin aku bagian ini ya. Belum jelas..." pintaku sedikit keras karena sang guru sudah beranjak dari duduknya. Entah ke mana, beliau keluar dengan ponsel menempel di telinganya dan raut wajah terlihat sangat serius.
"Maaf De, aku nggak bisa. Mamah pagi tadi bilang mau pergi sama aku. Gimana?" tuturnya takut-takut.
Aku terpaksa tersenyum kecil. "Ya udah kalo nggak bisa, nggak papa kok... Tapi bisa janji nggak kalo besok-besok ajarin yang ini?" tanyaku mulai pelan karena guru perempuan berkacamata itu sudah kembali.
"Janji, tapi kalo ada waktu ya..." aku mengiyakan.
Belum sempat untuk fokus menatap buku, perkataan guru membuatku terkejut. "Besok ulangan materi yang ini. Berhubung jamnya Ibu dua jam berturut-turut, jadi nggak perlu ditunda-tunda lagi."
"SIAL!" teriakku spontan. Membuat sang guru menatap ke arahku. Beberapa teman sekelasku juga ikutan ngelirik, dari situ aku menahan napas. Salah ngomong, hehe.
"Kenapa Dea?" tanya beliau lembut, membuatku menggeleng. "Tolong, ucapannya dijaga."
"Ekh, iya Bu. Maaf." aku kembali menatap buku. Mencoba mencerna rumus-rumus di depanku. Menggaruk-garuk rambutku yang tak gatal, karena frustasi. "Aduh..."
"Kamu kenapa De?" tanya lelaki yang duduk di depanku setelah memutar tubuhnya menghadap ke samping, namun tatapannya mengarah padaku. Sejak kapan dia disini?
Aku mengernyit. "Emang aku kenapa?" tanyaku yang malas untuk berbicara dengannya. Aku berniat untuk menjauh saja. Ia malah menggeleng dengan senyum cerahnya yang membuatku gagal fokus dengan tujuan awalku.
"Kamu bingung kan sama yang dijelasin Bu Titi tadi?" kok tau? Nguping omonganku sama Alin tadi ya? Hehe, pede dikit.
Aku mengangguk. "Hehe iya. Kurang paham." Sean manggut-manggut. Lalu ia nampak berpikir.
"Gimana kalo nanti malem aku samperin? Kita belajar bareng. Mau?" aku terdiam dengan muka datar. KITA?! Belajar bareng?! Demi apa?! Ya pasti mau lah Sean... Masa enggak?!
Aku berdeham. "O-oke... Eum, nanti kabarin aja, biar aku bisa siap-siap dulu."
Sean lagi-lagi tersenyum. "Siap-siap biar cantik ya?" tanyanya yang membuatku menganga. "Santai aja kali mulutnya. Canda kok, kita kan temen."
Aku tertawa spontan, namun tidak dengan hatiku. "Biar cantik? Enggak lah... Nyiapin barang-barang yang mau dibawa dong. Ya iyalah temen. Emang apa?" tanyaku yang sebenarnya takut mengetahui jawaban dari mulutnya.
Sean menggeleng. "Aneh aja kalo misal kamu suka sama aku. Haha, nggak mungkinlah, dan nggak mungkin juga kalo udah temen jadi pacar. Aneh... Ya kan?" dengan tersenyum kepalaku mengangguk, sesuai perintahku. KEEP STRONG NADEA! Inget, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Emang iya kalo ujungnya bakal senang?
°•°•°
Senja sudah digantikan oleh petang beberapa jam yang lalu. Namun, sampai detik ini aku belum menerima kabar darinya. Mungkin dia lupa dengan janji yang dibuatnya siang tadi. Bodohnya aku yang masih setia menunggu pesan darinya.
"Seharusnya aku nggak berharap ajakan si Sean sampe kayak gini. Mau gimana lagi... Kayaknya beneran nggak ada pilihan lain selain mantepin hati ke dia...."
Aku mengembuskan napas lelah lalu menatap gedung-gedung dari balkon kamarku. Ya, aku sedang memandang hamparan bangunan buatan tangan manusia tepat di depanku. "Perkotaan nggak terlalu buruk... Yah, meskipun asepnya gangguin." Keasikanku terganggu karena bunyi ketukan dari luar kamar. "Iya Diya! Tunggu bentar!" teriakku karena mengantisipasi kalau saja kembaranku tidak mendengar. Bukan maksud menghina, memang kalau volume suaranya pelan pasti tak sampai diluar. Buru-buru aku mengayunkan kaki menghampiri suara gedorannya setelah menutup pintu balkon.
"Buruan! Dicariin tuh. Inget ya, jangan pergi! Udah malem." tegasnya penuh penekanan di akhir kalimat setelah aku membuka pintu di hadapannya.
"Iya." belum sempat aku bertanya, Diya sudah pergi meninggalkanku. "Diya! Siapa orangnya!" tak ada sahutan. Dengan gontai aku pun menuruni tangga. Menemui tamu yang tak diundang itu.
"Ayok belajar!" pekiknya setelah aku menengok padanya, dengan posisi tubuhku yang masih di belakang pintu.
°•°•°
Gimana? Masih dan terus berusaha.
See You
Gbu