Selamat membaca
°•°•°
Beberapa jam lalu senja berlari, jadilah petang yang datang menghampiri. Sedangkan aku, baru saja keluar dari kamar mandi setelah hampir satu jam berendam di dalam air hangat. Sangat menenangkan.
Terlebih di cuaca yang seperti ini--musim hujan-- dampak buruknya, membuat beberapa daerah di Indonesia mengalami musibah banjir. Mengingat juga negaraku itu kaya akan lautan. Jadi, tak menutup kemungkinan hal ini bisa terjadi. Aku harap para saudaraku yang mengalaminya bisa lebih ikhlas dan kuat menerima. Aku sendiri di sini, hanya bisa membantu dalam doa. Aku percaya, doa mampu mengubah segala sesuatu yang buruk menjadi baik. Bahkan bisa teramat baik. Ya, itulah hebatnya kekuatan doa.
Saatnya aku sibuk meratakan pembersih wajah dengan posisi duduk di depan meja rias yang letaknya persis di samping meja belajarku. Aku sudah berpakaian piyama lengan pendek garis-garis warna biru tua. Aku juga memakai body lotion, tak lupa untuk menyisir rambut panjangku sebelum bermimpi indah. "Kalo udah panjang gini bawaannya pengen potong..."
Aku beranjak dari kursi putih yang sedang kududuki. Berniat untuk mencari ponsel setelah terlintas begitu saja dalam pikiranku. Rasanya seperti sudah lama aku mengacuhkannya. "Di mana sih..." tanganku masih sibuk menggeledah tas ransel sekolahku tadi. Aku berdecak. "Lumayan, hemat batre deh." aku mengecek pesan setelah datanya kuhidupkan. Ada pesan dari Alin:
P
Dea?
Maju berapa langkah?
Buruan on!
Ayok cerita!
Kamu jadi sama Sean?
Masih pacaran nih.
"Haha, bisa aja si jepit rambut!" kufokuskan mata ke arah WhatsApp lagi. Aku membalasnya dengan tawa yang masih tersisa :
Belum maju kok Lin.
Masih jalan di tempat .
Dibalas Alin:
Makan sama Sean? Bilangnya sih jalan di tempat... tapi aslinya udah ngibarin
bendera aja.
Aku terkekeh singkat. Dasar. "Alin-Alin..."
Kubalas dengan tawa yang masih tersisa:
Makan sendirilah. Bendera apaan?
Secepat kilat Alin menjawab:
Enggak jadi dibeliin Sean?
Bendera warna pink!
Kubalas lagi bersama kekehan yang meluncur dari bibirku :
Nggak! Aku mintanya jajan.
Warna pink? Apa sih :v
Alin:
Haduh... lupain aja. Eh, aku cari makan dulu.
Malam Dea :*
see you.
Aku benar-benar tertawa geli membaca jawaban frustrasinya. Kujawab:
Hahaha. Okeeee. Malem juga.
See you.
Aku pun keluar dari percakapanku dan Alin. Mencari aplikasi permainan yang sudah aku download kemarin. Hanya bermain sepuluh menit. "Hahhh... Bosen." setelah itu keluar karena menurutku gamenya kurang seru dan... Ada notif pesan!
"SEAN!" aku yang tadinya bersender di kepala ranjang sontak menegakkan tubuh. Memeluk guling yang ada di sampingku cepat-cepat. Kulihat pesan darinya tanpa menunggu beberap menit, karena aku sudah tak sabar melihatnya.
Rasanya aku ingin teriak dengan sekencang yang kubisa. Saat ini juga. Bagaimana tidak, ia ingin mengajakku untuk berangkat bersama ke sekolah besok pagi. Berdua. Menjemputku.
Sean:
Dea
Udah gak marah kan?
Besok berangkat bareng mau?
Pake motor lagi tapi :')
"Iya, aku udah nggak marah kok. Mana bisa marah lama-lama Sean... Rasa itu lebih besar dari marahku." kalian pasti tahu, kata 'itu' maksudnya sangat mendalam untuk dia, laki-laki pertamaku. Kusetujui dengan balasan yang sederhana. Tak mungkin kan aku memakai emoji cium atau peluk? Membayangkannya saja aku sudah senyum-senyum sendiri, hahaha.
Kulempar ponselku ke samping setelah menyudahi percakapan. Aku tiduran sembari menatap langit kamar. "Ini nggak mimpi kan Tuhan?" kupejamkan mata selama lima detik. Kembali menatap langit kamar.
Kutegakkan tubuhku lalu turun dari atas kasur. Mengayunkan kaki keluar kamar, tepatnya menuju balkon. Aku menatap banyaknya gedung di luar sana. Tersenyum lebar sembari mengingat ajakannya. "Apa ini pengantar tidur?" masih tersenyum, aku menutup mata. "Aku harap iya..."
Ajakan Sean layaknya pengantar tidur yang indah untukku. Ya, indah. Bisa jadi ini yang paling indah, setelah aku beberapa hari mengenalnya. Kurasa aku semakin menyukainya. Bukan-bukan, bukan hanya suka, tapi... Ya! Rasa itu... Hanya lima huruf namun berjuta makna.
°•°•°
Kuturuni tangga dengan jantung yang tak bisa dikatakan normal. Bukan penyakitan melainkan ketakutan. Ini saatnya aku untuk meminta izin pada Diya-- kembaranku yang tak sama--agar aku bisa berangkat bersama lelaki tampan itu, siapa lagi kalau bukan Sean.
Aku terkekeh. "Mimpi..." kuedarkan pandanganku setelah sampai di lantai bawah. "Mungkin itu anak didapur." mungkin saja, karena pas aku cek di kamarnya tadi, Diya sudah tak ada di sana. Di kamar mandinya juga tidak ada.
Betul kan dugaanku, dia tengah berdiri di depan kulkas. Mungkin telinganya mendengar derap langkahku, karena Diya sudah membalikkan tubuhnya ke arahku. Tanpa basa basi aku mengatakan, "aku mau berangkat sama temen. Dijemput. Boleh nggak?" ia mengangguk lalu melewatiku. "Serius?" tanyaku memastikan.
Terdengar Diya mendesah. "Iya..." tanpa menoleh ke arahku.
Aku menyusulnya. "Makasih Diya!" sembari menggenggam erat tangan kirinya. Karena tangan kanannya sedang membawa segelas susu putih.
"Hm...."
Dengan semangat yang baru aku kembali ke kamar. Meraih ponselku yang tergeletak di atas meja belajar. Aku mengirim pesan ke Sean, mengabari bahwa aku bisa berangkat ke sekolah bersamanya. Dia pun memberitahu kalau segera menjemputku. Tunggu sepuluh menit katanya.
"Oke!" pekikku kegirangan.
Pagi yang cerah dengan semangat baru yang terus tercurah. Senyum indah milikku pun tak ketinggalan. Aku yang sudah berseragam lengkap, kini memakai sweater hitam bertuliskan 'Black' warna putih di dada bagian kiri. Tak lupa ranselku yang ada di kursi meja belajar juga kuambil. Kusimpan ponsel ini ke dalamnya.
Buru-buru aku keluar kamar. Kakiku yang bisa dikatakan mulus pun lekas menuruni tangga rumah satu-persatu.
"Berangkat duluan ya Diya."
Diya yang tengah duduk di sofa ruang tamu sontak mengalihkan pandangannya dari ponsel menjadi ke arahku. "Ya."
Aku memutuskan untuk menunggu Sean di depan pagar rumah, pastinya untuk mempersingkat waktu.
Perasaan baru saja aku keluar pagar, sosok yang kuyakini itu adalah Sean sudah nampak dari kejauhan. Bunyi knalpotnya yang keras turut membuktikan bahwa itu memang miliknya.
"Lama nggak?" tanyanya setelah sampai di depanku sembari melepas helm full face warna merah yang senada dengan tubuh besar motornya. Aku yang masih terpesona akan rambutnya yang sedikit berantakan menjadi gelagapan.
"Eh ya? Eh... Nggak kok, aku barusan aja keluar rumah." Sean mengangguk sembari merapikan rambutnya ke arah belakang. "Ekhm, berangkat langsung yuk."
"Iyalah, mau ngapain lagi?!" ucapnya yang membuatku berdecak.
"Ya udah, mana helmnya? Masa aku nggak pake?!" dia terkekeh sendiri.
"Lupa... Nih." sembari menyodorkan helm warna putih yang sejak kemarin muat untuk kupakai. Baru saja aku ingin menjangkau, dia malah menjauhkan benda itu dariku. Membuat mataku menyipit tajam menatapnya, refleks tubuhku bergerak maju agar lebih dekat lagi padanya.
Seperti kemarin, tanpa kuduga Sean langsung memasangkannya di kepalaku. "Naik!" perintahnya yang kubalas dengan gumaman. Baru saja berhasil duduk, laki-laki yang kusuka ini menyuruhku untuk pegangan. "Yang kenceng."
Aku membuang napas setelah susah menyerap oksigen di sekitarku. "Nggak ah, alay."
Tanpa memberitahu, dia menancapkan gas motor ini dengan kekuatan penuh, entah berapa km/jam. Aku tidak tahu.
"SEAAAN...!" teriakku karena terkejut. Berasa hampir mati.
Dia tertawa singkat. "Makanya, nurut."
Aku mengencangkan pelukanku di pinggangnya yang berbalut seragam dan berlapis jaket warna merah kecokelatan. "Ya bilang dulu kalo mau ngebut! Inget, aku masih bernyawa. Belom mau pergi dari dunia ini!" ucapku yang membuatnya tertawa. Di sela-sela tawanya Sean mengucapkan permintaan maaf.
Kupukul ringan lengan kirinya. "Ya pelanin dong motornya...." pintaku memelas. Namun akibat sifat Nino yang menular ke Sean, bukannya menuruti perkataanku, lelaki yang kupeluk ini malah mempercepat laju kendaraannya.
"Biar cepet!" sahutnya sedikit lantang.
"Terserah." putusku yang sudah pasrah dengan tingkahnya. Lelah. Lagi pula aku juga bingung mau menjawab apa.
Seperti biasa---sampai di parkiran sekolahan---hanya ada beberapa siswa yang berlalu-lalang. Mobil Alin belum nampak di sini. Aku yang sudah turun dari motor besarnya, cepat-cepat melepas helmnya dari kepalaku. Sedang Sean masih sibuk merapikan poninya didepan kaca spion.
Sean masih sibuk bercermin. "Udah sarapan?" tanyanya setelah aku menyodorkan helm yang kupakai, tepat di punggungnya.
"Makasih. Belum sih, bangunku tadi agak telat jadi nggak sempet." terangku. Aku menatapnya yang masih berdiri dan menyenderkan sedikit tubuhnya di motor itu yang sudah terparkir rapi.
"Nungguin apa lagi... Ayok!" ajaknya begitu tanganku sudah ada dalam genggamannya.
"Lah, kan kamu masih ngaca tadi." protesku. "Gimana sih...."
Sean terkekeh. "Cie, nungguin aku dong berarti." godanya yang membuatku terdiam. Enggan membalas, seraya memasang muka datar agar tak terlihat salah tingkah di depannya. "Cie, kalo ngambek berarti bener." terkanya yang membuatku ingin tersenyum. Namun setengah mati kutahan. Dasar! Bisa-bisa kebakar nih pipi!
Aku menatap nyalang ke arahnya. "SEAN...!" teriakku panjang lalu melepas genggaman tangan seraya menghentakan kaki menjauh darinya. "Bisa gila aku lama-lama! Dasar... Untung sayang." sedang Sean, tertawa jahil jauh di belakangku. "Huh!"
°•°•°
Gimana? Kalo kurang, Maaf... masih dan terus berusaha.
See You
God Bless You