Chereads / DeaSea / Chapter 12 - Cukup Bahagia

Chapter 12 - Cukup Bahagia

Selamat membaca

°•°•°

"Alin?! Ngapaiiin...?! Deket-deket lagi!" heran karena melihat sosoknya yang sudah tersenyum lebar tepat di depan mukaku.

Alin terkekeh. Sepertinya sifat jahil Nino menurun padanya. Membuatku semakin percaya bahwa mereka berdua memang jodoh.

"Ya udah kalo nggak mau belajar. Aku pulang." membalikkan tubuhnya, berniat ingin pergi.

Aku menepuk dahi. "Eh-eh. Iya, lupa... Kan tadi aku udah minta tolong kamu ya? Lupa, maaf, hehe..."

"Hem... Kamu pikir yang dateng siapa?" aku menggeleng lalu mengangkat bahu. "Sean?" tanyanya tepat sasaran.

Oke, sepertinya aku harus pindah objek pembicaraan. "Masuk yuk! Nggak dingin apa di luar? Kalo udah masuk angin baru deh, minum minuman yang bisa nolak angin..." kugandeng tangan Alin. "Lebih baik mencegah penyakit kan?" Alin hanya menurutiku.

"Mencegah angin masuk, apa mencegah pertanyaanku, De?" refleks, aku menutup kencang benda berbahan kayu di depanku. "Nggak usah kaget. Aku tau, kalo kamu lagi nungguin Sean... Jujur aja kali...!"

Aku menatapnya dengan bibir yang sudah maju beberapa senti. Kupercepat saja langkahku sampai Alin tertinggal. "Iya! Sampek mantengin hape mulu tau nggak?!" ucapanku yang jujur menguar, lalu menghempaskan diri di sofa ruang tv.

"Udah nggak usah sedih De... Dari awal aku juga udah bilang kan. Emang ini tantangannya. Aku tau kalo kamu kuat kok." spontan aku tersenyum menatap sahabatku yang ikut duduk di sebelahku. "Dia yang nyuruh aku ke sini." tuturnya menambahi, lalu sibuk meraih stoples berisi kacang goreng di atas meja depanku ini.

Keningku lantas mengernyit. "Maksudnya? Nyuruh?" gadis imut itu manggut-manggut. "Nyuruh kamu kesini?" lagi, Alin mengangguk karena bibirnya masih digunakan untuk memproses gigitannya. Aku berusaha berpikir keras. "Tunggu bentar..." sambil berpikir. Dan setelahnya, aku tercengang. "HAH?! S- Sean nyuruh kamu kesini buat ngajarin aku? Gitu?" ia mencoba menelan camilan dengan keberatan.

Kedua matanya membulat. "Iya Nadea... Astaga! Kurang jelas?!" aku terdiam, masih tak percaya akan ucapannya yang megiyakan tebakanku. Ini beneran? Aku pikir hal ini terjadi karena permintaanku ke gadis berjepit ungu yang ada di sampingku ketika memohon waktu siang tadi di kelas.

"Serius?" tanyaku yang dibalas dengan putaran bola mata malas.

"Apa aku harus jawab dua rius? Ntar aku dikirain alay..." aku tak bisa bohong kalau aku senang mendengarnya, senyum lebar terbit di bibirku. Alin yang mengetahui responku kini kelewat batas pun menggeleng. "Udah-udah! Ayok aku jelasin sekarang, ambil bukunya sana."

Aku memeluknya. "Siap!" dengan senyum yang masih tersungging, aku melangkah ke arah kamar. Gimana nggak seneng, itu tandanya kamu perhatian sama aku. Makasih Sean...

°•°•°

Sinar matahari yang hangat sangat terasa di kulitku. Kini berjalan santai tak jauh dari parkiran karena aku baru saja sampai sekolah. Lantunan lagu 'penantian berharga' dari Risky Febian, terus berputar dalam batinku. Senyum kecil juga tak lepas dari bibir. Hingga tepukan di bahu kanan, membuatku menghentikan langkah.

Aku menelan ludah susah payah. "S-Sean?" Alhasil kami berdampingan dengan posisi Sean di sisi kiri. Dia menyugar poninya yang tak terlalu panjang ke belakang. Tau aja ya kalo kayak gitu bisa buat aku tambah suka? Huuuh!

"Kaget? Ngelamunin apa?" tanyanya dengan alis terangkat satu.

"Kamu!" keceplosan. "ASHhh...!" terlihat dahi Sean mengerut, membuatku membelalak. Dengan cepat otakku mencari jawaban. "M-maksudku... Argh! Kamu! Kamu itu ngapain sih pake ngagetin segala?! Nggak usah jail kayak Nino deh!" Dasar! Mulut-mulut! Tuh kan, ujung-ujungnya ngebentak... Maaf ya, Sean. "Kalo aku jantungan gimana...? Nggak tau kan kalo orang yang dikagetin itu punya riwayat penyakit jantung? Syukur kalo nggak ada..."

Sean merubah raut mukanya yang tadinya bingung menjadi merasa bersalah. "Iya, maaf deh... Nggak diulangin lagi." aku mengangguk. "Emang tadi ngelamunin apa?" tanyanya lagi yang memang belum mendapat kejelasan dariku.

"Nggak papa. Nyanyi dalam hati aja, hehe."

"Oh, kirain..." aku menatapnya.

"Kirain apa?" tanyaku penasaran.

Senyum menggoda ditunjukan bibir manisnya. "Mikirin akulah..."

Aku terbungkam, terasa jelas dan nyata kalau dadaku berdegup kencang sekarang. Kok dia bisa tahu? Apa kentara? Terdengar suara jentikan jari yang ternyata di depan mukaku. Siapa lagi kalau bukan Sean pelakunya. "Pede!" ucapku lalu meninggalkan dirinya.

Tak kusangka, dia malah kembali menyamakan langkah kami. "Aku belum selesai ngomong..." aku bingung, entah maksudnya itu apa. Aku pun berhenti, menunggu dia melanjutkan perkataannya. Jujur, aku merasa takut kalau berjalan di sebelahnya. Bisa-bisa membuat jantungku berdebar-debar layaknya melihat kambing ompong menggigit anak kecil yang tukang bohong. Seperti lagu anak-anak.

"Aku kira kamu... Ekhm... Aku kirain..." ia tertawa singkat yang membuatku bingung. Lalu berteriak, "aku kira kamu... GILA TINGKAT DEWA!" selepas itu ia berlari kecil menjauh dariku dengan posisi tubuhnya menghadap padaku, cengiran lebar khasnya turut terlempar ke arahku. Tak lama, kini giliran lidahnya yang panjang keluar. Dan bersamaan dengan itu, dia berlari cukup kencang.

"SEAN...!" teriakku menggelegar hingga beberapa siswa yang sudah datang mengarahkan pandangannya padaku. Aku sama sekali tak berniat untuk menyusulnya.

Setengah hatiku tersenyum mengetahui tingkah konyolnya barusan. Namun setengah hatiku lainnya, berusaha kuat menahan takut akan perasaan. Perasaanku sendiri, yang nyatanya memang sudah terikat. Dengan melihat senyumnya seperti ini, sangat sanggup membuktikan, bahwa aku siap melihatnya bahagia. Meskipun aku sendiri, belum sepenuhnya terlepas dengan rasa duka.

Seperti lagu penantian berharga, kuharap kisahku akan seperti itu.

Aku pun melanjutkan jalan menuju tempat di mana aku bertemu dengannya pertama kali, di mana lagi kalau bukan kelas kami? Seketika terputar wajah tampan dan suara tegasnya yang membuatku merasa damai. Saat beberapa hari lalu menatap Sean. Saat terpesona akan mata teduhnya. Dan janjiku di benaku untukmu : Aku selalu menunggumu, Sean. Ya, selalu. Selamanya menantimu.

°•°•°

"KEMBALIIN!" seluruh penghuni kelas sontak menatapku. Aku yang ditatap seperti itu menjadi sedikit takut. "Eh... Maaf." lirihku sembari tersenyum kikuk. Beberapa dari mereka menanggapi ucapanku dengan anggukan singkat lalu sibuk dengan dunia mereka masing-masing.

"Gila ya, Dea-Dea." kulihat Nino mengeleng dengan posisi duduknya mengarah padaku. Aku memandangnya dengan alis terangkat. "Suaranya, kayak kucing lagi seru-serunya bertengkar." ucapnya kemudian. Ia langsung menidurkan kepalanya di atas meja setelah mengatakan itu.

Sean yang sedang berada di hadapanku terkikik geli. Kupukul saja tangannya yang menempel di atas mejaku. "Sakit tau!" pekiknya tak terima.

"Salah siapa gangguin?! Mana pensilku...! Orang kaya kok nggak punya pensil. Mana..." tanganku menarik-narik lengannya agar mau mengembalikan pensilku satu-satunya.

"Pinjem doang Dea... Jangan pelit-pelit lah jadi orang..." seraya memindah pensilku menjadi di tangan kirinya.

"Pelit-Pelit! Enak aja... Kalo aku minjemin kamu, terus aku pake apa?! Beli aja sana, dua ribu doang!"

Sean tersenyum jahil. "Kalo nggak punya uang, gimana?"

Aku memutar bola mata malas. "Nabunglah!"

Laki-laki menyebalkan itu menggeleng. "Gimana caranya mau nabung kalo uangnya aja nggak ada?!"

Aku membuang napas kasar. "Terserah kamulah. Capek! Balikin...!" dengan santainya Sean membalikkan tubuhnya menghadap papan tulis. "Pensilku Sean...!" kesalku yang malah membuatnya menoleh sejenak namun kembali ke posisinya lagi. Kutinju saja punggungnya. "Aku pake apa?! Cuman itu doang pensilku!" kataku setelah ia balik lagi menatapku.

"Bilang dong dari tadi..." tangannya terulur kearahku, menyodorkan pensil warna hijau gelap milikku.

"SEAN!" teriakku karena ia malah kian menggoda. Bagaimana tak teriak, tanpa malu-malu dia mengapit pensilku di balik ketiaknya begitu aku berusaha ingin meraihnya. Kemudian melemparkan pensilku ke arahku dan mendarat tepat di pipiku.

Rasa kesal memenuhi diriku sekarang. Aku menatapnya tajam karena dia malah asik tertawa. Aku yang semakin kesal pun tanpa sadar menitikan air mata lalu menulusupkan kepala di lipatan tanganku yang sudah kuletakkan di atas meja. Sumpah, jahil banget jadi orang. Ngeselin amat!

"Kamu apain si Dea?!" suara Alin terdengar sedikit kesal. "Sampe diem gitu... Nangis deh kayaknya." mungkin Alin tahu karena aku sedang sibuk menarik ingus agar tidak keluar.

"Eh... Beneran nangis?" tanya Sean yang kudengar sedikit khawatir. Kurasakan elusan mendarat pelan di rambutku. "Dea..." lirihnya yang membuatku sulit menelan saliva. Kuyakin itu telapak tangannya. "Maaf deh..." dengan usapannya yang semakin terasa lembut.

"Kamu apain sih?" tanya Alin yang memang tak tahu karena sedari tadi ia pergi ke kamar mandi bersamaan dengan guru yang juga pamit keluar.

"Udah bubar aja sana." ucapku dengan posisi masih sama seperti tadi, ditambah gelengan kepala guna mengusir tangan Sean yang masih sibuk dirambutku.

"Ya udah." jawaban Alin masuk ke telingaku.

"Maafin ya... Bercanda doang..."

Aku menyingkirkan tangannya yang masih ada dirambutku. "Hm...."

Terdengar hembusan napasnya samar-samar. "Beneran minta maaf ini Dea...."

Aku mengangguk tanpa menatapnya. "Iya-iya. Udah ah, sana...."

"Sebagai simbol permintaan maaf, aku anterin pulang gimana?"

Aku yang terkejut refleks memfokuskan pandanganku ke arahnya. "Nggak usah." kemudian kembali tiduran di meja.

Sebenarnya aku ingin, sangat ingin malah. Mengingat bahwa ini kesempatan emas juga untukku. Kapan lagi pulang bareng Sean? Ya Tuhan... Tolong jangan bilang kalo ini cuma mimpi...

"Beli makanan kesukaan kamu juga deh, gimana?" tanyanya yang membuatku melongo.

Aku mendongak. "Yakin?" tanyaku tersenyum memastikan. Ia ikut tersenyum, bahkan lebih lebar dari senyumku. "Gaya... Pensil aja masih pinjem..." memangnya hanya dia saja yang bisa menggodaku. Aku juga bisa.

Sean melotot. Terlihat lucu di mataku. Menggemaskan sekali. "Astaga Dea... Kan aku udah bilang, tadi itu cuma bercanda... Hhh... Mau nggak...?" tanyanya lagi dengan nada menggoda.

Aku terdiam sejenak. "Bener nggak nih?" dia mengangguk mantap. "Yakin?" dua jarinya membentuk huruf v. "Serius?"

Sean memutar bola matanya jengah. "Iya, beneran, dan tulus. Mau nggak?" tanyanya terlihat mulai frustasi. Dengan sadar aku pun mengiyakan. Selepas itu Sean kembali menghadap depan.

Aku mencoba mengatakannya pada Diya. Bersamaan dengan pesanku yang dibaca saudari kembarku itu, bunyi bel terdengar nyaring. Ternyata si Diya mengijinkanku pulang tanpanya.

Lima menit sudah aku di luar kelas karena menunggu Sean yang sedang melaksanakan tugas piketnya.

"Ayok!" pekiknya membuatku menoleh. Aku menatap tanganku yang dengan santai, dibawanya dalam gandengan. Refleks aku tersenyum kecil dengan cepat kepalaku menunduk. Kami pun berjalan berdampingan.

Berdeham, berusaha menelan saliva yang terasa sulit. "K-kok cepet banget piketnya?"

Cengiran lebar miliknya tersungging. "Ngehapus papan tulis doang."

Aku yang sadar akan kecurangannya itu menggeleng pelan, namun tak menipu kalau perasaan senang sudah menyebar luas di hatiku.

Sampai di parkiran, mulutku dibuat terbungkam spontan olehnya. Laki-laki berjaket hitam itu, tanpa ragu memakaikan helm, untukku... "Maaf ya, lagi pengen bawa motor." terangnya yang kujawab dengan anggukan pelan. Suaraku seakan-akan sudah memudar.

Tak menunggu lama, Sean bergegas menaiki motor besar warna merah itu. Terdapat beberapa garis warna putih di bodynya. Dengan penuh hati-hati aku berusaha naik dan duduk, karena jok yang tak bisa dikatakan pendek itu, membuatku kesusahan. "Pegangan pundak aku aja kalo ribet."

"Iya." aku bernapas lega. "Huft... Udah, ayok." Tanpa membalas, Sean menjalankan kendaraannya dengan kecepatan sedang.

Tak ada yang terlalu spesial ketika kami berhenti di minimarket yang bertuliskan "Not Expensive COY" itu karena aku hanya menginginkan susu kotak rasa vanila dan satu cup ice cream. Setelahnya Sean mengantarku untuk pulang.

"Makasih ya." ucapku setelah turun dari motor besar dan helmnya tak lupa kukembalikan.

"Iya sama-sama. Maaf ya tadi... Sekarang udah seneng belum?" tanyanya sembari tersenyum.

Aku pun ikut tersenyum. "Cukup bahagia." dia mengangguk-angguk paham, kemudian pamit dan kurespon dengan lambaian tangan dan berakhir senyumanku yang semakin mengembang. Apa perlu aku jingkrak-jingkrak sekarang?

°•°•°

Gimana? Maaf ya kalo kurang greget... masih dan terus berusaha.

Aku bisikin, "partnya, cukup panjang...."

See You

God Bless You