H-15 sebelum perampokan, lapangan yang terletak ditengah-tengah antara rumah penduduk sudah sangat ramai, ada tiga gerombolan yang saling duduk melingkar dengan satu orang ditengahnya, dialah yang dijuluki ketua regu. Mungkin gelar itu tidak begitu penting, mereka hanya selalu bekerja sama untuk satu tujuan, merampok. Karena nyatanya sudah ada sosok panglima perang diantara mereka, lebih tepatnya calon.
Mengapa masih disebut calon? Karena panglima perang akan diangkat saat bertepatan dengan bulan purnama terjadi, serta perhitungan horoskop yang panjang. Untuk saat ini masihlah belum diputuskan, Christ masih menimang dan menentukan saat yang tepat, dan kapan bulan purnama akan terjadi. Karena bahkan sampai detik ini, penghitungan horoskop belum juga cocok untuk mengangkat Jeon Alarich.
Jimmie, Rald dan Josh sudah asik dengan dunianya masing-masing, mereka sedang memberi komando pada regu yang dibawanya. Walau Jimmie kadang susah untuk serius, namun jika berhubungan dengan merampok yang beratas namakan desa, lelaki itu akan bisa fokus dan serius melakukan pekerjaannya. Segala taktik dan rencananya sering kali membantu keberhasilan proses perampokan.
Jangan tanyakan tentang Rald dan Josh, mereka adalah lelaki yang sangat bijak dan dewasa, bahkan Jeon sering berkonsultasi dengan mereka berdua. Dengan dukungan penuh, dua lelaki itu membantu Jeon dengan suka rela.
Setelah memantapkan rencana dan menyebarkan strategi pada masing-masing regu, kegiatan mereka beralih untuk berlatih, mempersiapkan diri dan tenaga. Karena lawan mereka adalah musuh bebuyutan yang lumayan tangguh, ditambah Christ yang memberikan titah bahwa nyawa adalah yang utama.
"Ada yang mencarimu." Josh menyentuh pundak Rald begitu ikut mendekat kearah tiga lelaki yang duduk dibawah pohon, matanya mengarah kearah lain dari posisi duduk ketiganya.
Rald menolehkan pandangannya, dan seorang wanita cantik berdiri tak jauh dari mereka, bersembunyi dibalik pohon besar dengan tatapan awas.
"Aku pergi dulu."
Jeon, Jimmie dan Josh masih mengikuti pergerkan Rald yang menghampiri wanita itu, lelaki itu kini mengusap puncuk kepala sang wanita dengan lembut, dan setelahnya digandeng wanita itu untuk pergi menjauh. Pergerakan keduanya membuat tiga lelaki itu diam mematung, terlebih wanita itu sama sekali tidak dikenal oleh ketiganya.
"Siapa wanita itu?" celetuk Jimmie.
"Sepertinya bukan warga sini." Josh mengimbuhi.
Tak ada obrolan lain setelahnya, ketiga lelaki itu hanya menatap hutan dihadapan mereka dengan tatapan kosong. Cukup aneh saat tahu jika Rald dekat dengan seorang wanita, bahkan orang asing. Lelaki itu memang tak pernah dijumpai bermain bersama wanita. Saat pesta kemenangan, Rald lebih memilih minum bersama lelaki daripada mencari wanita.
"Hey, bidadari yang lebih cantik datang." celetuk Jimmie dengan binaran mata yang begitu antusias.
Rose berjalan mendekat dengan wajah malas-malasan, dengan sebelumnya menyodorkan kepalan tangannya kearah Jimmie. Jimmie hanya terkekeh puas dengan respon Rose yang selalu sinis itu, sangat cocok dengan Jeon, sama-sama menyebalkan. Tapi, rupa Rose memang cantik bak bidadari, jadi walau ia sangat judes, Jimmie tetap mengaguminya. Sayang saja Jeon lebih beruntung darinya.
"Mana Rald?" ucap Rose seraya mendudukkan diri didekat Jeon.
"Wah, nona Roseanna. Kau mencari lelaki lain dihadapan lelakimu?"
Rose memicing kesal kearah Jimmie, lelaki itu tergelak dengan ekspresi nyelenehnya, selalu seperti itu.
"Ada yang mencarinya, entah siapa." Josh yang duduk dihadapan Rose menjawab dengan suka rela.
Rose mengangguk mengiyakan, lalu melirik kearah Jeon yang sedari tadi menatap arah hutan berkali-kali, bahkan tak menoleh sedikitpun saat tadi Rose datang. Disikut perut Jeon pelan, biasanya lelaki ini akan usil ketika ada Rose, namun entah mengapa lelaki itu hanya diam dengan tatapan serius.
Biasanya Rose selalu kesal dengan keusilan Jeon yang mulai tumbuh sejak keduanya terikat dalam kutukan. Dia sering di buat naik darah oleh tingkah menyebalkan lelaki itu, tapi saat lelaki itu diam saja. Rose merasa asing.
Jeon hanya tersenyum simpul kearah Rose, dan setelahnya mengecup pundak Rose yang terbuka, lalu kembali fokus pada hutan yang entah apa yang sedang ia lihat. Rose mengikuti arah pandangnya, namun hanya ada pohon yang berjejer disana.
"Kenapa?" bisik Rose pelan seraya mengusap pipi Jeon yang masih didekat pundaknya. Jeon hanya menggeleng pelan, membuat Rose semakin penasaran dengan apa yang lelaki misterius itu sedang pikirkan.
"Hey! Kalau mau bercinta-cintaan cari tempat lain lah!" Kesal Jimmie, kini lelaki itu sedang merangkul lengan Josh, merasa iri dengan pemandangan dihadapannya.
Lagipula, sejak kapan dua Singa ini akur? Biasanya juga saling adu mulut. Terlebih Rose, wanita itu seperti wanita yang selalu datang bulan. Marah everyday, everytime, everywhere.
"Kau pergilah kewanitamu, di segala tempat dan penjuru adalah romansa untukmu, dasar playboy!" dengus Josh, menjauhkan kepala Jimmie yang bergelayut manja di lengannya.
"Hishh! Kenapa kau membela mereka? Berapa bayaranmu untuk membela mereka huh?" sinis Jimmie, dan berakhirlah mereka berdua berguling-guling diatas tanah, saling pukul dan gelitik, lebih tepatnya Jimmie yang menyerang dan memulai perkelahian konyol itu.
Sedang Rose dan Jeon menyemangati dengan seruan, tawa dan tepuk tangan meriah, mendukung perkelahian konyol dua insan dihadapannya. Rose menatap kearah Jeon yang masih menyandarkan kepalanya dipundak Rose, menelisik setiap tawa yang dicurahkan dari wajah lelaki itu, begitu menenangkan.
"Mau mengobrol berdua?" ucap Jeon begitu menangkap tatap dari Rose. Rose mengangguk, dan setelahnya Jeon tersenyum tipis, berdiri dari duduknya dan mengulurkan tangannya untuk membantu Rose berdiri.
"Ya benar! Carilah kamar dan buatkan aku keponakan yang lucu!" Teriak Jimmie yang diselingi tawa oleh Josh. Keduanya melakukan high five dan dengan cepat kembali berangkulan.
######
Suasana perkampungan kini sedang lengang, tak banyak kegiatan, karena kegiatan sedang berfokus dilapangan utama. Perkampungan mereka tergolong besar, dengan ratusan rumah yang tertata rapi saling berdekatan, dengan 2 lapangan yang memiliki fungsi masing-masing. Hutan yang melimpah karena dirawat dan ditanami dengan tanaman ladang yang menunjang keberlangsungan hidup. Tak ada yang kurang untuk orang yang cukup puas dengan hidup sederhana dan bahagia. Namun merampok bahkan masih enggan mereka tinggalkan, beregenerasi hingga turun temurun.
Jeon memposisikan berdiri di balakang Rose, memeluk erat wanitanya begitu mereka sampai dilokasi favorit mereka, lapangan selatan. Dimana lapangan itu sering dijadikan sebagai tempat melatih senjata.
"Ada yang menganggu pikiranmu?" angin berhembus dengan kencangnya, langit mulai mendung, dan suasana semakin terasa dingin, namun dekapan Jeon begitu menghangatkannya.
"Hanya memikirkan hal yang tiba-tiba melintasi otak kecilku," balas Jeon dengan kekehan lirih "Dan hey.. kau sudah mengerti aku ternyata." Jeon semakin menelusupkan wajahnya keleher Rose, mengendus-endus dengan suka-nya.
"Berhenti sebelum kubuat hidungmu tak lagi berfungsi!"
Jeon tertawa lantang, bahkan badannya berguncang mengajak badan Rose untuk ikut berguncang bersamaan, "Kau selemah itu dengan rangsanganku?"
Disikut perut Jeon kencang, seraya memutar bola mata jenggah, Jeon dan mulutnya adalah bisa beracun bagi Rose, selalu saja dari mulut itu akan keluar ucapan tak terduga yang membuat Rose kesal dan naik darah.
"Boleh aku tanya?" cicit Rose.
"Katakanlah." Jeon mengeratkan dekapannya pada Rose, dengan tangan Rose yang sedari tadi mengusap papan sasaran panah di hadapannya yang kini penuh dengan lubang.
"Apa yang akan kau lakukan jika aku tak ada?" ucap Rose tanpa kendala, suaranya terdengar tenang tanpa riak sedikitpun, "Yeah, aku hanya penasaran, aku tak selamanya hidup kan? Bisa saja aku mati besok pagi karena serangan jantung atau kelelahan karenamu? Siapa yang tahu aku—"
"Aku akan menyusulmu." potong Jeon.
Rose terdiam, bahkan tangannya yang sedari tadi mengusap papan sasaran panah pun terhenti.
"Untuk apa aku hidup? Kalau kau tak ada."
"Hey!" Rose melepas dekapan Jeon dan berbalik, menatap lelaki itu tajam "Bukankah aku hanya sebagai sumber tenagamu saja? Desa ini butuh kau sebagai panglima perang, desa ini butuh kau untuk merancang strategi perampokan. Tapi kau memilih mati?"
"Dengar." Jeon kembali membalik badan Rose untuk memunggunginya, kembali memeluk wanita itu dengan posesif, menyamankan dagunya yang bertumpu dipundak wanita itu.
"Pertama.. kau bukan hanya sekedar sumber tenagaku, kau Roseanna, wanita penuh pesona dan bakat yang menguasai segala macam jenis senjata dan bela diri. Anak sang Panglima Perang sekaligus Ketua Suku yang bijaksana. Namun karena takdir dan kutukan sialan kau harus terjerumus padaku, lelaki brengsek yang merenggut kebahagiaan serta kebebasanmu."
Rose mencengkram erat ujung bajunya, badannya menegang, mulutnya hendak berucap, rasanya mulut tajam wanita itu sudah amat gatal untuk mengeluarkan ucapan yang sudah tersarang di kepalanya. Namun belum juga ia bersuara, Jeon sudah kembali berucap dengan tegasnya.
"Kedua! Sampai saat ini bahkan aku belum tahu, apakah kutukan ini akan hilang atau melekat padaku selamanya, siapa yang tahu huh?"
Ya, benar. Siapa yang tahu kutukan itu akan hilang atau tetap melekat? Tetua yang menyumpahi mereka bahkan sudah binasa, dan jangan lupakan tentang kedua desa yang kini bersitegang dan saling dendam. Rasanya tak akan ada informan yang akan memberikan penjelasan pada Jeon maupun Rose terkait kutukan yang sekarang mereka tanggung. Sudah berkali-kali Jeon mencoba menghilangkan kutukan ini, namun nihil. Beberapa orang pintar tak ada yang mengetahui dan tak ada yang bisa menghilangkannya. Kini hati kecil Jeon seolah meyakini, bahwa kutukan ini akan ia bawa hingga ajalnya.
"Aku tak tahu, sungguh.. apa yang harus kulakan Jeon?" lirih Rose, suaranya terdengar bergetar dan begitu parau.
"Tak ada, cukup tetaplah disampingku, hiduplah dengan bahagia, tanpa tersakiti sedikitpun, kumohon."
Rose terpejam saat merasakan kecupan dipundaknya, hembusan hangat dari nafas Jeon begitu membiusnya. Kalimat yang baru saja lelaki itu utarakan pun begitu menghanyutkan perasaannya, kini hatinya disergapi rasa bimbang. Kebimbangan yang belakangan sering Rose rasakan. Tentang status apakah yang sekarang ia dan Jeon sandang?
Simbiosis Mutualisme?
Jeon memanfaatkan Rose untuk kekuatan dan memberinya tenaga, Rose memanfaatkannya pula untuk ikut bertarung dan ikut serta merampok. Mengabulkan impiannya yang sangat ingin menjadi petarung wanita yang tangguh.
Namun apakah hanya akan sebatas saling memanfaatkan saja? Apakah tak akan ada rasa lain nantinya?
Mata Rose terbuka, menatap langit mendung diatas mereka, Jeon masih setia mengecup dan mengendus pundaknya. Pikiran Rose berkelana, dulu ia dan Jeon tak begitu dekat, hanya sekedar seorang lelaki dan perempuan yang tinggal didesa yang sama. Karena Ayah Rose adalah panglima Perang sekaligus Ketua Suku, mereka sering bertemu ketika Jeon berkunjung kerumah. Namun tak ada perasaan apapun, Rose bahkan tak sering melirik Jeon hanya untuk sekedar mengagumi ketampanan lelaki itu. Mereka adalah orang asing yang tidak saling mengenal sedalam itu. Namun siapa sangka? Sekarang mereka sering berbagi kehangatan diatas ranjang, saling meneriaki nama dan berbagi keringat. Tuhan begitu sesuka hatinya menyatukan mereka kedalam ikatan tak kasat mata, bahkan sampai sekarang tak ada ucapan apapun yang mematenkan hubungan mereka.
Jangan sampai ada perasaan lain, jangan sampai.
######
Seorang lelaki dengan tatapan tajamnya kini menatap hamparan laut dihadapannya dengan ekspresi datar. Tidak ada raut apapun disana, hanya sesekali memicing saat angin menepa wajahnya. Di kanan dan kirinya ada sepasang wanita yang tak henti memijat lengan kekarnya, menyuapinya dengan buah-buahan, bahkan dipangkuannya kini seorang wanita bergelayut manja, menyenderkan kepalanya didada bidang lelaki itu. Namun lelaki itu tak berekspresi sama sekali, seakan patung yang tak berperasaan dan bernyawa.
"Tuan... kau tak mau bermain?" wanita yang duduk dipangkuan lelaki itu mengusap rahang lelaki itu dengan lembutnya. Jari-jari tangannya terarah mengusap bekas luka sayatan pada sudut bibir lelaki itu. Tidak ada raut geli maupun ketakutan dari wanita itu, seakan sayatan itu begitu sexy tercetak disana.
Lelaki itu memilih untuk bergeming, tak ada pergerakan selain bernafas, membuka mulut dan mengunyah, hingga setelahnya terdengar langkah kaki tergopoh mendekat kearahnya.
"Pasukan sudah siap siaga, bala bantuan dari desa sekutu sudah sampai tujuan, tuan Vante."
Lelaki yang sedari tadi tak berekspresi itu menyunggingkan senyuman lebar, menyeringai lalu menatap lelaki yang membungkuk disampingnya.
"Berita bangus! Kali ini tak ada lagi kegagalan, kau akan kehilangan kepalamu jika pekerjaan ini tak beres. Pergilah!"
Lelaki itu kembali membungkuk dalam, lalu berjalan setengah berlari meninggalkan sang tuan.
"Mari kita bersenang-senang gadis-gadis" seru lelaki bernama Vante itu dengan seringaiannya.