Chereads / The Curse of Warlord / Chapter 3 - Kutukan

Chapter 3 - Kutukan

"Berhenti ikut merampok!"

Rose tersentak saat suara berat ayahnya memecah keheningan, suasana hangat akibat api unggun seketika menjadi dingin. Lelaki penuh wibawa dihadapannya kini menunduk memainkan pedang rose yang kini sudah bersih tanpa noda.

Dua buah pedang yang hanya dimiliki rose, karena nama rose terpatri di sana, Ayahnya lah yang memberinya sebagai hadiah atas keberhasilannya dalam berlatih pedang. Sekaligus sebagai bekal untuk rose mengembara mengikuti pemuda desa untuk merampok. Namun pedang itu kini kembali berada pada tangan sang pemberi.

Ayah rose yang bernama Christ—sang kepala suku, ketua desa—menatap Anaknya tajam, wanita itu masih menunduk tak berani menatap Ayahnya, begitulah ketika ayahnya murka, Rose akan menciut. Christ dengan kemarahannya adalah hal yang dihindari warga desa, begitupun Rose. Ini salahnya, itulah mengapa Rose tak berani membantah, karena sekalinya dia membantah, layangan pukulan demi pukulan akan mengenai badannya. Sekejam itulah sang panglima perang pada Anak satu-satunya ini.

Namun kekejaman Christ tidaklah semengerikan itu, ia adalah Ayah yang baik jika sang putri tak berulah. Beda cerita jika Rose melakukan tindakan gila yang membahayakan nyawanya.

Tatapan tajam Christ melunak, matanya menatap kening putrinya yang dibalut kain putih, lengan terbuka Rose juga menampilkan dua balutan bekas sayatan yang sebenarnya ikut menyayat hati Christ begitu dalam.

"Panggil Jeon kesini! Dan kau istirahatlah!"

Rose menatap ayahnya sendu, namun lelaki itu kini tak menatapnya, ia kembali sibuk mengasah pedang Rose dengan teliti.

"Ayah.." lirih Rose.

Tak ada jawaban dari sana, dan Rose memberanikan diri mendekati Ayahnya yang pasti masih dibaluti amarah.

"Aku tak bisa berhenti, Jeon selalu membutuhkanku " tangan Rose terulur menangkup punggung tangan Christ yang masih sibuk mengasah pedang.

Pergerakan Christ terhenti saat menangkap ucapan Putri kesayangannya, perlahan ia menatap mata Rose, dan guratan amarah kembali menyelimuti raut wajahnya.

"Cepat panggil Jeon kesini!" Tegasnya.

Rose sempat memejamkan matanya karena terkejut akan teriakan Christ, namun ia kembali membuka mata dan mengecup lembut pipi sang panglima perang.

"Baik Ayah."

Rose segera berlalu meninggalkan Christ yang kini menghela nafas panjang, menatap punggung anaknya yang menjauh. Rose adalah segalanya baginya, setelah istrinya meninggal karena melahirkan Rose, ia tak membagi perhatiannya kepada yang lain, hanya Rose lah fokus utamanya. Walau ia adalah panglima perang, namun tetap Rose lah yang menjadi prioritasnya, apapun akan ia lakukan untuk keselamatan putri tercintanya.

Walau memang Christ mengakui jika caranya mendidik Rose sangatlah salah. Sejak kanak-kanak, Putri lugunya sudah ia paksa untuk mengenal bela diri, senjata, bahkan banyak luka lebam dan rasa sakit. Semua ia ajarkan untuk menjadi tameng ketika ia tak dapat melindungi Rose, namun mengapa sekarang Christ menyesal? Ia begitu menyesal mengapa ia memberikan didikan yang keras pada Putrinya, hingga Putri lugunya kini menjadi wanita tangguh yang bahkan tak takut mati.

Bukankah segala bekal yang Christ beri untuk membuat Rose dapat membela diri? Namun sekarang Christ menentang Rose untuk menyalurkan bela diri itu. Tentu saja Christ menentang, karena bela diri yang dilakukan putrinya adalah untuk mengikuti kegiatan merampok. Kegiatan membahayakan yang sampai detik ini belum bisa mereka hentikan.

Putrinya harus selalu turun ke medan perang, menjadi wanita satu-satunya yang mengikuti para penduduk untuk merampok. Bagai dunianya hancur, Christ dibuat hampir gila karena Anaknya yang terseret kutukan. Kutukan yang selalu membuat Putrinya harus terikat.

Klanggg

Dilempar pedang Rose hingga mengenai batu, hati Christ rasanya hancur. Kembali mengingat saat mendiang Istrinya berpesan untuk menjaga putri mereka dengan nyawanya, namun kini ia seakan sedang menceburkan Putrinya ke lembah kematian tanpa perlindungannya.

Tak ada pilihan, desa ini akan hancur tanpa adanya perwakilan sebagai panglima perang. Desa ini adalah incaran, berkat kesuksesan merampok, semua musuh seakan menargetkan desa mereka. Ibarat kata, jika desa itu lengah dari pengawasan, para musuh akan bepesta dengan menjarah tempat tinggal Christ dan penduduk desa. Karena itulah Christ menetap untuk menjaga Desa, dan mengerahkan perwakilan untuk menjarah. Menunjuk seorang calon panglima perang, dan tak ada yang lebih pantas selain Jeon.

"Ketua suku.."

Christ menaikkan pandangannya dan menatap sosok Jeon yang kini berdiri disebrangnya. Hanya api unggun kecil yang menjadi penghalang mereka berdua dibawah langit gelap yang begitu cantik dengan ribuan bintangnya.

Helaan nafas keluar dari mulut Christ, dagunya mengisyaratkan Jeon untuk duduk disebrang api unggun dihadapannya. Jeon menurut dan duduk disebrang api unggun panas itu, dengan kepala yang menunduk tak berani menatap panglima perang sekaligus ketua suku dihadapannya.

"Kau tak tergores sedikitpun." sindir Christ saat melihat Jeon yang baik-baik saja, sedangkan Putrinya pulang dengan luka dimana-mana.

"Maafkan aku ketua, aku datang telat... mmhhhh" Jeon menggeram tertahan saat keningnya merasakan pukulan kencang.

Sebuah batu berukuran sedang terlempar mengenai keningnya, pendaratan yang tepat sasaran hingga menimbulkan denyutan ngilu disana.

"Bodoh! Kau yang bodoh! Begini mau jadi panglima perang hah?!!"

Jeon mengatupkan rahangnya, memang dia salah, panglima perang harusnya yang menjadi ketua dan mengatur pasukan. Namun ia datang terakhir, bahkan setelah pasukannya tumbang, tentu saja sangatlah pantas jika Christ murka. Rasanya batu tak cukup untuk menegur Jeon, mungkin satu hunusan pedang atau anak panah cukup untuk membuatnya merenung.

"Kemana kau sampai telat? Jangan merasa bangga hanya karena kalian memenangkan perang dan pulang dengan harta. Banggalah saat kalian pulang tanpa ada nyawa yang melayang!"

Kembali Jeon tertumbuk batu, namun kali ini batu tak kasat mata lah yang menumbuk ulu hatinya. Teguran yang selalu tajam dari mulut tajam Christ, dan selalu membuat Jeon tak berkutik, aura dan wibawa Christ tidaklah ada tandingannya. Bahkan Jeon pun merasa tak pantas dan merasa tak mempunyai apa-apa saat berada disekitar Christ.

"Panggilan alam." cicit Jeon. Yang mendapat decakan kesal oleh Christ.

"Jadi kau menjamah putiku setelah mengeluarkan kotoran? Sialan!"

Lagi-lagi christ melempar batu kearah jeon, namun ukurannya lebih kecil, tetapi tetap saja Heon dibuat kesakitan, walau hanya ia tahan, gengsi kalau ia harus mengaduh.

"Apa pembelaanmu untuk luka Rose?"

Jeon menaikkan pandangannya menatap Christ, ia menjadi serius saat membahas tentang Rose, wanita yang harus terseret akibat kutukannya.

"Akan kupastikan luka itu tak akan ia dapat lagi. Jika dia pulang dengan luka, aku siap mendapat luka yang sama dengannya." ucap Jeon mantap.

"Berapa kali kau menidurinya?"

Mata Jeon membulat, ekspresi panik menjalari wajah dinginnya, dan tanpa sadar ia menggigit bibir bawahnya.

"Aku tak menghitung."

"Keparat!"

Christ meraih pedang milik Rose dan kembali mengasahnya dengan semangat, mulutnya berkali-kali berkomat-kamit, mengumpat dengan kasarnya.

"Setidaknya aku harus menyayat kulitmu untuk membalas kebejatanmu!"

Jeon hanya menyengir ngeri, wajahnya kini pasrah, karena memang benar jika dirinya adalah bejat yang meniduri Rose berkali-kali. Bahkan dia lah yang mengambil kehormatan Rose, putri seorang Christ sang panglima perang sekaligus ketua suku.

######

"Jeon..." Rose menghampiri Jeon yang masuk kedalam rumah dengan menutupi lengannya yang berlumuran darah.

Segera Rose berlari kearah meja yang berisi obat racikannya yang ia gunakan untuk mengobati lukanya tadi. Setelahnya ia berjalan mendekat kearah Jeon yang sudah duduk dikursi dengan lemasnya.

"Ayah?" Lirih Rose saat memeriksa luka Jeon yang kini meringis menengadah menatap atap rumah.

Tak ada jawaban, Rose pun hanya diam dan membersihkan luka sayatan Jeon dengan telaten, membubuhkan obat racikannya dan menutupinya dengan kain.

"Berhentilah ikut menjarah, akhhh.."

Rose menatap Jeon tak suka, bahkan kini ia sengaja mengikat kain itu dengan kencangnya, hingga Jeon mengaduh kesakitan.

"Aku akan tetap ikut!" Tegas Rose.

Jeon menggeleng lemah, tangannya terulur menyentuh rambut Rose, namun Rose menepisnya kasar, emosi memuncaki gunung kesabaran Rose.

"Pergilah!"

Dengan wajah kesal Rose menjauh, meringkuk keatas ranjang dan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut tipis. Mood yang baru saja ia perbaiki seketika kembali hancur. Kala dua orang penting itu memintanya berhenti melakukan hal yang amat ia sukai.

Persetan dengan gender! Rose tak masalah dengan lukanya, Rose tak masalah dengan kutukan yang harus ia terima sekarang. Yang pasti Rose hanya ingin melakukan hal yang ia sukai, memberikan harapan hidup untuk warga desa.

"Pikirkan baik-baik" diusap selimut yang menutupi badan Rose.

"KALAU AKU TAK IKUT KAU AKAN MATI KEPARAT SIALAN!" Teriak Rose, matanya nyalang menatap Jeon. Kini ia sudah terduduk dengan dada yang naik turun karena kekurangan pasokan udara.

"Brengsek!" Teriak Rose lagi, saat lelaki dihadapannya hanya tersenyum tipis

Apa-apaan reaksinya itu?!

Bugghh.. bughhh...

Berkali-kali Rose memukul lengan, dada, serta apapun untuk meluapkan kekesalannya, dan yang menjadi sasaran adalah lelaki dihadapannya ini, sumber kekesalannya.

Rose bukanlah wanita yang lemah, ia tak semudah itu menangis seperti wanita lain. Alih-alih menangis, Rose lebih lega jika meluapkan kekesalan dengan melayangkan pukulan pada sesuatu. Kini pukulannya malah semakin kencang saat Jeon memeluknya erat.

"Lepas!!!" Berontak Rose.

Namun Jeon masih diam membatu, hanya beberapa kali meringis saat pukulan rose terasa tepat sasaran mengenai posisi yang buruk.

"Lusa kita tanding! Jika aku kalah, aku akan melepas pedangku..."

Jeon melepaskan pelukannya saat Rose menghentikan pukulannya, ditatap wajah Rose dengan ekspresi datar, namun sorot matanya hanya fokus pada Rose saja.

"Jika kau yang kalah, jadikan aku ketua regu."

"Jadi malam ini kita akan bercinta?" Jawab Jeon dengan seringaian.

"KEPARAT!!!!"