Telepon dari Ferdy terputus begitu saja ketika aku memberitahu jika berada di apartemen Arion. Aku lalu menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.
"Telepon dari siapa?" tanya Arion yang sedikit aneh melihat keningku berkerut saat menyimpan ponsel.
"Dari Mas Ferdy."
"Mau ngapain dia?"
"Mau ajak ketemu Mas."
"Untuk?" Arion masih lanjut bertanya. Ini mereka saudara tidak sih, kenapa saling mencurigai begini?
"Lanjutan desainnya Mas." Padahal di awal aku sudah memberitahunya, tetapi masih ditanyakan kembali. Begini banget ya orang super sibuk, cepat melupakan hal remeh temeh.
"Masih banyak waktu ini kok dia buru-buru banget gitu sih," ucap Arion dengan nada menggerutu tepatnya. Alisnya jadi menyatu. Rada seram juga melihatnya.
"Mas mau obrolin apa sih?" tanyaku mengalihkan topik mengenai telepon Ferdy.
"Kenal Ferdy sudah lama?" tanya Arion. Masih saja berlanjut tentang Ferdy. Tetapi tentu saja aku tidak bisa menyuruh Arion untuk mengganti topik pembicaraan mengenai Ferdy secara mereka saudara.
"Ketemu pertama kali waktu mau desain boothnya Mas." Arion menatapku tanpa ekspresi. Tapi memang ia selalu begitu seingatku. Belum pernah aku melihatnya tertawa lepas, tersenyum pun hanya berupa seringai saja. Seperti bibirnya itu susah untuk membuka. Jangan tanya omongannya, sangat terbatas. Makanya aku juga heran, sejak menjemput paksa tadi, ia banyak mengeluarkan kata-kata lho. Mungkin saja pada dasarnya ia juga banyak omong, tetapi terbatas pada orang yang sudah ia kenal dekat.
"Tapi kok kalian seperti sudah lama kenalan begitu saya lihat." Tuh kan, masih berlanjut. Pasti ia akan mengulik terus nih, pikirku.
"Mungkin karena Mas Ferdy tahu aku sepupunya Rannu jadi berasa dekat aja gitu," ucapku dengan santai.
"Rannu? Sounds familiar." Kulihat Arion berusaha mengingat nama Rannu.
"Oh, Rannu pacar Ferdy yang dulu?" tanyanya setelah merasa sudah menemukan apa yang coba diingatnya tadi.
"Iya Mas." Tetapi aku malah jadi khawatir jika ia menyeretku juga karena masalah keluarga Rannu yang menolak lamaran Ferdy.
"Kamu tahu juga dong kalau dulu keluarga Rannu menolak Ferdy?" Akhirnya yang kukhawatirkan terjadi juga.
"Saya malah tahu setelah bertemu Mas Ferdy. Memang ibu saya dan ibu Rannu saudara Mas, tetapi keluarga saya jauh di bawah keluarga Rannu. Keluarga kami tuh sederhana aja Mas. Jadi saya juga nggak tahu jika ada kejadian itu." Aku tidak membela diri, tetapi memang faktanya seperti itu.
"Saya nggak menyinggung lho mengenai perbedaan status Sandri. Tetapi yang saya nggak pahami, mengapa mereka menolak Ferdy hanya karena keluarga kami tidak utuh? Sebegitu parahnyakah jika keluarga memilih berpisah karena alasan tertentu? Kami juga masih bisa membuktikan jika perpisahan tidak membuat kami hancur tetapi bisa berhasil seperti saat ini." Ia menarik napas. Aku tahu setiap ucapan ada emosi yang berusaha ditekannya. Aku sangat paham kondisinya.
"Kami bisa seperti ini karena bekerja keras Sandri. Memang Opa dari pihak Mama yang membackup kami, tapi kami juga nggak santai, tetap berusaha. Orang luar hanya melihat hasil akhirnya saja, mereka nggak tahu bagaimana kami menjalaninya." Aku terhenyak dengan penuturannya.
"Maaf Mas. Bukan hanya Mas Ferdy saja yang kecewa, tetapi hal yang buruk juga dialami Rannu dan berakhir ia dirawat di rumah sakit jiwa."
"Gimana Sandri?!" Arion terkejut dengan ucapanku.
"Yang biasa saja jenguk di rumah sakit jiwa itu Rannu, Mas." Wajahnya pias. Aku tahu ia tidak menduga ucapanku tadi.
"Jadi Rannu yang di rawat di sana? Sudah berapa lama?"
"Sudah tiga bulan Mas."
"Ferdy tahu?" tanyanya kemudian.
"Tahu Mas. Biasa jenguk juga kok."
"Dulu, saat keluarga Rannu menolak Ferdy, ia stress juga. Tetapi Mama yang selalu menguatkan agar dia dengan ikhlas melepaskan Rannu. Mungkin karena itu, sampai sekarang dia tetap aja sendiri."
"Kondisi Rannu sekarang gimana?"
"Lumayan membaik sih Mas."
"Syukurlah."
"Mas, saya pamit ya." Cukup lama aku berada di apartemennya.
"Saya belum selesai ngobrol lho Sandri," ujarnya. Ampun, ternyata masih ada hal lain yang akan ia obrolkan. Terdengar pintu diketuk. Arion mendesah lalu berderap ke pintu untuk membukanya. Saat pintu dibuka, Ferdy muncul dengan raut wajah yang sulit kuartikan. Ada rasa khawatir di sana, atau cemas? Begitu masuk, Ferdy langsung mendekat ke tempat aku duduk. Ia tidak menoleh pada Arion yang terlihat kesal dengan kedatangannya.
"Kamu baik-baik aja kan Sand?" Pertanyaan yang membingungkan. Ferdy agak membungkuk dan memperhatikanku dengan saksama. Lha, tentu saja aku dalam kondisi yang sangat baik. Belum ada yang berbeda, masih tetap sama seperti terakhir kali Ferdy melihatku di kantornya.
"Datang-datang kok pertanyaan lo aneh begitu sih!" Arion protes dengan pertanyaan Ferdy yang ditujukan padaku tadi.
"Mas, Sandri ini sepupunya Rannu dan dia nggak tahu apa-apa mengenai kejadian yang dulu itu." Ferdy menegakkan badan dan berbalik menghadap ke Arion yang sudah kembali duduk di sofa yang berhadapan denganku.
"Sandri sudah cerita kok." Ferdy kembali menatapku dengan kening berkerut. Ia mungkin tidak menyangka jika masalahnya dengan Rannu telah kami obrolkan tadi sebelum ia datang.
"Kamu cerita Sandri?" tanya Ferdy memastikan apa yang diucapkan Arion benar.
"Iya Mas."
Setelah ucapanku, Ferdy duduk di sofa panjang yang berada di samping aku dan Arion. Ia menarik napas, kelihatan lega. Entahlah ia mencemaskan apa, aku tak paham. Tetapi melihat gelagat dua bersaudara ini, sepertinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Tapi aku tidak ingin berspekulasi lebih jauh. Jika memang ada rahasia, biarlah mereka saja yang tahu. Aku juga baru mengenal mereka belum lama. Dan sebaiknya aku tidak terlibat urusan yang bukan urusanku. Akan lebih aman tentunya.
Mengingat perkataan Arion tadi jika orang luar hanya melihat hasil akhirnya saja, pendapat ini sangat bisa dipahami. Kadang kenyataan memang seperti itu. Orang tidak pernah melihat perjuangan mencapai hasil akhir tersebut. Jadi sering mereka beranggapan jika mereka yang sudah berkehidupan super menyenangkan tentu saja tidak paham dengan kesulitan orang lain, padahal mungkin saja mereka juga pernah di posisi tersebut dahulunya. Seperti Arion dan Ferdy, jika melihat umur mereka yang masih terbilang muda walaupun sudah melewati 30 an, terbilang cukup sukses. Terlebih Arion. Pria itu sangat mapan hidupnya. Namun ada hal yang masih kurang, keduanya belum menikah. Kalau Ferdy masih sendiri, mungkin sesuai info Arion tadi, karena masih trauma dengan kejadian bersama Rannu. Arion bagaimana? Apa sih yang kurang padanya?
"Lo kenapa sih harus nyusul Sandri ke mari? Ada yang aneh jika Sandri ke tempatku?" tanya Arion ke Ferdy setelah kami lama terdiam, larut dengan pikiran masing-masing.
"Nggak ada yang aneh, tetapi tolong jangan libatkan Sandri dalam masalah Mas."
Masalah kata Ferdy? Ini masalah mengenai apa sih? Aku semakin tak paham dengan dua bersaudara ini.
"Lha, gue nggak libatin Sandri apa-apa lho. Gue ajak ke sini juga karena nggak sengaja. Sandri capek dan tertidur tadi di mobil. Jadi gue bawa aja ke sini karena tempat ini yang cepat bisa gue jangkau. Lo terlalu jauh mikirnya."
"Ada masalah apa sih Mas?" Aku bertanya pada Ferdy. Ia menatapku sebentar lalu beralih menatap Arion.
"Nggak ada Sandri. Dia aja nih mikirnya rada aneh." Arion yang menjawab pertanyaanku. Tetapi aku melihat Ferdy masih tetap menatap kakaknya. Seolah mata mereka yang berbicara agar aku tidak mengetahui permasalahan mereka.
"Lo pulang aja, gue masih mau ngobrol dengan Sandri," lanjut Arion pada Ferdy. Suaranya cukup tegas.
"Mas?" Ferdy enggan bergeser dari tempat duduknya.
"Kenapa? Lo masih ragu sama gue?" Kepalaku semakin mumet dengan obrolan dua bersaudara ini.
"Bukan ragu Mas, gue hanya ragu jika Mas kelepasan." Kelepasan? Ini kelepasan apa sih? Kepalaku jadi berputar mendengar kata-kata aneh yang dilontarkan Arion dan Ferdy.
"Mas Arion dan Mas Ferdy pada omongin apa sih?" tanyaku akhirnya.
"Omongin hal biasa aja kok Sand." Kali ini pertanyaanku dijawab oleh Ferdy. Tetapi tetap saja bukan jawaban itu yang aku inginkan.
"Ya sudah, lo pulang gih," perintah Arion.
"Sandri mau bareng nggak?" tanya Ferdy padaku. Seharusnya aku mengiyakan tetapi sebelum aku mengutarakan niatku, Arion sudah terlebih dahulu mengcounter pertanyaan Ferdy.
"Sandri masih di sini. Nanti gue yang antarin dia pulang. Lo tenang aja, Sandri bakalan pulang dalam keadaan baik. Gue pastiin itu ke lo." Mendengar ucapan Arion, Ferdy berdiri. Sebelum beranjak ke pintu, ia menoleh dan menatapku.
"Gue titip Sandri, Mas. Tolong jaga dia." Lalu ia meninggalkan aku dan Arion. Ucapannya sangat bersayap maknanya. Mungkin jika bertemu Ferdy, akan aku tanyakan maksud ucapannya. Juga mengenai hubungannya dengan Arion. Setelah Ferdy menghilang di balik pintu, Arion menghela napas. Sepertinya kehadiran Ferdy jelas membuat kegelisahan dirinya yang sempat aku amati tadi, berangsur-angsur lenyap.
"Nggak usah bingung dengan percakapan kami tadi Sand. Ferdy memang selalu khawatir jika ada wanita yang dekat denganku. Aku pernah berbuat kesalahan, lebih parah dari Ferdy, tetapi itu dulu."
"Oke Mas, itu privasi kalian." Arion menatapku seolah ingin mengatakan jika bersamanya akan baik-baik saja dan tidak perlu khawatir yang berlebihan seperti Ferdy tadi. Kami pun melanjutkan obrolan yang terhenti.
*****