Chereads / Pasti Ada Cinta Untukmu / Chapter 16 - PACU #17 Dipaksa Bertemu

Chapter 16 - PACU #17 Dipaksa Bertemu

Hari Sabtu pagi aku mengunjungi Rannu. Aku memang tetap rutin menjenguknya dan tanpa info ke yang lain. Selalu kuluangkan waktu bersamanya minimal dua jam dan berakhir dengan makan siang. Aku membawakan pakaian yang kubelikan untuknya dengan harapan Rannu menyukainya. Selain itu aku juga membawakannya beberapa makanan ringan dan minuman serta makan siang kami. Saat aku datang, ia sangat gembira melihatku. Aku tentu sangat bersyukur melihat perkembangan kondisinya yang sudah jauh membaik. Aku tidak lagi yang datang menghampirinya tetapi saat aku berjalan di koridor menuju taman yang biasanya menjadi tempat Rannu, langkahnya gegas menghampiriku.

"Sandri…" Langkahnya hampir saja tersandung griil gutter, pembatas antara koridor dan taman. Wajahnya terlihat ceria.

"Hallo Rannu. Gimana kabarnya hari ini?"

"Baik. Sandri bawa apa?" tanyanya sambil menunjuk paper bag yang aku bawa. Ia nampak antusias sekali. Ditariknya tanganku menuju bangku taman. Di situ sudah ada peralatan rajutannya. Sepertinya Rannu tadi sedang merajut. Kalau aku perhatikan, ia sedang membuat dompet. Keterampilannya semakin berkembang. Setelah kami duduk, aku memberikan paper bag padanya. Rannu langsung membukanya dan menjerit tertahan saking senangnya. Ya Tuhan, setelah sekian lama, akhirnya aku melihat lagi keceriaan di wajahnya.

"Ini buat Rannu?" tanyanya dengan mata berbinar. Aku mengangguk. Rannu langsung memelukku sambil mengucapkan terima kasih. Aku terharu, tetapi berusaha menahan tangis yang akan keluar. Jika denganku, Rannu terlihat sudah normal, aku berharap dengan lainnya pun ia juga bisa seperti itu. Tetapi aku ragu, karena sebulan setelah kejadian hari Sabtu yang lalu dengan Kak Arie dan Kak Lia, keduanya belum pernah lagi menjenguk Rannu. Tante Elis juga demikian. Lalu bagaimana dengan Ferdy, apakah ia juga tidak pernah lagi mengunjungi Rannu?"

"Ferdy datang jenguk Rannu nggak?" tanyaku dengan suara pelan, khawatir akan respon Rannu.

"Nggak pernah." Aku terkejut dengan jawaban Rannu. Rasa kesal menyergapku. Berarti setelah kejadian sebulan yang lalu itu, ia tidak pernah lagi menjenguk Rannu. Apa ini berarti Rannu sudah tidak ada di hatinya? Lalu yang ia ucapkan jika hanya Rannu-lah yang ia cintai itu, maksudnya apa? Tak sadar tanganku mengepal. Aku marah, tetapi aku bisa apa. Aku tidak punya hak untuk menagih ucapannya. Mereka tidak terikat apa pun. Jadi wajar saja jika Ferdy tidak punya tanggung jawab pada Rannu. Aku sedih melihat Rannu.

"Ferdy mungkin sibuk Rannu. Jika nggak, pasti dia datang jenguk Rannu kok." Aku hanya bisa menghiburnya dengan kata-kata. Rannu sudah kembali asik dengan rajutannya sambil sesekali tanganya mengambil makanan ringan yang kubawa. Kami lalu mengobrol diselingi tawa. Setelah itu kami makan dengan bekal yang aku bawa tadi. Jika memang Ferdy sudah melupakan Rannu, tidak mengapa. Aku hanya ingin Rannu sembuh dan bisa melanjutkan hidupnya seperti semula. Itu yang terpenting.

Ponsel di dalam tasku berdering. Aku enggan mengambilnya dan lebih memilih melihat keasikan Rannu merajut. Tangannya dengan lincah meliuk-liukan hakpen. Info dari Kak Ika, Rannu cepat paham jika diajari keterampilan ini. Ponselku kembali berdering. Aduh, siapa juga yang tak hentinya menelponku padahal aku sudah mengabaikannya. Daripada terganggu dengan nada deringnya, aku mengambil ponsel dari dalam tas. Aku terkejut melihat nama yang tertera di layar, Arion. Duh, baru juga bertemu sekali sudah main telepon saja. Aku jadi ragu menjawab teleponnya.

"Telepon dari siapa Sandri?" Rannu mungkin bingung melihatku yang tidak menjawab telepon.

"Dari teman. Sebentar ya…" Aku agak bergeser agar Rannu tidak terganggu dengan pembicaraan kami. Begitu aku menggeser warna hijau pada layar, suara berat itu langsung menyambutku.

"Sandri?" Lha, sudah tahu nomor ini punyaku, mengapa masih bertanya lagi? Memang pria aneh kakak Ferdy ini.

"Ada apa ya Mas?" Aku sudah tidak mengucapkan salam lagi tapi langsung bertanya tujuannya menelponku.

"Kamu di mana?"

"Ehh…?!" Benar-benar tipe pria tanpa basa-basi. Bukannya menjawab malah balik bertanya. Serasa aku ingin mematikan saja ponselku saking geram dengan sambutannya.

"Sandri, are you there?" Tuh kan, masih saja bertanya. Aku mendengus.

"Kenapa Mas?"

"Lagi di mana?" Masih saja ingin memastikan keberadaanku. Maunya kujawab sedang berada di dunia antah berantah, tetapi nanti dia tersinggung.

"Di luar rumah, Mas."

"Iya, di mana?" Aduh, apa iya teleponan kami hanya sebatas bertanya lokasi sih.

"Di rumah sakit."

"Rumah sakit mana? Kamu sakit?" Nada suaranya malah jadi khawatir begitu. Tahan, aku tidak boleh baper.

"Lagi jenguk keluarga kok Mas." Terdengar helaan napas lega di seberang sana.

"Share lokasi biar aku jemput kamu."

"Hehh… nggak usah Mas." Aku malah jadi panik. Gawat jika Arion ingin menjemputku. Sifat Ferdy dan Arion ini sama, suka memaksakan kehendak dan kadang tak bisa dibantah.

"Nggak apa Sandri, mumpung saya lagi di jalan jadi sekalian aja jemput kamu. Mau ya?" Suaranya sedikit lembut walaupun masih ada nada tegas di sana. Aku berpikir sejenak dan tidak menjawab pertanyaannya tetapi memberikan lokasi tempatku berada saat ini.

"Oke, tunggu di situ." Lalu telepon terputus. Aku kembali mendekat ke tempat Rannu.

"Sandri sudah mau pulang?" tanyanya saat aku membereskan bungkusan makanan yang sudah kami habiskan dan membuangnya ke tempat sampah.

"Iya, ada teman yang mau jemput. Rannu rutin minum obat ya biar cepat sembuh." Aku selalu sedih jika meninggalkannya.

"Iya Sandri." Aku memeluknya sebentar lalu pamit. Berjalan di koridor, kepalaku dipenuhi pertanyaan mengenai Arion. Bunyi notif pesan masuk ke ponselku. Aku membukanya, pesan dari Arion mengabarkan jika ia sudah dekat dengan lokasiku. Aku lalu bergegas keluar dari lobby dan memilih menunggunya di depan pos security. Tidak lama setelah aku tiba di depan pos security, bunyi klakson mobil terdengar lalu kaca mobil pengemudinya diturunkan, wajah Arion ada di baliknya. Aku lalu berjalan memutar dan membuka pintu penumpang yang berada di samping pengemudi.

"Siapa yang dirawat di sini?" tanyanya saat kami sudah meluncur di jalan.

"Sepupu saya, Mas." Aku enggan menjelaskannya lebih lanjut. Biarlah ia tidak tahu jika orang yang di rawat di sana adalah wanita yang dicintai adiknya. Walaupun saat ini aku ragu, apakah Ferdy masih mencintai Rannu atau tidak. Syukurnya, ia juga sudah tidak bertanya lagi.

"Kita mau ke mana sih Mas?" tanyaku saat melihat tidak ada tanda-tanda ia akan menjelaskan tujuannya menjemputku.

"Melihat lokasi booth yang saya minta kamu yang desain itu lho." Belum juga punya Ferdy selesai, Arion sepertinya juga mendesak desain ini segera dikerjakan. Jika memang aku kewalahan, aku akan meminta bantuan Dita.

"Tapi Mas, aku belum menyelesaikan desain buat Mas Ferdy, ntar nggak kepegang." Aku berusaha menolaknya dengan halus. Semoga saja ia peka dengan kalimatku tadi.

"Nggak buru-buru juga kok, santai, sebisanya kamu aja," jawabnya tanpa menoleh padaku. Dan kalimatnya ini menandakan jika desain ini memang harus aku yang mengerjakannya.

Kami tiba di sebuah mall yang cukup terkenal di daerah Jakarta Pusat. Aku malah baru sekali memasuki mall itu. Mall elit yang selalu dikunjungi kalangan atas dan selebriti. Aku tak bertanya dan hanya mengikutinya saja. Namun aku cukup insecure dengan penampilan kami. Aku yang hanya menggunakan pakaian kasual dengan sneaker, sangat jauh berbeda dengan pakaian yang Arion kenakan. Ia mengenakan kemeja yang dibalut blazer warna gelap dengan celana bahan dengan warna senada yang sangat pas di badannya. Ia berjalan dengan penuh percaya diri, sementara aku lebih banyak menunduk menghindari tatapan pengunjung.

Kami menuju lantai 2 dan berhenti di outlet tempat penjualan tas serta jam tangan merek luar. Merek yang hanya bisa kuimpikan bisa terbeli namun saat ini belum terealisasikan. Aku hanya sayang saja mengeluarkan dana yang cukup besar hanya untuk sebuah tas atau jam tangan sementara masih banyak kebutuhan lain yang lebih urgent. Tetapi bagi yang berpunya, merek itu bisa menunjukkan dari kalangan mana mereka berasal. Kami lalu masuk ke outlet tersebut. Saat masuk, para pelayan langsung membungkuk memberi hormat pada Arion.

"Nah ini booth yang akan saya renov."

Dasar orang kaya, booth yang terlihat sangat bagus itu malah mau direnovasi. Persis sama dengan kantor Ferdy yang belum lama di renovasi tetapi sudah mau ganti desain kembali. Atau ini strategi pemasaran agar pengunjung tidak bosan dengan suasananya? Aku tidak paham dunia marketing. Walaupun itu adalah keuntungan bagi para desainer, tetapi bagiku termasuk pemborosan.

"Ini kan masih bagus Mas, kok sudah mau renov?" tanyaku sambil memperhatikan beberapa detail serta lightingnya.

"Mau ganti suasana aja biar pelanggan kami nggak bosan." Benar, booth ini adalah miliknya. Bisnis keluarga Ferdy ternyata memang besar. Selain memiliki gedungnya, mereka juga termasuk salah satu pemegang merek luar.

"Saya boleh foto nggak mas?"

"Boleh aja, silakan." Aku mengambil beberapa foto yang kubutuhkan. Dari foto ini aku bisa menyusun konsep desain yang sesuai dengan keinginan Arion. Akan lebih baik lagi jika aku bisa mendapatkan desain awalnya. Arion dengan setia mendampingiku sementara aku sudah bergerak ke sana sini mengambil foto dengan kamera ponselku.

"Mas, ada gambar desain yang ini nggak?" tanyaku setelah selesai mengambil foto.

"Ada di kantor, ntar kita mampir," jawabnya sambil memperhatikanku dengan intens. Aku jadi gugup diperhatikan seperti itu.

"Nggak harus sekarang sih Mas, kapan-kapan aja." Aku memasukkan ponsel ke dalam tas dan bersiap untuk pamitan.

"Sudah selesai?" tanya kemudian setelah melihatku bersiap untuk pergi.

"Sudah. Saya pamit ya Mas."

"Jangan dulu. Kita mampir ke kantor dan saya antar kamu pulang." Kalimatnya tegas dan tak bisa dibantah.

Waduh, bakalan lama lagi bersamanya. Tetapi aku tahu, percuma membantah dan mencari alasan karena itu akan gagal juga. Kali ini aku tidak tahu alasan apa yang akan aku berikan kepadanya. Jadi aku menuruti saja permintaannya.

*****