Keesokan harinya, Abi sudah menerima telepon dari Hafa. Hafa memberikan informasi yang berhubungan dengan kejadian di studio kemarin.
"Orang suruhanku sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Tapi aku merasakan ada sedikit kejanggalan, meski tersangkanya sudah di dapat."
'Hmm, tebakanku pasti benar. Aku sudah menduga jika Fisa ada dibalik kejadian ini. Tinggal tunggu waktu sampai semua orang tau kebusukan Fisa. Aku pastikan jika dia tidak dapat mengikuti kompetisi ini sampai akhir. Aku tidak akan membiarkannya menang dalam kompetisi ini. Aku tidak ingin mempunyai model yang hanya ahli di bidangnya, karena bagiku cerdas saja tidak berarti jika tiada attitude yang pantas.' Batin Abi.
"Aku sudah menduga, pelakunya pasti Fisa. Aku tau jika wanita itu sejak dulu tidak pernah suka dengan Naya. Lalu apa yang membuatmu merasa janggal?"
"Sayang sekali, kamu salah. Pelakunya bukan Fisa."
"Apa? Bagaimana bisa? Bukankah segala bukti mengarah kepadanya? Aku juga sempat melihat dia berada tidak jauh dari lokasi kejadian. Ya, walau tidak begitu jelas, tapi aku yakin jika yang aku lihat itu adalah Fisa."
"Ini cukup rumit dijelaskan. Intinya, orang suruhanku yang menjadi tim penyidik dari kasus ini sudah menentukan tersangkanya dan bukan Fisa tapi-,"
Seseorang mengetuk pintu saat Hafa belum menyelesaikan kalimatnya. Abi minta kepada Hafa untuk menghubunginya kembali nanti. Saat ini Abi yang sedang di rumah sewaan serta dalam identitas palsunya menduga orang yang mengetuk pintu rumahnya adalah Naya. Hanya Naya dan Hafa yang tau rumah Adi. Abi yang sedang dalam penyamarannya sebagai Adi sudah menunggu kedatangan Naya sejak tadi.
"Baiklah, selamat menikmati identitasmu yang lain bersama gadis pujaan hati." Hafa dapat menebak siapa yang datang.
Abi ingin bertanya dari mana Hafa tau jika Naya yang datang? Bukankah dia tidak melihatnya? tapi itu tidak begitu penting sekarang. Abi menutup ponselnya. Lalu berdiri di depan cermin, merapikan penampilannya. Jangan sampai ia salah mengenakan pakaian dan membuat Naya kebingungan.
Abi berlari kecil menuju pintu, meski tangannya terasa sakit tapi Abi tidak sampai hati membiarkan Naya menunggu lebih lama.
"Hai, kamu datang akhirnya." Adi nampak senang melihat Naya datang.
"Kamu menungguku?"
"Tentu saja. Aku menunggumu untuk bertanggung jawab. Kamu sudah janji untuk mengganti perban lukaku."
"Hmm, aku pasti datang. Nasib baik Miss Ana memberiku izin untuk keluar." Naya bernafas lega.
Diam-diam Adi tersenyum. Tentu saja Naya mendapat izin. Itu semua karena Adi memintanya secara khusus kepada Miss Ana untuk mengizinkan Naya jika ingin pergi menemui Adi.
"Kenapa senyum-senyum? Kamu tidak percaya? Kamu pasti mengira jika aku akan ingkar janji? Aku bukan orang seperti itu."
"Aku tau."
"Tau? Dari mana?"
"Ehmm, kamu baru saja bicara," jawab Adi gugup. Ia kelepasaan.
"Kamu percaya?"
"Tentu. Karena aku bisa membaca pikiran orang?" Adi menunjukkan senyum khas pasta giginya dan sesekali membenarkan letak kacamata yang dipakai.
"Serius?" Naya menyipitkan matanya, menatap Adi dengan penuh selidik.
"Yups."
"Ok, sekarang katakan, apa yang sedang aku pikirkan?" Naya menguji pernyataan Adi.
Adi tersenyum, "Kamu pasti sedang mengagumiku."
"Pppffft," Naya menahan tawa. "Bercanda ya?"
"Aku serius, bukankah kamu bertanya apa yang kamu pikirkan? Itulah jawabannya."
"Tapi aku tidak sedang mengagumimu. Ah, kamu terlalu percaya diri."
"Percaya diri bagus. Lalu kenapa kamu terus menatapku jika bukan karena sedang mengagumiku."
"Hei, kamu sungguh-sungguh orang yang percaya diri tinggi. Kamu seperti Ab-" Naya tidak melanjutkan ucapannya, perlahan keceriaannya memudar.
"Ada apa? Seperti siapa aku? Kenapa kamu diam? Kenapa tidak dilanjutkan?" Mendadak rasa ingin tau Adi tak terkendali. Adi sangat ingin mendengar pendapat Naya tentang Abi, sisi lain dari dirinya.
"Bukan apa-apa, lupakan. Ngomong-ngomong, apa aku boleh masuk?"
"Ah tentu saja. Ayo masuk. Maaf membiarkanmu terlalu lama berada di depan pintu."
Naya masuk bersama Adi, mereka melanjutkan obrolan di ruang TV. Naya mulai merawat luka Adi, mengganti perban yang sudah tampak kusut. Naya bisa mengerjakannya dengan benar. Adi tidak heran meski kemarin Naya bilang tidak bisa melakukannya tapi buktinya sekarang dia mampu. Naya memang seperti itu, dia gadis cerdas, mudah paham dan rendah diri.
Saat SMA, Naya sering dimanfaatkan oleh teman-temannya karena kebaikannya. Walaupun teman-temannya itu hanya mendekatinya waktu butuh bantuannya saja. Sangat sedikit teman yang benar-benar tulus ingin dekat dengannya. Mungkin karena penampilan Naya yang kuno.
Naya berpenampilan sederhana bahkan banyak yang bilang kalau Naya itu itik buruk rupa yang tidak tau diri karena bergaul dengan pangeran sekolah. Yang dimaksud disini adalah Abi dan Putra. Mereka berdua sangat populer. Walaupun Abi juga berasal dari keluarga yang kurang mampu tapi tapi mempunyai modal yang cukup bagi dirinya untuk tidak mudah diremehkan oleh teman-teman yang lain. Abi tidak hanya tampan tapi dia juga pintar, itulah sebabnya dia banyak dikagumi ole teman-temannya.
Sedangkan Putra meski sikapnya Itu menyebalkan dan dingin tapi Putra juga tidak kalah populer, sebab Putra tampan, dari keluarga yang kaya, merupakan anak satu-satunya dari pemegang saham tertinggi sebagai donatur terbesar di tempat dia sekolah.
Abi tidak pernah mempermasalahkan penampilan Naya, itu jelas karena Abi mengutamakan kecantikan dari dalam bukan kecantikan yang ada pada bungkus luarnya.
Adi menatap Naya, ia masih penasaran dengan obrolan yang belum selesai tadi.
"Nay,"
Naya menghentikan kegiatannya dan langsung mengalihkan pandangannya ke Adi. Naya belum terbiasa dengan panggilan Adi tersebut. Cukup banyak kemiripan di antara Adi dan Abi sehingga Naya selalu mengira jika mereka adalah orang yang sama. Tapi jika itu benar, untuk apa Abi melakukan ini semua?
"Apa?" kata Naya yang sudah mengalihkan perhatiannya kembali ke luka Adi.
"Aku boleh tanya sesuatu?"
"Tanyalah."
"Erm, apa kamu pernah punya kenangan buruk dengan orang yang mirip denganku?"
Naya manatap Adi, ia terkejut dengan pertanyaan itu. Naya bingung harus menjawab apa, dia merasa gugup untuk berkata. Sebenarnya bukan kenangan buruk, hanya saja Naya belum bisa mengendalikan perasaannya. Naya masih penasaran dengan perasaan Abi. Abi menghilang setelah pernyataan cinta itu. Naya tidak tau kabar dan keberadaan Abi sekarang. Hal tersebut membuat Naya tidak tenang selama ini.
"Abi nama pria yang mirip denganmu. Dia teman SMA aku."
"Ya, aku ingat. Kamu mengira jika Aku Abi, waktu pertama kali aku menjadi fotografer di kompetisi ini."
"Ya, kamu benar."
"Apa kamu menyukainya?"
Naya menatap Adi dengan pandangan heran. Naya tak menduga Adi akan menanyakan hal tersebut.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Naya menjadi curiga.
"Karena kamu …"
Ada apa dengan Adi? Mungkinkah dia sudah tidak tahan untuk berpura-pura lagi?