Sepasang mata menatap tajam kearah Naya. Sorot matanya menunjukkan kebencian. Tangannya mengepal sampai urat nadinya terlihat. "Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus bertindak," gumamnya.
Adi memberi isyarat kepada Naya jika ini pengambilan gambar yang terakhir.
"Ok, satu lagi."
Cekrek!
Kriyetttt ...
Sraakk!
"Kyaaa ...!!!"
"Awas!" Teriak Adi.
Gubraak!!!
Debu bertebangan memenuhi udara dalam ruangan. Untuk sesaat keadaan ruangan tidak dapat terjangkau oleh penglihatan.
"Uhuk ... Uhuk ..."
"Kamu tidak apa-apa?"
Suara lirih terdengar di samping Naya, seperti suara Adi.
"Adi, itukah kamu?" tanya Naya sambil mengibaskan tangannya guna menyingkirkan debu yang menghalangi pandangan.
Suara orang-orang yang terdengar panik, saling memanggil untuk mengetahui kondisi yang lain. Keadaan cukup kacau.
"Ya, ini aku."
Sedikit demi sedikit debu menghilang, Naya dapat melihat Adi di dekatnya.
"Apa ada yang terasa sakit?" tanya Adi kepada Naya.
"Tidak, aku baik-baik saja."
Brak!
Adi menyinkirkan tiang penyangga yang mengenai bahunya.
"Ayo bangun, biar aku bantu."
"Terima kasih."
Naya menatap Adi yang terlihat sedang mengkhawatirkannya. Perlahan ia bangkit dan pergi ke tempat aman bersama Adi.
"Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Ayo keluar dari sini." Adi membawa Naya ke tempat yang lebih aman.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya staff yang berpapasan dengan mereka.
"Kami baik-baik saja," jawab Adi.
Adi dan Naya duduk di salah satu sudut ruangan yang lebih lapang. Para petugas segera menuju lokasi dan membereskan tempat kejadian. Untung para peserta yang lain sedang berada di ruangan yang berbeda dan hanya ada satu peserta yang seharusnya mengambil gambar setelah Naya. Nasib baik peserta itu tidak kenapa-kenapa.
Naya memegangi dadanya, ia cukup terkejut dengan kejadian tersebut. Sebenarnya sangat mustahil bisa terjadi kekacauan seperti ini.
"Aku pergi sebentar."
"Mau kemana?"
"Ambil minum untukmu."
"Tunggu." Cegah Naya.
"Ada apa?"
Naya menyentuh bahu Abi dengan hati-hati. Naya melihat ada darah di kain bajunya.
"Aku tidak apa-apa." Abi menghentikan tangan Naya.
"Tidak, aku harus melihatnya," Naya menatap Adi dengan serius.
Tanpa menunggu persetujuan Adi, Naya segera bangkit dan melihat keadaan bahu Abi. Naya menyentuh kain yang basah dan warna merah mulai merembes.
Ini benar darah. Naya menekan bahu Adi. "Apa terasa sakit?"
"Tidak," jawab Adi berbohong. Adi menyembunyikan rasa sakitnya karena tidak ingin membuat Naya merasa bersalah.
"Aku tidak percaya, lepas pakaianmu," Naya bersiap mengangkat ujung kain pakaian Adi.
"Nay," kata Adi cepat.
Naya menghentikan kegiatannya, ia menatap Adi dengan terkejut. Naya merasa familiar dengan nada suara dan sebutan nama tersebut. Dulu Abi selalu memanggilnya seperti itu. Mungkin ini momen yang sama, Naya pernah ada pada kejadian yang sama seperti itu dengan Abi.
"Ehmm, maksudku Naya," ucap Adi canggung. "Biar aku lepas sendiri."
Adi melepas pakaian atasnya, benar dugaan Naya. Bahu Adi cuma memar tapi lengan bagian atasnya ada luka gores dan terus mengeluarkan darah. Tanpa pikir panjang, Naya segera melepas kain yang ia gunakan sebagai bandana. Naya mengikat luka Adi menggunakan kain yang ia miliki. Berharap darah yang keluar bisa berhenti selama ia meminta kotak obat kepada kak Ana.
Naya datang bersama kak Ana, dialah yang mengobati luka di lengan Adi sebab Naya tidak berani. Naya berada di dekat Adi ketika ia diobati. Naya melihat luka goresan di lengan Adi cukup dalam. Kemungkinan akan membekas.
Naya kemudian izin kepada kak Ana untuk mengantar Adi pulang ke rumahnya. Adi menolak tawaran Naya, tapi Naya tidak mau dengar. Naya tetap bersikeras mengantar Adi pulang. Lagipula Adi bisa sampai terluka juga karena menyelamatkan Naya.
"Sekarang katakan, dimana alamat rumah kamu biar sopir taksi tau tujuan kita," tanya Naya.
Adi akhirnya menyebutkan alamat yang tadi diberikan oleh Hafa. Untung tadi Adi sempat bertanya kepada Hafa saat Naya pergi mencari kotak obat. Adi sudah mengira jika Naya akan menanyakan alamat rumahnya. Adi lega, karena begitu sampai di alamat rumah yang Hafa beritahukan, semua sudah siap. Keadaan rumah sudah rapi, seperti tempat tinggal pada umumnya. Hafa sengaja menitipkan kunci kepada penjaga di komplek tersebut.
Lumayan, rumahnya nyaman dan tidak terlalu dekat dengan rumah disekitarnya. Privasi Adi bisa terjaga.
"Ayo masuk," ajak Adi.
"Ok."
Naya mengikuti Adi masuk ke rumah yang tidak besar tapi fasilitasnya lengkap. Tidak banyak ruangan, hanya ada ruang tamu sekaligus ruang nonton televisi, dapur, dan pintu yang di dekat ruang tamu itu mungkin kamar Adi. Naya melihat keadaan di sekitarnya. Bisa dibilang rumah pria yang rapi dan bersih.
"Kamu tinggal sendiri?"
"Ya."
"Siapa yang akan merawatmu jika sedang terluka seperti ini? Siapa yang akan mengganti verban pada lukamu? Bagaimana dengan makananmu?" Naya nampak mengkhawatirkannya.
"Aku baik-baik saja, aku masih bisa pesan makan."
"Lalu siapa yang akan mengganti verban pada lukamu?"
"Ehmm, besok kamu bisa datang dan membantuku mengganti verban," pinta Adi ragu.
"Ah, aku ... Ehmm aku kurang bisa merawat luka, tapi baiklah besok aku datang."
"Kabari aku jika kamu akan datang."
"Ok, tapi tidak bisa janji karena aku harus izin kak Ana untuk bisa keluar Asrama. Kamu pasti tau kalau kami hanya bisa bebas keluar Asrama saat akhir minggu."
"Iya, Aku tau."
"Kamu mau minum? Biar aku ambilkan," Naya hendak menuju ke arah dapur.
"Tidak, aku tidak haus. Kamu duduk saja."
Naya melihat jam di ponselnya. "Aku tidak bisa lama, harus balik Asrama sekarang. Jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa, hubungi aku."
Naya menawarkan diri untuk membantu Adi. Kebetulan jarak antara rumah Adi dan Asrama tidak terlalu jauh.
"Nay." Adi menggenggam pergelangan tangan Naya saat gadis itu beranjak dari tempat duduknya.
Dada Naya berdebar, nada bicara dan sebutan itu selalu membuat Naya gagal fokus. Adi memang banyak kemiripan dengan Abi. Hah, aku masih merasa jika mereka adalah orang yang sama. Batin Naya.
"Terima kasih."
"Aku juga, terima kasih karena kamu sudah menolongku tadi. Aku bisa saja terluka jika tidak ada kamu."
"Hanya kebetulan aku juga ada disana. Namun, aku merasa ada yang aneh. Seharusnya latar belakang itu tidak akan jatuh , semua tiang penyangganya sudah diikat dengan kuat."
"Bisa jadi talinya telah melonggar karena sudah lama di pasang dan tidak di cek lagi untuk waktu yang cukup lama," Naya coba berpikir positif.
Adi hanya tersenyum. Ia lalu membiarkan Naya pergi. Adi tidak bisa menahan Naya lebih lama. Bagaimanapun juga, dia harus menaati peraturan yang ada.
Naya melambaikan yangan sambil tersenyum sebelum menutup pintu dan menghilang dari pandangan Adi.
"Hah, andai saja kamu bisa ada disini lebih lama. Aku akan senang. Aku bisa menatapmu lebih lama," Adi tersenyum, ia senang bisa dekat lagi dengan Naya.
Ohya, aku harus menghubungi Hafa. Sebaiknya aku minta seseorang untuk menyelidiki kejadian ini. Aku penasaran, apa ada seseorang yang sengaja melakukannya? Batin Adi.
Wah siapa nih? Ini murni kecelakaan atau sabotase? Hemm ...