Chapter 3 - •2• (Bantuan)

"Tentu saja aku akan membantumu. Tapi, sebelum itu aku harus melihat kondisi annabeth. Aku akan pergi melihat kondisinya besok pagi." Kata evellyn dengan sungguh-sungguh.

"Baiklah. Aku akan menunggumu.".

•The next story•

Sesuai dengan janjinya, hari ini evellyn pergi ke desa dimana, dia akan segera menangani kasus dari Annabeth Allison.

Di perjalanan, dia hanya memperhatikan jalan di depannya saja. Dia hanya hanya fokus untuk mememukan rumah lidya.

"Right...,village office...., and left." Ucapnya sembari membaca sekilas kertas yang ia genggam saat ini dengan nada suara pelan.

"Kemudian lorong sebelah kiri....., dan itu rumahnya." Lanjutnya lagi.

Saat ini evellyn sudah sampai di sebuah rumah yang lumayan besar, dan berada di pedalaman desa.

'Tok..tok..tok'

3 ketukan ia daratkan ke pintu, hingga seorang wanita paru baya membukanya.

"Hi, masuklah." Ucap lidya mempersilahkan evellyn masuk.

Evellypun masuk. Matanya menyapu seluruh sudut rumah ini. Agak berantakan.

"Maaf berantakan, akhir-akhir ini aku jarang membereskan rumah karena kondisi annabeth yang sekarang." Ucap lidya sambil menata sedikit bantal yang berada di atas sofa ruang tamunya.

"Iya lidya, aku mengerti." Ujar evellyn.

"Ohya, dimana annabeth?" Lanjut evellyn dengan bertanya.

"Dia diatas. Mari ku perlihatkan kepadamu." Ucap lidya lalu memimpin menuju kemar annabeth yang berada di lantai dua.

'Clek'

Lidya membuka pintu dengan perlahan.

Mata evellyn terbelalak melihat objek di hadapannya saat ini. Nampak annabeth dengan keadaan yang sangat kacau. Wajahnya yang pucat, rambut yang kusut, mata yang terlihat merah dengan kantung mata menyerupai panda. Begitulah penampilannya saat ini.

Disertai dengan kamarnya yang terlihat sangat berantakan. Sungguh, apa yang evellyn lihat saat ini, annabeth tidak terlihat seperti keadaan remaja pada umumnya.

Evellyn perlahan mendekati annabeth.

Annabeth kini sudah berada tepat di hadapannya. Evellyn membungkukkan dirinya lalu berlutut dihadapan annabeth, supaya dia bisa melihat jelas wajahnya.

Tangan evellyn kini sudah berlabuh pada pundak annabeth kemudian menepuknya, lalu diapun berkata.

"Hai annabeth."

Tidak ada jawaban sama sekali dari annabeth atas sapaan evellyn barusan.

"do you know who I am?" Lanjut evellyn, namun annabeth tetap diam seribu bahasa.

"Hei, annabeth? Apa kau mendengarku?" Tanyanya lagi.

Namun nihil, dia tetap saja tidak menjawab pertanyaan evellyn.

"Percuma kau berbicara dengannya. Dia tidak akan pernah menjawabmu." Ucap lidya dari ambang pintu.

Evellyn hanya membuang nafas berat kemudian bangkit dari tempatnya untuk, meninggalkan ruangan annabeth.

Langkahnya terhenti ketika kakinya menabrak sebuah benda yang tidak dia lihat sebelumnya. Iapun menunduk, dan melihat sepasang sepatu berwarna merah yang cantik. Evellyn pun membungkukkan badannya sedikit untuk meraih sepatu itu,namun terhenti ketika suara annabeth tiba-tiba mengagetkannya dari belakang.

"Jangan menyentuh sepatu itu!" Kalimat itulah yang tiba-tiba keluar dari mulut annabeth hingga mengagetkan evellyn.

Evellyn pun langsung kembali menegakkan dirinya lalu berbalik ke arah annabeth dengan mengernyitkan alisnya.

"Ada apa denganmu annabeth?" Tanya evellyn.

"Pergilah dari sini!" Balas annabeth dengan wajah yang terlihat benar-benar sangat marah.

Perlahan benda-benda di dalam kamar annabeth bergetar dengan hebat, hingga menjatuhkan beberapa benda yang berada di dalam kamar itu dan terpecah menjadi kepingan-kepingan yang tak terhitung.

Jujur,evellyn sangat terkejut dengan reaksi di sekitarnya saat ini.

Karena keterkejutan evellyn itu, dengan cepat ia langsung mengeluarkan tanda ke-agamaan yang ia gunakan di lehernya sebagai kalung,dan mengarahkannya kepada annabeth, untuk menghentikan hal-hal yang tidak wajar tersebut terjadi lagi.

Annabeth tiba-tiba, berteriak dengan kencang dan iapun langsung pingsan. Lidya yang daritadi hanya berdiri di dekat pintu, langsung berlari ke arah annabeth saat ia pingsan.

"Annabeth!--" lidya segera memeluk annabeth, kemudian mengangkat sedikit kepalanya.

"--hey honey, bangunlah!please!" lidya berkata penuh kasih dengan air mata yang menetes.

Annabeth terbangun dengan tersedak, dan langsung berkata.

"Please help me.." ucapnya lirih.

"Tentu saja aku akan membantumu" kata lidya dengan nada suara yang sedikit merendah.

"Apa kita bisa berbicara sebentar?" Evellyn berkata dengan menepuk pundak lidya pelan.

Lidyapun berbalik dan mengangguk pelan, kemudian mereka meninggalkan annabeth di kamar sendirian.

Suara deret pintu terdengar, menandai bahwa mereka sudah berada diluar kamar annabeth untuk membicarakan suatu hal.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" Tanya lidya.

"Aku ingin kau melepaskan annabeth.--"

lidya mengernyitkan alisnya bingung.

"--maksudku, kau harus membiarkan nya melakukan hal-hal yang dilakukan remaja pada umumnya, seperti bersekolah dan hal lainnya." Jawab evellyn.

"Maksudmu, kau ingin aku tidak mengurungnya lagi begitu? Oh, itu tidak mungkin" ucap lidya dan langsung disambar dengan perkataan evellyn.

"Why not lidya?"

"Tidak, jika aku melepaskannya, dia bisa menyakiti orang lain nyonya!" Lidya berkata penuh ketegasan.

"Dengarkan aku, jika kau terus membiarkannya seperti ini, dia pasti akan sangat tertekan. Kau tahu, jika seseorang dalam keadaan mental yang tertekan, roh lain yang berada di dalam tubuhnya akan menjelajahi jiwanya semakin dalam, dan akan membuatnya semakin tidak berdaya." penjelasan evellyn tersebut membuat lidya mengernyitkan alisnya.

"Ja..jadi apa yang harus kulakukan?" Tanyanya lagi.

"Lepaskan dia dan biarkan dia bebas.".

______