Chereads / PARANORMAL CASE (The Red Shoes Of Annabeth Allison) / Chapter 2 - •1• (Sepatu Merah)

Chapter 2 - •1• (Sepatu Merah)

"Aku membutuhkan bantuanmu nyonya." Ucap seorang wanita yang kira-kira umurnya 40 tahun.

"Baiklah aku akan membantumu. Tapi, apakah kau bisa menceritakan apa yang terjadi?" Tanya Evellyn.

"Anakku, Annabeth. Aku berpikir, ada yang salah dari dirinya" ucapnya lagi.

"Maksudmu?".

"Iya, itu semua berawal dari--"

-

•••Hari yang melelahkan. Itulah yang dirasakan oleh lidya allison bersama anaknya Annabeth Allison serta anak keduanya yang bernama Eric Jason . Hari ini mereka baru saja pindah ke Kota London, inggris.

"Mommy, aku akan membereskan kamarku" ucap gadis yang masih berumur 16 tahun itu. Dan hanya dibalas anggukan dari ibunya.

Diapun lagsung berjalan menuju kamarnya yang terletak di lantai atas. Dia sengaja memilih kamarnya diatas karena katanya, 'akan lebih enak, memandang langit malam jika berada di lantai atas'.

Saat sampai di atas, di ambang pintu dia hanya memperhatikan seluruh sudut ruangan ini. Agak sedikit kuno, pikirnya. Iapun langsung bergegas merapikan ruangan ini, mulai dari ranjang hingga lemarinya. Namun, Ada yang sedikit aneh, lemari yang itu bukanlah lemarinya yang dia bwa dari tempatnya dulu tinggal. Tapi, annabeth malah tidak terlalu memikirkannya. Dia hanya tahu, bahwa lemari yang ada di depannya saat ini adalah lemari yang akan dia gunakan untuk menyimpan pakaiannya.

Iapun membuka perlahan pintu lemari itu dan timbul-lah bunyi kretek khas bunyi kayu yang beradu dengan kayu yang berada di sisi lainnya.

Annabeth kembali memperhatikan isi lemarinya. Biasa saja. Tapi tunggu, ada yang mengganjal saat dia melihat ke dalam lemari itu. Sebuah kotak kayu dengan ukiran yang antik, terletak di bagian paling bawah dalam lemari tersebut. Ia hanya melihatnya saja dengan tatapan bingung, sebelum dia meraih dan mengambil kotak itu. Kemudian dia menutup pintu lemari tersebut, lalu berjalan beberapa langkah menuju kursi yang sudah terletak di dekat ranjangnya.

"Apa ini?" Ucapnya pelan. Ia melihat secara detail ukiran yang terdapat pada kotak tersebut. Kemudian ia mengelus permukaan kotak itu, agar debu-debu yang menutupinya hilang. Annabeth melihat seukir tulisan yang bertuliskan 'Claire'. Dia berpikir sejenak, mungkin pemilik kotak ini adalah seseorang yang bernama claire. Namun dia tidak begitu memperdulikan- nya.

Secara perlahan dia membuka penutup kotak tersebut, dan dia mendapati sepasang sepatu heels merah dengan pita di bagian pengikatnya. Cantik, gumamnya.

Ia lalu mengambil salah satu dari sepatu itu kemudian mencoba memperhatikan sepatu itu secara rinci. Benar-benar sangat indah, ucapnya dalam hati sembari dengan senyum yang terpampang di wajahnya yang cantik. Tanpa berpikir panjang lagi, annabeth langsung memakainya lalu berjalan turun untuk menununjukkan kepada ibunya apa yang dia temukan dalam kamarnya.

"Mom!mom! Where are you?" Ucapnya dengan suara lantang sambil berjalan turun.

"I'm here honey, in the kitchen." Jawab ibunya dengan berteriak juga.

Annabeth pun langsung berjalan ke arah dapur dengan tempo yang lumayan cepat.

"Mom, lihatlah apa yang aku gunakan. These shoes are beautiful, right?" Katanya dengan wajah yang sumringah.

"Yes honey, tapi.., darimana kau dapatkan sepatu itu?" Tanya lidya.

"Oh, ini aku temukan dalam lemari yang ada di kamarku. Aku pikir lemari itu, sudah ada bahkan sebelum kita pindah kesini." Jawab annabeth.

"Oh, okey, tapi lepaskanlah sepatu itu, kemudian kita makan malam dulu yah honey." Kata lidya dengan tangannya yang sibuk menyiapkan meja makan.

"Okey mom." Ucapnya disertai dengan anggukan yang semamgat.

*

Haripun sudah semakin larut, annabeth saat ini sudah berganti pakaian menjadi baju piyama. Dia kemudian membereskan sedikit tempat tidurnya sebelum beranjak ke atas ranjangnya itu. Namun, annabeth menghentikan langkahnya yang sudah ingin naik ke tempat tidur, saat melihat kembali sepatu merah itu.

'Ingin sekali rasanya kembali memakai sepatu itu' ujarnya dalam hati.

Annabeth berpikir sejenak, memikirkan apakah dia harus menggunakannya lagi atau tidak. Pikirannya mengatakan bahwa dia harus segera tidur, karena besok adalah hari pertamanya sekolah, namun disisi lain ada hatinya yang bergumam bahwa ia harus menggunakan sepatu itu lagi, karena sepatu itu memang sangatlah menawan.

I swear!.

"Baiklah aku akan menggunakannya sekali lagi" ucapnya pelan mengikuti kata hatinya.

Iapun berjalan menuju tempat sepatu, yang di letakkan di atas kotak kayu sepatu itu sendiri.

Dia meraih sepatu itu lalu annabeth menggunakannya lagi.

Kemudian dia berjalan sedikit ke arah cermin panjang sekaligus berukuran besar, yang dapat memantulkan dirinya secara menyeluruh,mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Saat sudah sampai di depan cermin, dia melihat pantulan dirinya menggunakan sepasang sepatu itu. Cantik. Hanya itu yang dia tahu.

Beberapa saat memakainya, membuatnya merasa ada yang aneh.

'Ada apa ini?' Tanyanya dalam hati.

yang membuatnya aneh adalah saat dia menggunakan sepatu itu, terasa ada yang menggerakkan kakinya, namun bukan dari gerakan yang ditimbulkan oleh tubuhnya.

Semakin lama, gerakan kakinya menjadi tidak teratur dengan gerakan kaki yang temponya makin cepat. Dia mulai merasa takut, dan berusaha untuk memanggil ibunya dengan teriakannya.

"Mom!mom! Help me!" Teriakan annabeth itupun ,membuat lidya dan eric terbangun dan langsung berlarian ke kamar annabeth.

Betapa kagetnya lidya, melihat anaknya itu berada di atas falpon dengan sepatu merah itu, yang haknya melekat di atas falpon dan menembusnya.

Lidya berteriak tatkala dia melihat anaknya yang tadi berada di atas, langsung jatuh hingga kepalanya berdarah.

"Annnabeth!" Ucap lidya lalu berlari ke arah annabeth.

*

Saat ini annabeth sudah berada di rumah sakit. Sedari kejadian tadi, annabeth belum sadarkan diri. Lidya hanya bisa meratapi anaknya yang kini masih terbaring lemah. Bukan hanya itu, lidya juga masih belum percaya dengan apa yang dia liat beberapa jam yang lalu, dengan apa yang terjadi pada anaknya.

'Ini tidak masuk di logika' ujar lidya dalam hati.

Lidya terus memperhatikan anaknya yang masih belum sadar juga dari komanya.

"Eric aku akan keluar sebentar." Ucap lidya lalu keluar, meninggalkan annabeth yang masih belum sadar dan eric yang sedang sibuk dengan ponselnya.

Eric: iya, aku saat ini masih menunggu kakakku yang sampai sekarang belum sadar. Apakah kau tahu? Apa yang terjadi semalam? Dia sangat aneh.

Saat ini eric sedang saling menukar pesan lewat ponselnya, dengan temannya yang berada di new york.

"Apa maksudmu sangat aneh?" Suara itu terdengar dari annabeth. Eric pun langsung menengok ke arah annabeth yang saat ini sedang duduk dan menatap ke arah pintu. Jujur saat ini, eric sangat takut di tambah lagi kakaknya itu yang tertawa-tawa sendiri.

"A...annabeth, What is wrong with you?" Ucap eric dengan nada suara gemetaran.

"Ada apa? Gara-gara kakakmu, aku kembali hidup dalam kebencian" kata annabeth yang terdengar dengan suara berbeda, disertai dengan tawanya yang sangat mengerikan.

Annabeth pun tiba-tiba berbalik ke arah eric disertai dengan senyuman mengerikannya.

Saat ini eric benar-benar sudah sangat takut apalagi saat annabeth mengambil sebuah pisau bedah yang berada di samping ranjang pasien annaneth.

Dengan sekuat tenaga eric berusaha memanggil ibunya. Namun tidak ada hasil, annabeth makin mendekat ke arah eric. Eric hanya bisa berteriak meminta tolong, tetapi itu semua tidak ada gunanya.

Pisau bedah yang di pegang annabeth kini sudah tidak ada di tangannya lagi, melainkan sudah tertancap di kepala eric sehingga menimbulkan pendarahan yang parah, hingga eric tidak bernyawa lagi.

Tepat di saat eric yang telah kehilangan nyawanya, lidya kembali dengan membawa dua gelas kopi yang dibelinya di kantin rumah sakit.

Gelas kopi yang tadi berada di tangan lidya, kini sudah jatuh hingga semua isinya sudah tidak berada di tempatnya.

"Oh..ohh no! Eric!" Teriak lidya.

Lidya langsung berlari ke arah eric dam menangis sejadi mungkin. Namun, apa yang terjadi? Annabeth malah ketawa semakin besar lalu mengatakan.

"Aku senang melihatnya!" Ucap annabeth di sertai tawanya yang semakin menjadi-jadi.

*

Rumah yang baru di tinggali lidya serta anak-anaknya itu, sekarang sudah menjadi rumah yang dipenuhi dengan kesedihan. Para tetangga lidya, perlahan semakin banyak yang berdatangan untuk mendoakan agar eric tenang di alam sana.

Saat para warga sekitar sudah semakin banyak mendatangi rumah duka, datanglah hendrick seorang polisi yang menangani kasus eric, yang dianggap sebagai 'kasus pembunuhan' oleh tersangka annabeth allison.

"Mrs. Allison, apa kita boleh bicara sebentar?" Tanya hendrick kepada lidya.

"Oh, of course sir." Jawabnya.

Lidya dan hendrick berjalan keluar rumah untuk membicarakan tentang kasus anaknya ini.

"Begini, nyonya, apakah anakmu annabeth itu memiliki gangguan jiwa? Maksudku, kau tahu, ini adalah kasus yang tidak biasa." Ucap hendrick.

"Ti..tidak pak, dia tidak memiliki gangguan jiwa." Ucap lidya atas pertanyaan hendrick tersebut.

"Oh begitu yah, ummm, dimana annabeth sekarang?" Tanya hendrick lagi.

"Annabeth, dia sedang berada dikamarnya. Tetapi aku memasungnya agar dia tidak melakukan hal semacam ini lagi". Jawab lidya.

"Oh iya, aku ingin memperlihatkanmu sesuatu." Ucap hendrick sambil mengulurkan tangannya mengarah ke dalam jaketnya, untuk mengambil ponsel yang dia simpan di dalam sana.

Hendrick memperlihatkan sebuah rekaman CCTV dari dalam kamar tempat annabeth di rawat, di sertai dengan tempat kematian eric.

Di rekaman tersebut, terlihat annabeth yang tiba-tiba terbangun dari komanya namun hanya memandang ke arah depan dan seperti berbicara, namun perkataannya itu tidak bisa di dengar.

"Kenapa kita tidak bisa mendengar apa yang dia ucapkan?" Tanya lidya.

"Itulah anehnya. Hanya kamera CCTV di kamar annabeth yang tidak dapat berfungsi dengan baik, namun di kamar pasien yang lainnya semua kameranya berjalan dengan baik-baik saja." Hendrick menjelaskan tentang ke anehan yang terjadi.

"Jadi, maksud anda?" Tanya lidya.

"Aku berpikir bahwa yang terjadi ini bukanlah hal yang dapat di tangani oleh manusia biasa. Oh dan ini, aku menemukannya di dekat ranjang pasien annabeth." Kata hendrick kemudian memberikan sepasang sepatu ber-hak warna merah itu kepada lidya.

"Aku memberi saran kepada anda, mungkin sebaiknya anda memanggil seseorang yang ahli dalam hal seperti ini." Lanjut hendrick .

Lidya hanya diam dengan wajah yang bingung.

"Panggilah evellyn matthew.". •••

-

"Makanya aku datang kepadamu. Aku sangat bermohon kepadamu, untuk membantu anakku. Aku tidak ingin, hal yang tidak di harapkan terjadi lagi." Ucap lidya dengan tangisannya yang semakin deras.

"Tentu saja aku akan membantumu. Tapi, sebelum itu aku harus melihat kondisi annabeth. Aku akan pergi melihat kondisinya besok pagi." Kata evellyn dengan sungguh-sungguh.

"Baiklah. Aku akan menunggumu.".

---