Sedaritadi, Vania hanya duduk dikursi luar rumah sakit tanpa mau masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Bahkan tanpa diketahui oleh kakaknya, sedaritadi dirinya keringat dingin semenjak mobil kakaknya telah sampai di tempat parkiran rumah sakit. Namun apa daya? Sesudah melihat rumah sakit, dirinya langsung bertambah lemas dan tak memiliki tenaga untuk melawan. Jadilah, dirinya hanya duduk di depan pintu masuk rumah sakit tersebut dengan menundukkan kepalanya karena bayang-bayang kenangan yang selalu membayanginya saat ia melihat rumah sakit.
Dan dirinya saat ini hanya duduk sendiri setelah dirinya tadi sempat dipaksa untuk masuk oleh kakak dan mamanya. Namun hal itu menghentikan keduanya saat mereka melihat wajah Vania menjadi pucat pasi. Jadilah hanya dirinya duduk dengan menundukkan wajahnya di depan kursi yang terdapat di depan rumah sakit, sementara kakak dan mamanya mengurus nomor antriannya.
"Kenapa harus ke rumah sakit sih? Aku benci dengan rumah sakit!" Gumamnya dengan menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.
Disisi lain, seorang pria sedang berjalan menuju pintu masuk yang berada tepat disisinya dengan kemeja berwarna birunya. Sesaat, Vania mendongakkan wajahnya yang lesuh tersebut tak sengaja matanya berpapasan dengan pria berkemeja biru tersebut berjalan seperti kearahnya.
Secara spontan tentu Vania membelakkan matanya saat melihat mata berwarna biru yang begitu indah yang tak sengaja menatapnya juga. Hal tersebut mampu membuat Vania melupakan phobia anehnya yang ia tak dapat kontrol tersebut. Pria bermata biru itu juga hanya tersenyum ramah saat matanya tak sengaja bertabrakkan dengan mata Vania.
"Selamat Pagi."
Ucapan pria berkemeja biru dan bermata biru tersebut mampu membuat Vania menahan nafasnya dan tak berkedip sama sekali sampai pria tersebut masuk ke dalam rumah sakit tersebut. Tanpa ia sadari, dirinya mengikuti pria tersebut dengan tatapan takjub yang tak bisa ia jabarkan
Bagaimana bisa ada pria se-seksi itu?! -Batin Vania menjerit
"Hey!" Tepukkan yang cukup kencang di bahunya mampu membuat Vania berkedip dan tersadar dari rasa kekagumannya terhadap pria yang baru saja ia lihat tadi. Dibalikkan tubuhnya dan mendapati kakak serta mamanya yang menatap dirinya heran.
"Ada apa?"
"Ada apa? Lo yang ada apa. Phobia aneh lo udah hilang?" Tanya kakaknya heran.
"Apa maksud lo? Lo jangan pernah bercanda ya.. phobia gue sampe sekarang aja masih belom sembuh sama sekali!" Balas Vania kesal karena pertanyaan yang menurutnya menjengkelkan.
Memangnya ada apa dengan phobia yang dia alami? Apakah orang yang memiliki phobia itu aneh? Ia rasa tidak, bahkan untuk dirinya yang phobia terhadap rumah sakit. Walaupun awalnya aneh, namun ia rasa hal itu tidak masalah baginya selama, ia tidak jatuh sakit. Lagian, ia memiliki alasan kenapa ia phobia terhadap rumah sakit.
"Lah! Lo masih demam, ya? Lo liat sekarang elo dimana?!" Sahut kakaknya kesal, sementara Lea hanya menyaksikkan anaknya yang jarang sekali bisa akur.
"Apaan sih lo! Biasa aja dong tuh muka! Ngajak ribut banget sih jadi orang!"
"Ngajak ribut gimana?! Elo yang ngajak ribut! Udah daritadi susah diajak, trus sekarang ngotot kayak orang gila cuman gara-gara hal sepele. Udahlah! Bagus deh kalau lo udah mau masuk rumah sakit, jadi gua gak usah gendong-gendong badan baboon lo yang gak ada bentuknya itu!" Mendengar hal tersebut tentu membuat Vania panas dan melupakan mereka sedang berada di rumah sakit.
"Apa?! Heh! Tua bangkotan, asal lo tau ya! Badan gue ini malah yang diimpi-impikan para kaum hawa laennya. Mata lo katarak atau gimana, heh? Pantesan sampe sekarang masih jomblo.. nyatanya selera lo payah!" Ejek Vania kepada kakaknya.
Yah.. dan inilah mereka kakak-beradik yang selalu menciptakan arena perang khusus mereka berdua.
"Heh! Jadi anak bau kencur dan cebol.. tolong jangan sok tau! Lo yang gak tau urusan pribadi gue, gak usah kebanyakkan bac*t! Anak kecil aja bel*g*lo. Lagian, badan lo? Lo bilang apa tadi? Diimpi-impikan? What the h*ll dude! Everyone know that you have no shape in your body.. innocent girl.." Wajah Vania memerah karena menahan emosi yang meradang untuk segera menonjok muka sombong bin jin biru terjelek sedunia .
Tanpa Jack dan Vania sadari, sedaritadi keduanya menjadi bahan tontonan banyak orang termasuk para pasien yang dirawat yang sedang berlalu-lalang, bahkan tak banyak perawat serta dokter yang lewat melihat keduanya hanya mampu tersenyum geli. Menyadari kedua anaknya membuat malu dirinya dihadapan umum, Lea langsung mencoba melerai keduanya dengan meringis melihat ke sekitarnya.
Ya ampun Tuhan.. mengapa anak-ku selalu saja bertengkar tidak ada habisnya seperti ini... -Eluh Lea di dalam hatinya
"Aduh.. udah-udah yaa.. malu tuh diliatin orang banyak.. lagian kaliankan udah pada gede, badannya juga udah sama-sama gede.. jadi malu kalau misalkan berantem cuman gara-gara hal sepele.." Bisik Lea berupaya menghentikan anaknya yang terus bertengkar.
"Dia yang mulai duluan, ma! Jangan salahin aku!" Bela Vania dan menunjuk kearah bang Jack seolah menghakimi. Namun kenyataanya Jackpun tak mau kalah dengan adik durhakanya ini.
"Aku?! Hei, berkacalah kau adik durhaka! Dimana-mana elo mulu yang ngajakin ribut dan memancing keributan!"
"Apaan!? Lo nyalahin gue?! Heh! Tua bangkotan! Lo yang ngacaaa!!!" Dan bukannya berhenti bertengkar, mereka tambah seru lagi untuk bertengkar. Sementara Lea yang sudah hilang kesabaran menghela nafas kasar.
Terpaksa ia perlu melakukan hal ini.
"AWWWW!!!" Pekik keduanya dengan memegang telinga mereka masing-masing karena sebuah tarikan yang begitu kencang, dan memang hanya dengan jurus jitu itu sajalah mereka bisa diam dan tidak berisik lagi. Tentu Lea-lah yang mengetahuinya, saat ia pernah melakukan percobaan tentunya.
"Udah berantemnya, hm? Masih butuh waktu lebih banyak atau mau berhenti? Kalau masih butuh waktu nanti lanjutnya kalau udah di rumah!" Seru Lea kesal dengan kedua anaknya yang sungguh ajaib luar binasah.
"Maaaaa.. lepas donggg.. sakit nihh," Jack memohon dengan muka melasnya yang tentu tidak dihiraukan oleh Lea yang memandang keduanya datar (alias malas menanggapi). Karena kalau ia menanggapi salah satunya, maka ia akan terjerumus untuk ikut berantem dengan anaknya.. Mungkin ini memang sudah ditakdirkan, bahwa hanya suaminya sajalah yang paling waras diantara semuanya.
Dengan helaan nafas yang panjang, iapun melepaskan jeweran super duper hot-nya, " Terkadang mama suka sedih deh.. kok mama ngerasa kita bertiga orang paling gak bisa waras sendiri, ya?"
Jack dan Vania langsung menatap mamanya sengit secara bersamaan mendengar hal tersebut, "Maksud mama apa? Kita tuh waras! Mama kali yang gak waras.." Ucap keduanya berbarengan.
"Apa?! Kalian berani ngatain mama kalian sendiri gak waras?! Kalau mama gak waras, maka kalian juga GAK WARAS! Inget itu!" Balas Lea dengan penuh penekanan dengan kata-kata terakhirnya.
"Kenapa?" Tanya kakak-beradik itu kompak.
"Ya jelaslah! Kaliankan anak mama. Udah, sekarang kamu, Vania ikut mama ke depan ruang dokternya sambil nunggu. Dan kamu, Jack. Pergi sekarang, karena papa pasti nungguin kamu daritadi." Lea mengucapkan semuanya itu penuh dengan penekanan seperti seorang boss yang memerintah bawahannya tanpa mau mendengar kata 'Tidak'.
Setelah itu, tangan Vania ditarik oleh Lea menuju depan ruang dokter untuk menunggu giliran sampai namanya dipanggil.
.
.
.
.
15 minutes later...
"Saudari Vania Emer Scarllet?"
Lamunan Vania terbuyar mendengar namanya dipanggil oleh seorang suster yang secara tiba-tiba saja muncul dengan pakaian susternya, dan okay.. itu mengingatkan ia dengan film suster ngesot mengejar cinta si pocong, dan kalau disini kasusnya si suster ngejar pasien yang phobia dengan rumah sakit.Seperti itulah bayangannya saat ia melihat suster itu. Sudahlah, lupakan semua pikiran anehnya itu. Intinya sekarang ia sudah keringat dingin saat mamanya menarik lengannya.
"Ayo!" Dengan tergagap, iapun ditarik berdiri oleh mamanya namun saat ia mulai memasuki ruang dokter, nafasnya mulai tidak terartur. Ditutupnya matanya untuk mencoba menghalau fikiran-fikiran yang membuatnya gemetar ketakutan karena bayang-bayang yang ia tak inginkan.
"Vania? Kamu gak pa-pakan?"Dirasanya pegangan mamanya semakin kuat dan ia tahu mamanya mengkhawatirkannya.
"Hm.." Lirih Vania mencoba menetralkan nafasnya yang masih tidak terartur.
"Ayo, bu.. saya bantu untuk dibaringkan dibangkar." Ucap sang suster yang terlihat masih muda bila Lea perhatikan.
Dengan bantuan suster tersebut, Vaniapun dibaringkan dengan keringat dingin yang menguncur di dahinya, dan jangan lupakan wajahnya yang sudah terlihat seperti mayat.
Sebegitu parnonyakah anak-ku ini terhadap rumah sakit?-Dipandanginya sendu anaknya tersebut yang kali ini benar-benar lemas tak berdaya. Dapat ia prediksi hal terjadi karena ketakutannya terhadap rumah sakit. Dan hanya sebatas itulah yang Lea tahu. Tapi ia tak bisa membiarkan anaknya itu sakit selama 4 hari lamanya tak kunjung sembuh untukk tidak diperiksakan ke dokter. Makanya ia sangat ngotot, walau ia tahu Vania akan menolaknya habis-habisan.
"Mari bu.. silahkan duduk untuk memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang keadaan anak ibu." Ucap susternya kepada Lea yang membawa ia sampai di depan dokter muda yang sangat tampan.
Oh my.. jadi calon mantu boleh juga nih... siapa tahu keturunan anak gue bisa makin kinclong.. -Batin Lea terkikik geli.
"Selamat pagi, bu.. silahkan duduk." Sapa si dokter tampan kepada Lea yang hampir saja lupa diri saat melihat senyuman si dokter 'mantu idaman cemerlang'-nya yang begitu mematikan. Aduh.. kalau saja ia belum berstatus sebagai ibu yang punya ekor 2 sama kepala 1.. pasti bisa-bisa ia babat habis yang cermelang beginian.
"Ya dok.. hehe," Ucap Lea dengan balas tersenyum pada si dokter tampan dengan tersenyum malu-malu. Sementara itu si dokter tampan hanya tersenyum saja melihat tingkah ibu dari anak gadis yang sedang terbaring lemah di ranjang pasiennya.
"Jadi, bisa ibu jelaskan bagaimana kondisi anak ibu dulu?" Tanya si dokter tampan dengan nada suara berat nan-seksi yang membuat Lea merinding hingga ingin menerkam si dokter kalau-kalau ia tak ingat kedua anaknya serta suaminya yang sedang bekerja. Bukan menjawab, Lea malah salah tingkah dan tingkah tersebut mampu membuat si dokter menahan tawa melihat wanita yang sudah berumur tersebut.
Sementara itu, Vania geram habis. Walau ia terkapar tak berdaya seperti ini, ia mendengar semua dialog keduanya. Dan memang, ia juga tahu sifat mamanya yang terkadang centil gak ketolongan bila ketemu cowok ganteng. Intiny tak terkandali! Lihat saja nanti.. pasti akan ia laporkan pada papanya!
"Mamaaaaaaaaa, bisa gak sih gak usah belaga centil kayak anak ABG! Inget umurrrrrr, itu suami di rumah sama anak dua mau ditinggal?!" Ujar Vania kesal dengan suara serak karena tenaganya yang terkuras akibat phobianya.
Mendengar suara serak yang terdengar kesal tersebut mampu membuat sang dokter, serta suster yang berjaga berusaha menahan tawa. Sementara itu, Lea hanya terdiam dengan wajahnya yang memerah. Iapun berdeham untuk menetral nada bicaranya.
"Ehem. Okay, dok.. jadi tuh keadaannya seperti ini blablaba.. Nah.. Jadi gimana tuh?" Tanya Lea setelah menjelaskan singkat, padat, dan jelas tentang keadaan putrinya.
"Hmm.. baiklah kalau begitu kita mesti melakukan pengecekan terlebih dahulu."Balas si dokter tampan.
Si dokterpun beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju bangkar gadis yang merupakan pasiennya. " Maaf, kita periksa dulu ya kondisimu.." Ucap si dokter menyadarkan Vania yang saat ini tengah menutup matanya dengan lengannya. Vaniapun mengangkat kedua lengannya dan menyipitkan matanya yang rada buram karena sedang menyesuaikan terang di ruangan tersebut.
"Ya.. coba bisa dibuka mulutnya?" Ujar si dokter dan langsung dituruti oleh Vania walau dengan sedikit ragu-ragu. Dan tentu dirinya tak bisa melihat wajah si dokter karena matanya masih belum bisa menyesuaikan terang di ruangan tersebut.
"Hm.. sekarang coba kita lihat mata-mu.." Vania merasakan kedua matanya disentuh oleh tangan yang begitu lembut dan perlahan kedua kelopak matanyapun melebar dan terkena sinar senter. Setelahnya si dokter memeriksa kondisi jantung, dan kawan-kawannya tanpa Vania mau perduli.
Saat ini ia masih berusaha menyesuaikan matanya yang hampir menyesuaikan bias cahaya diruangan ini tadi. Karena terkena sinar senter membuat pandangannya berbayang lagi. Setelah semuanya selesai, si dokterpun berbicara dengan mamanya dan Vania yang masih sibuk dengan penyesuaian pandangannya.
"Jadi, begini bu.. saya sarankan, anak ibu untuk melakukan pengecekkan darah.. karena sepertinya ia terkena tifus.. dan dianjurkan untuk melakukan rawat inap-"
"APA RAWAT INAP?!" Pekikkan yang sangat keras membauat suster, Lea, dan si dokter terpenjat kaget, dan setelah itu.. dirinya terjatuh dan tak mengingat apapun.
T B C