Chereads / Crazy Patient / Chapter 3 - Inpatient

Chapter 3 - Inpatient

Disebuah ruangan rawat inap, seorang gadis berambut merah terbaring lemah tanpa tenaga dengan wajah pucatnya dan tak lupa dengan tangan kirinya yang telah terinfus. Sementara itu, disisi ranjang mamanya terus memegang tangan kanan anaknya yang sudah pingsan selama dua hari. Entah, mamanya sendiripun bingung, shock, heran, dan kaget melihat anaknya yang tiba-tiba tak sadarkan diri hanya mendengar diagnosa dokter dua hari yang lalu.

Yang bikin mamanya bingung itu, kenapa anak gadisnya ini tidak sadar sampai dua hari, dan bila hari ini anaknya belum juga bangun.. maka itu sudah terhitung tiga hari, bila waktu menunjukkan sudah 24 jam nantinya. Sempat, mamanya bertanya kepada dokter tampan yang ia ingin jadikan calon mantunya tersebut, apakah anaknya ini sakitnya sampai separah itu? Sehingga tak sadarkan diri selama 2 hari?

Namun sang dokter menjawab, bahwa memang anaknya mengalami darah rendah dan apalagi tifus yang dialaminya selama 4 hari tersebut membuat kondisi tubuhnya semakin lemah. Dan sempat sang dokter bertanya apakah anaknya ini memiliki trauma, karena terlihat begitu jelas melalui pancarannya. Anaknya terlihat begitu ketakutan saat pergi ke rumah sakit. Namun mau diapakan?

Bila tidak dibawa ke rumah sakit, keadaannya semakin parah. Dan ia sebagai ibu yang telah melahirkan anak gadisnya yang entah kenapa sangat ajaib itu, memang mempunyai firasat buruk saat sang anak tidak mengabarinya selama 4 hari berturut-turut. Sempat menanyakan pada sang kakak, namun ia tahu anak sulungnya itu memang tidak terlalu peka dengan adik kandungnya sendiri dan pastinya malas berhubungan dengan adiknya bila tidak ada kepentingan.

Sungguh kakak yang kejam, bukan?

Ya, itulah Jack.

Bunyi pintu kamar rawat inap terbuka, menampakkan dua lelaki yang ia sayangi.

"Bagaimana, ma? Belum ada tanda-tanda si cebol sadar?" Tanya Jack dengan nada cemas. Okay, perlu kalian ketahui.. walau keduanya tak akur, namun mereka juga masih memiliki ikatan saudara kandung yang membuat keduanya terkadang tak ingin salah satu dari mereka sakit ataupun celaka. Yah.. walau ujung-ujungnya akan terus-menerus bertengkar bila di pertemukan. Namun, menurut kedua orangtuanya hal tersebutlah yang menghibur dan membuat rumah menjadi ramai bila keduanya ada di rumah.

"Ye.. kamu giliran adiknya sakit aja baru khawatir.. dulu-dulu kemana aja, bang?" Sahut kesal Lea (mamanya) dengan nada sinis ditujukan oleh Jack. Mendengar nada sinis dari mamanya, ia tahu mamanya masih kesal dengan kejadian dua hari lalu dimana dirinya dan adiknya membuat sang mama malu di depan banyak orang.

"Yahhhh.. ma, kan mama tahu Jack selalu gak akur sama si cebol dari dulu. Tapi walau gitukan, Jack tetep sayang sama si cebol, ma!" Sahut Jack dengan cemberut. Sementara itu, Maxon (suami Lea) hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat keluarganya yang selalu seperti ini. Dan seperti biasanya ia sebagai papa dan suami harus bersikap paling tenang sendiri.

Dipukulnya pundak Jack dengan kencang, " Stop panggil adikmu sendiri cebol, Jack.. kamu mau kena karma gara-gara ngatain adik kamu cebol mulu? Kalau tiba-tiba anak atau istri kamu cebol gimana?" Tanya papanya dengan santai dengan muka tenangnya, walau nyatanya ia juga sedang khawatir dengan keadaan anak bungsunya yang tak kunjung membuka matanya.

"Kok papa malah doain Jack yang enggak-enggak? Emangnya papa sama mama mau Jack dapet yang begitu?"

Dengan mengangkat salah satu alisnya, Maxon menjawab, "Lah? Kalau udah jodoh gimana? Lagian orang yang badannya kecil bukannya imut? Cocoklah sama kamu yang badannya gede.." Mendengar ucapan papanya, membuat Jack menahan kesal karena melihat mamanya menahan tawanya. Jack tak menjawab lagi, karena ia tahu. Di dalam rumahnya yang paling tak bisa diajak berdebat adalah papanya. Karena papanya ibarat pembawa damai di saat kerusuhan.

"Eungh.." Suara rintihan tersebut membuat ketiga orang di dalam ruang tersebut menolehkan kepala mereka kearah rintihan tersebut berasal. Dan tak lama kemudian, mata gadis yang dinanti-nantikan untuk sadar tersebut mulai terbuka secara perlahan.

"Panggil dokter!"

"Hah?" Bukan malah segera memanggil dokter Jack malah melongo dengan menatap kearah adiknya serta ibu dan ayahnya yang panik. Tapi tidak dengan adiknya yang kelihatan baik-baik saja. Malah matanya kini perlahan-lahan terbuka.

"Hah, heh, hoh! Kamu tuh gak peka banget sih Jack!!! Dosa apa mama dulu ngandung kamu?! Panggil dokternya!!!"Jerit Lea dengan penuh kekesalan karena tingkah ana sulungnya. Sementara itu, Maxon hanya mengusap wajahnya kasar. Entah kenapa ia merasa pening luar biasa karena teriakkan istrinya dan tingkah bodoh anak sulungnya. Tanpa menjawab pun, Jack langsung tergagap dan memanggil sang dokter.

.

.

.

"Bagaimana keadaannya, dok?" Tanya Lea khawatir dan sedikit sedih karena yang menghampiri ruangan anaknya ternyata bukanlah dokter tampan dua hari lalu. Yang ditemuinya sekarang malah dokter yang sudah berumur dengan kacamata yang walau begitu tak menghilangkan ketampanan diwajah sang dokter. Namun tetap saja! Rencananya kan kalau Vania sudah bangun, ia ingin mengenalkan dokter tampan tersebut dengan Vania. Sipa tahu anak gadisnya yang bandel itu kecantol sama dokter ganteng kemaren.

"Hm.. baik kok, bu. Kondisinya mulai membaik dan memang saya sarankan ia harus dirawat sampai dirinya sembuh total. Anak ibu sepertinya terlalu memfosir tenaga tubuhnya dan saya sarankan untuk memberikan ia bubur, karena tifus yang dideritanya." Kedua orangtua Vania dan Jack terus memperhatikan semua yang harus diperhatikan bagi kesehatan purtinya.

Jack yang sedaritadi terdiam, akhirnya menatap kearah adiknya yang memandang keluar jendela rumah sakit dengan pandangan kosongnya. Dengan langkah perlahan, Jack menghampiri sang adik yang masih pucat. Saat Jack sudah duduk disebelah bangkar tempat adiknya tertidur selama dua hari, Vania masih belum menyadari hal tersebut hingga usapan di kepalanya ia rasakan. Begitu lembut, hangat, dan penuh kasih sayang. Ia pun menolehkan pandangannya dan menemukan Jack sedang mengusap kepala dengan penuh sayang. Iapun tahu Jack yang sekarang adalah versi kakaknya yang sebenarnya.

"Mengingat hal apa, hm?" Tatapan teduh yang diberikan oleh Jack membuat hati Vania sesak dan Vania hanya dapat terdiam tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun.

Jack melihat hal tersebut tersadar bahwa adiknya sedang tidak baik. Bahkan sangat tidak baik. Ia tahu ini bukan karena penyakitnya, namun ada hal lain yang membuat adiknya tidak seperti Vania biasanya. Ia menyadari hal tersebut melalui pancaran mata yang diperlihatkan oleh adiknya saat, kedua mata mereka bertemu. Dengan perlahan Jack bangkit dari duduknya dan berpindah duduk disisi ranjang Vania dengan memeluk adiknya erat. Respon yang diberikan Vania pun langsung memeluk kakaknya erat dan isakkan pun mulai keluar.

Maxon dan Lea yang telah mengantar sang dokter keluar ruangan pun membeku saat melihat kedua anaknya saling berpelukkan. Dan kalau boleh jujur, ini adalah hal paling langka yang pernah mereka lihat. Terakhir kali mereka melihat Vania menangis dan memeluk erat Jack adalah 11 tahun yang lalu. Dan itu sudah sangat lama.

"Lea.. " Mendengar bisikan dari suaminya membuat Lea tersadar dan ikut keluar kembali dari ruangan tersebut. Mereka tahu, walau kedua anaknya itu selalu saja membuat masalah. Tapi adakalanya mereka saling melengkapi. Seperti halnya sekarang.

"Rasanya sesak, Jacky.. " Lirih Vania ditengah-tengah isakkannya.

Jacky.

Nama panggilan kesayangan keluarganya untuk Jack.. Dan Jack tahu kalau adiknya benar serius kali ini. Kejadian itu terulang lagi layaknya 11 tahun yang lalu. Vania yang rapuh dengan air mata yang terus mengalir dan tatapan hampanya. Membayangkan kejadian 11 tahun lalu, membuat Jack mempererat pelukkannya. Rasanya ia ingin mengambil rasa sesak yang ada dihati adiknya. Tapi sayang, hal tersebut tak bisa ia lakukan.

"Hey, take a deep breathe nia..." Dengan perlahan tapi pasti.. Vania melakukan hal yang dibisiki oleh kakaknya. Setelah beberapa menit, nafasnya kemballi normal seperti biasa, namun tidak dengan ekspresi wajahnya yang kelewat kaku.

"Nia?" Panggil Jack dengan nada halusnya untuk mencoba menyadarkan Vania yang sepertinya melamun setelah nafasnya kembali normal.

Karena tak mendapatkan respon apapun, Jack memanggilnya lagi. "Vania?"

Tangan Jack melambai dihadapan wajah Vania agar membuatnya sadar. Vaniapun akhirnya tergagap dan menatap Jack. "Kenapa?"

"Udah legaan?" Tanya Jack dengan helaan nafas.

"Hm..... "

"Bagaimana kondisimu? Masih sakit?"

"Hm.."

Keadaan mulai hening setelah lagi-lagi Jack mendapat jawaban singkat, padat, dan jelas dari adiknya.

Ia tahu kalau semua ini terjadi karena ada sangkut-pautnya dengan trauma aneh yang dimiliki oleh adiknya.

Jack tidak tahu sampai sekarang apa yang menjadikan adiknya memiliki trauma hingga sebesar ini. Bahkan dulu ia tahu, Vania adalah anak yang paling senang pergi ke rumah sakit. Dengan alasan bahwa ada sesuatu yang menarik dengan rumah sakit, dan sangat kebetulan jarak kantor papanya cukup dekat dengan rumah sakit pada saat itu. Dan sangat kebutulan pula, perusahaan papanya memang menjalin kerjasama dengan pemilik rumah sakit tersebut. Vania senang bisa bertemu dan mengobrol dengan orang-orang yang sedang sakit. Ia pernah bilang bahwa berbagi rasa sakit itu boleh, dengan mengajaknya berbincang dan mendengarkan keluh kesah mereka membuat rasa sakit mereka berkurang. Setidaknya, mereka bisa tersenyum dengan berbagi rasa sakit mereka itulah yang ia tahu dari adik kecilnya dahulu. Namun sekarang, adiknya bukan lagi adik kecilnya yang dulu. Vania benar-benar berubah setelah kejadian 11 tahun lalu. Vanianya yang manis serta penuh keceriaan berubah menjadi adik yang menyebalkan, ketus, galak, dan jutek disaat-saat tertentu. Ia juga jadi tidak suka lagi untuk berkunjung ke rumah sakit lagi setelah kejadian 11 tahun lalu.

Ingin Jack menanyakan lagi apa yang telah terjadi pada Vania 11 tahun lalu? Karena yang ia tahu, Vania menghilang tiba-tiba saat mereka keluar dari kantin rumah sakit. Tadinya, ia hanya melihat Vania berdiri di jarak yang cukup dekat dengan keluarganya dan dirinya. Pada saat itu, Vania memang terlihat sedang berbincang dengan seorang nenek yang kelihatannya senang saat Vania menceritakan sesuatu yang membuat dirinya begitu semangat menceritakan cerita yang diceritakan oleh sang nenek. Dan setahunya, itu adalah rutinitas Vania saat papanya harus berkunjung ke rumah sakit sekedar untuk silahturami dengan pemilik rumah sakit yang ia tahu bahwa pemiliknya adalah teman dekat papanya dahulu. Dan setelah menghilangnya Vania, semuanya panik. Jack pun tak tinggal diam, mencari adiknya kemana-mana. Hingga sampai di taman belakang rumah sakit, ia melihat Vania menangis dengan tatapan hampanya. Dan saat Jack memanggilnya, Vania langsung menoleh dan berlari memeluk dirinya erat.

'Jacky... rasanya sesak..' Kata-kata itulah yang dikeluarkan oleh adik kecilnya. Dan kejadian itu terulang lagi.

"Lo belom mau cerita?" Tanya Jack ragu-ragu. Namun yang didapatinya malah tatapan dingin Vania.

"Gak ada yang butuh diceritain."

Dari situ Jack tahu, bahwa Vania tidak akan pernah menceritakan hal yang 11 tahun lalu pernah terjadi, sampai adiknya sendiri datang dan mau menceritakan.

T B C