Baru satu hari setelah Vania sadarkan diri, sekarang dirinya merasa seperti di neraka karena bayang-bayang masa lalu yang membuat dirinya seperti orang gila. Ingin sesegera mungkin dirinya keluar dari rumah sakit terkutuk ini. Dengan menggerutu, dirinya pun bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan keluar ruangannya. Tak memperdulikan segala orang yang tersenyum ataupun berusaha menyapanya. Mood-nya menjadi down bila dia terus-terusan berada di rumah sakit ini.
Ia sebenarnya tidak mempermasalahkan tentang penyakitnya yang saat ini dideritanya. Namun, rasanya semua menjadi begitu berat, saat bayang-bayang menyebalkan itu selalu saja hadir di kepalanya. Vania menghela nafas berat dengan memandang lurus tanpa memperhatikan orang-orang disekitarnya.
JEDUG!
Tanpa ia sadari, dirinya menabrak seorang anak perempuan yang merupakan salah satu pasien yang berada di rumah sakit ini. Vania pun berjongkok untuk menyetarakan tinggi tubuhnya dengan anak kecil yang mengaduh sakit dengan memegang dahinya. "Hey? Apa kau tak apa-apa? Maafkan aku, a-aku tidak memperhatikan jalanku tadi.."
Gadis kecil itu mendongakkan wajahnya merasakan wanita dewasa yang tadi tabrak mengajak dirinya berbicara. Bukan menjawab, gadis kecil itu menundukkan kepalanya karena takut dengan Vania yang tengah menatapnya. Vania yang menyadari bahwa gadis kecil yang ia tabrak takut dengannya, tersenyum kecil. Gadis ini mengingatkannya dengan seseorang yang ia kenal dahulu.
Dengan lembut, diangkatnya dagu gadis kecil itu meatap Vania. "Hey, tak apa.. jangan takut. Aku gak akan marahin kamu kok. Lagian tadi aku juga salah, karena tidak melihat tubuh mungilmu ini.." Ucap Vania dengan meringis saat berkata 'tubuh mungilmu'.
Perlahan, gadis tersebut tersenyum kecil walau masih terlihat malu-malu dengan sesekali melirik kearah Vania. Sungguh menggemaskan!
"Dimana orangtuamu? Kenapa kau keluar sendirian, padahal kau sedang sakit sama halnya denganku?" Tanya Vania dengan posisi berjongkok dengan memegang infusnya yang ia bawa tanpa tiangnya.
Mendengar pertanyaan Vania membuat si gadis kecil tersebut merubah mimik wajahnya menjadi murung. Senyuman Vania yang tadinya terbit langsung luntur melihat reaksi si gadis kecil itu. Sepertinya ada yang salah dengan pertanyaan yang tadi ia ajukkan.
"Hey? Kenapa murung begitu? Aku salah bertanya, ya? Maafkan aku kalau begitu.." Ucap Vania menyesal dengan pertanyaan yang mungkin menyinggung gadis kecil tersebut. Namun gadis kecil itu tersenyum kecil kepada Vania.
"Tidak apa, kak. Aku sudah biasa dengan pertanyaan itu.." Jawab gadis kecil itu dengan tatapan sendunya. Vania yang melihat hal itupun jadi tak tega.
"Hey! Bagaimana kalau kau ikut denganku saja? Sepertinya cuaca hari ini cerah dan mungkin ini akan menjadi hari yang menyenangkan bagi-ku dan bagi-mu?" Vania mencoba mengalihkan pembicaraan yang tadinya menyinggung gadis kecil tersebut. Gadis kecil itu terlihat ragu dengan tawaran Vania.
"Tapi bukankah pasien tidak diperbolehkan untuk pergi jauh?" Tanya gadis kecil itu.
Vania yang mendengar pertanyaan polos gadis kecil itu terkekeh. "Tapi bukan berarti seorang pasien tidak boleh pergi dekat-dekat sini, bukan?" Tanya Vania geli, yang direspon geli juga oleh gadis kecil itu.
"Baiklah.. aku juga bosan disini.. ngomong-ngomong, nama kakak siapa?" Tanya gadis kecil itu dengan berjalan bersisian bersama Vania.
"Namaku Vania Emer Scarlett.. kamu bisa panggil aku kak Nia. Nama kamu siapa?"
"Namaku Janet America Wellington." Mendengar nama gadis kecil bernama Janet itu unik membuat Vania takjub.
Apa jangan-jangan ini anak blasteran, ya? Tapi kalau diliat tampang iya juga sih.. -Batin Vania
"Kamu tuh punya darah campuran, ya?" Tanya Vania penasaran. Tapi bukan menjawab, Janet menyeringit bingung dan membalas tatapan bingung Vania yang sekilas menatapnya tadi.
"Campuran..? Maksudnya campuran apaan, kak?" Mendengar pertanyaannya diputa balik kepadanya membuat Vania menepuk dahinya. Astaga.. sungguh polos anak ini. Kenapa orangtuanya tidak ada coba tadi? Udah lucu begini tapi ditinggalin.. mending buat mamanya Vania saja, trus biar Vania punya adik macem produk impor begini, dibandingkan bertemu dengan si bangkotan tua yang bikin naek darah mulu.
"Bukan.. maksud aku, blasteran.."Ringis Vania dan berharap Janet dapat mengerti arti blasteran yang ia maksudkan. Kalau tidak? Ia mungkin harus menjelaskan proses simbiosis mekanismenya secara rinci, singkat, padat, dan jangan lupa sensor.
"Uhm? Blasteran, ya? Jujur aku tidak tahu, karena aku tidak pernah tahu siapa, dimana, bagaimana ayahku sejak aku lahir.. selama ini aku hanya diasuh oleh kakek nenek-ku." Jawab Janet dengan menghela nafas kasarnya. Vania dapat merasakan rasa sedih yang dirasakan oleh Janet, bagaimana tidak? Coba kalian bayangkan seorang anak kecil yang ia perkirakan mungkin saat ini masih berumur 5 tahun, tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Bagaimana perasaannya?
"Uh-mm.. i-ibumu?" Tanya Vania ragu-ragu takut menyinggung perasaan gadis kecil ini. Walau ia tahu pasti perasaan gadis ini sedih mendengar pertanyaannya. Namun jangan salahkan rasa ingin tahu seorang wartawan sepertinya.
"Ibuku.. ibuku sudah meninggalkan-ku saat aku lahir. Ia mungkin saat ini tengah menatapku dari atas sana.." Ucap Janet dengan suara paraunya dengan mengadahkan kepalanya menatap langit.
Melihat ekspresi Janet membuat Vania ikut sedih. Ia jadi mengingat dirinya yang dulu begitu hancur dan rapuh karena rasa sesak yang kemarin terulang lagi setelah kejadiaan itu. Ia juga berharap dapat melupakannya, namun nyatanya sampai sekarang hal itu belum juga terjadi. Begitu menyedihkan bukan?
"Hey.. jangan murung begitu.."Lirih Vania yang saat ini sudah duduk di bangku taman. Melihat Vania yang menepuk sisi kosong di sebelahnya, Janet menghampiri Vania dan ikut duduk bersama Vania.
"Ya.. aku memang sudah berusaha menghilangkan rasa sesak itu, tapi nyatanya tak bisa. Dan sekarang rasa sesak itu semakin harus ku kontrol mengingat aku saat ini mengidap lemah jantung." Ucap Janet dengan menundukkan kepalanya karena rasa sedih yang tak bisa dibendungnya.
Vania tahu Janet bukan gadis kecil yang lemah walau dengan segala kekurangan nya. Hal itu terbukti dengan betapa tabah dan kuatnya ia menjalani hidupnya tanpa kasih sayang dari kedua orangtuanya. Vania masih sangat bersyukur dengan memiliki keluarga yang lengkap saat ini. Yah.. walau dirinya tak bisa akur dengan abangnya sendiri.
"Janet, kau ingin mengetahui sebuah rahasia?"
Janet yang tadinya menunduk karena kesedihannya langsung mendongak menatap Vania penasaran. Vania yang melihat reaksi Janet tersenyum sendu dengan tatapan yang sama seperti senyumannya. "Akan kuberikan satu rahasia terbesarku padamu, yang mungkin hanya kau orang pertama kali yang akan menjadi pendengar pertama. Tapi berjanjilah ini hanya rahasia diantara kita berdua, okay?"
Janet yang penasaran langsung mengangguk setuju.
.
.
.
Jack baru saja sampai di rumah sakit dimana adiknya di rawat inap, sesudah ia menyelesaikan tugasnya dan jangan lupakan paksaan kedua orangtuanya untuk menemani adiknya yang masih lemah itu. Bila memikirkannya saja membuat Jack mendengus geli, ia sangat yakin saat ini pasti adiknya sudah bisa berjingkrak-jinkrak kemana pun ia mau. Terutama mungkin memikirkan cara untuk kabur dari rumah sakit ini?
Heh, tapi bila mengingat reaksi adiknya saat bangun seperti itu, ia juga meragukan pemikirannya yang bisa dikatakan konyol. But, who knows kalau itu benar akan terjadi? Semoga saja adiknya itu masih diam di sarangnya tanpa pergi kemana pun, atau lebih parahnya kabur. Lihat saja kalau sampai-sampai adiknya benar-benar kabur!
Jack tidak langsung menuju ke ruang rawat inap adiknya, ia berbelok menuju kantin rumah sakit untuk membeli beberapa makanan dan cemilan untuk dibawanya menunggui adiknya di ruangan nanti.
"Ini aja, mas gak ada yang lain?" Tanya penjaga kasir tersebut dengan nada centilnya. Jack yang mendengar itu mendengus. Memang pesona yang ia keluarkan tidak pernah pudar walau memang benar kata adiknya, diumurnya yang cukup matang di jejang pernikahan ini, ia masih betah untuk melajang. Sebenarnya hal yang ia hindari salah satunya adalah wanita seperti yang ada dihadapannya. Entahlah.. ia berharap ada wanita langka lainnya selain adik dan mamanya nanti. Sangat disayangkan wanita semacam itu langka ditemukan.
"Gak ada." Jawab Jack dingin dan penjaga kasir itu tidak putus asa untuk menggoda Jack. Dengan sengaja ia membuat semuanya itu begitu lama dengan alasan mesin mendeteksi harganya tidak berfungsi, sehingga membuat Jack harus menunggu dan menumpuk antrian yang berada dibelakang Jack.
Karen begitu lama dan membuat Jack muak dengan segala macam hal yang tidak masuk akal itu, Jack langsung mengeluarkan uang berwarna merahnya, "Sudah! Kau terlalu lama dan lambat untuk merespon pelanggan-mu. Ambil kembaliannya, Ck! Bagaimana bisa rumah sakit yang dibilang kinerja pegawai-pegawainya bagus ini memperkerjakan orang seperti-mu?"
Setelah Jack mengambil 2 roti, 1 susu, dan 1 air mineral, ia pergi tanpa perduli dengan wajah malu yang ditunjukkan oleh penjaga kasir itu. Tak banyak ibu-ibu serta bapak-bapak yang mengantri untuk membayar terkikik geli melihat betapa merahnya wajah penjaga kasir itu. Yah... seperti itulah akibatnya berhadapan dengan perjaka tua yang sangat anti dengan wanita selain adik dan mamanya.
Saat sedang berjalan kearah ruang rawat inap adiknya, Jack bertemu dengan seorang dokter yang pernah diceritakan oleh mamanya dengan heboh sehingga membuat papanya cemburu luar binasa, dan tentu ia masih ingat jelas dokter itulah yang memeriksa adiknya saat adiknya baru saja sadarkan diri. Tapi walau cemburu, untung papanya meresponnya dengan candaan. Tapi itulah keluarganya, ia juga heran dengan mamanya. Sudah punya keluaran berkualitas, apik, perfect, memperbaiki keturunan bahkan. Tapi masih saja mamanya bersikap seperti remaja labil. Tapi tak apa, ia akan menganggap semua keanehan dalam keluarganya adalah sebuah keunikkan yang perlu dipertahankan. Jack pun menghampiri dokter yang ingin mamanya jodohkan dengan Vania, tapi entah itu akan berhasil atau tidak nantinya.
"Selamat siang, dok?" Jack menyapa sang dokter yang sepertinya akan melakukan check up pasien hari ini.
Sang dokter yang merasa disapa dengan seseorang langsung menolehkan kepalanya dan mendapati seorang pria yang mungkin hampir seumuran dengannya? Entahlah...
"Ya.. selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" Tanya sang dokter bingung melihat Jack yang cengar-cengir gak jelas.
"Uhm.. tidak, saya hanya ingin menyapa dokter yang telah mendiagnosa adik saya untuk menganjurkan rawat inap di rumah sakit ini, apakah tidak boleh?" Mendengar nada tersinggung yang diberikan oleh Jack membuat sang dokter terkekeh.
"Ups, maaf kalau nada pertanyaan saya menyinggung anda. Dan tidak salah bila anda ingin menyapa saya," Jawab sang dokter dengan senyuman ramahnya.
Buehh.. pantesan aja si mamake klepek-klepek.. senyumannya aja mematikkan, dan aura yang ditampilkannya begitu maskulin. Untuk seorang pria, mungkin ia termasuk pria yang penuh dengan kehangatan dan berbagai hal positif di dalamnya. Dan tentu itu akan sangat bagus buat si cebol yang mengeluarkan aura negatif setiap harinya -Batin Jack dengan terkikik geli.
"Saya kira umur kita tidak jauh berbeda, jadi bisakah kita tidak berbicara formal?" Tanya dengan nada bersahabat yang membuat sang dokter tersenyum ramah kepadanya.
"Ya, mungkin kau ada benarnya, baiklah.. namaku Febrian, dan nama-mu?" Melihat sang dokter menyodorkan tangannya, Jack pun langsung menjabat tangan sang dokter. Okay, jangan anggap Jack maho atau semacamnya.
He's totally normal! (karena saya sendiri sebagai Author gak tega klo dia beneran maho :')
"Jack. Jadi, Febrian?"
"Yap? Owh, bolehkah kita berbincang sambil berjalan? Karena saya harus mengecek satu pasien saya lagi yang kemarin baru saja sadarkan diri." Mendengar ucapan Febrian membuat Jack membelakkan matanya
"Kemarin baru saja sadar? Itu adikku!" Ucap Jack tanpa sadar yang membuat Febrian takjub.
"Wow.. suatu kebetulan yang tidak direncanakan.. jadi dia benar adikmu?" Tanya Febrian yang menyadarkan Jack yang tadi berbicara dengan sendirinya.
"Hah? I-iya.. suatu kebetulan kau benar.. Uhm ngomong-ngomong, apakah aku ingin bertanya sesuatu mungkin ini bersangkutan dengan ilmu kedokteran..?" Tanya Jack ragu dengan pertanyaan yang sebenarnya ada sangkut pautnya dengan sang adik.
"Tentu.. sebagai seorang dokter sudah semestinya saya membantu pasien, walau kau bukan pasien-ku namun kau tetaplah keluarga pasien, dan apalagi itu maslaah kedokteran. Apa yang ingin kau tanyakan?"Tanya Febrian dengan melihat catatan-catatan buku pasiennya yang seharusnya dipegang oleh Kaylie, suster yang membantunya. Namun sangat disayangkan, dirinya mengambil cuti karena adiknya sedang merayakan hari pernikahan.
"Apakah mungkin bila seseorang mengidap trauma terhadap rumah sakit?" Mendengar pertanya Jack membuat Febrian menghentikan langkahnya dan menolehkan kepalanya kearah Jack yang penasaran dengan jawaban Febrian.
"Trauma? Secara medis, mungkin saja. Karena trauma bisa disebabkan oleh berbagai hal, dari lingkungan terdekat, ataupun tidak. Tergantung drai faktor pemicunya. Ada beberapa kasus dimana ia trauma dengan hal-hal aneh ataupun tidak. Tapi itu tidak bisa disalahkan, karena itu semua ada penyebabnya. Tapi itu tergantung dengan jenis trauma yang dialaminya, apakah itu trauma fisik atau penyakit. Dan pertanyaanmu tadi.. trauma dengan rumah sakit? Jawabannya mungkin, karena trauma bisa ditimbulkan dari tekanan mental ataupun gangguan psikologis si korban. Walau mungkin kau berfikir itu sedikit aneh dengan trauma dengan rumah sakit. Namun disisi lain, itu memang kemungkinan terjadi. Kita tidak tahu bukan apa yang dirasakan dari si korban atau yang dialami si korban sehingga ia trauma dengan rumah sakit, bukan?" Jelas Febrian dan kembali berjalan menuju kamar adiknya Jack.
"Tapi apa penyebabnya?" Tanya Jack yang masih kurang puas dengan jawaban Febrian.
Febrian yang mengerti rasa penasarannya belum bisa terjawabkan menghela nafas, "Untuk mengetahui hal itu, kita perlu mengetahuinya melalui mulut sang korban sendiri. Karena sama halnya seperti yang saya katakan. Kita tidak tahu apa yang korban itu rasanya atau alami sampai ia mempunya rasa trauma itu. Bila sang korban dapat terbuka dan menceritakan traumanya, mungkin solusi adanya suatu perubahan dari traumanya akan ada. Namun bila sang korban tidak terbuka, maka kemungkinan suatu perubahan dari rasa traumanya kecil." Jelas Febrian lagi.
"Baiklah, mari kita masuk ke ruangan adikmu untuk melakukan check up lagi setelah kemarin ia sepertinya masih membutuhkan istirahat. Dan bila kau ingin info lebih lanjut mengenai pengobatan tentang trauma itu... kau bisa berkonsultasi dengan seorang psikolog. Karena mungkin ia lebih mengerti dengan segala gangguan mental seseorang." Jawab Febrian dengan menepuk bahu Jack.
Jack mendengar jawaban itu pun tersenyum kecut. Bagaimana mau dibawa ke psikolog? Adiknya pasti langsung ngamuk-ngamuk karena beranggapan dirinya sudah dianggap gila dengan hanya trauma yang dimilikinya. Bahkan ia berani bertaruh, belum sampai rumah sakit. adiknya pasti akan kabur.
Pintu kamarpun terbuka membuat ruang rawat inap yang tadinya ada seorang wanita muda terbaring, kini terlihat kosong dengan tempat tidur yang berantakkan dan tiang infus tanpa infusnya. "Loh kok kosong?" Gumam Febrian bingung mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan hasilnya nothing.
"Kosong?" Pekik Jack ikut mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan dan memang benar tidak adiknya sama sekali. Dan tebakan negatifnya benar, adiknya kabur.
"Oh tidak.. ini benar terjadi," Gumam Jack dan menarik rambutnya kesal.
Febrian yang melihat hal itu pun bertanya, " Ada apa? Mungkin saja ia sedang jalan-jalan? Tapi seharusnya itu tidak mungkin terjadi mengingat kondisinya masih lemah.."
Jack yang mendengar pertanyaan Febrian semakin gusar, " Semua hal mungkin Vania lakukan untuk tidak berada di rumah sakit!" Mendengar pernyataan Jack, Febrian melebarkan matanya.
"Jaid, adikmu yang trauma dengan rumah sakit?" Tanya Febrian dengan polos.
"IYA!"