š¼šš¼
"Bagaimana El? sudah ketemu?" tanya Aalona setelah duduk di lantai yang terbuat dari daun teratai.
"Belum, ini sedikit sulit."
"Baiklah, aku memakluminya. Terima kasih sudah membantu."
"Ini kewajibanku juga Aalona. Selain temanku, kau juga penerus kerajaan kita."
Keduanya kini berkutat pada tumpukan buku. Mudah saja, mereka mengumpulkan buku-buku yang sudah usang. Berjam-jam mereka habiskan hanya untuk bergelut dengan buku-buku berdebu dihadapannya itu. Sesekali Aalona kembali ke kamar sang Bunda hanya untuk menyuapi rodu ataupun aimas. Tak banyak yang dilakukan Alena, sepanjang pagi hingga siang ini hanya berbaring. Sesekali ia merespon Aalona dengan senyuman tipisnya.
Sedangkan di lain tempat, Deryl, Berly, Paman Guarly, dan para pengawal kerajaan tengah sibuk memperbaiki beberapa sisi kerajaan yang ambruk karena hantaman bebatuan di sekitar air terjun. Mungkin bagi manusia biasa batu itu hanya sebesar biji semangka, tapi bagi kaum mailnera, besarnya sama atau sesuai ukuran kepala mereka. Jadi tak kaget jika dapat menghancurkan sebagian kecil sisi kerajaan. Apalagi tembok pelindung kerajaan mereka terbuat dari lapisan bunga teratai. Itulah yang menandakan bahwa kerajaan teratai benar-benar ada. Yaitu di samping air terjun milik salah satu desa terpencil di Indonesia.
"Aku menemukannya!" pekik Aalona yang membuat Elina terlonjak kaget. Gadis berambut sebahu itu bukannya melanjutkan pencarian buku, tapi malah tertidur. Aalona tak memusingkannya, ia paham betul kalau Elina pasti sudah kelelahan. Diangkatnya tinggi-tinggi buku berjudul : Sejentidatmai. Dibagian paling bawah sampul buku tertulis : cinta dan mantera.
"Tunggu apalagi Lona? cepat baca!"
"Aiiish... benar juga." Kedua netra Aalona bergerak ke kanan-kiri lalu menurun dan kembali ke kanan-kiri lalu menurun. Begitu terus dan berkali-kali hingga bunyi sseet... tanda buku di balik masuk ketelinga Elina maupun pembacanya.
Bukannya Elina tak penasaran, ia hanya ingin memberikan privasi kepada Aalona. Bagaimanapun juga ini ruangan khusus keluarganya dan buku-buku itu juga milik keturunan Raja. Ia seharusnya tak berhak untuk tau lebih dalam meskipun rasa gatal ingin membaca menggilai Elina. "Sabar Elina, kau masih bisa membaca buku yang lain," batinnya menenangkan. "Huh, sama saja, yang di baca Aalona saat ini tak pernah kubaca dan itu membuatku ingin meraihnya sekarang. Pasti isinya keren dan menantang!" gumamnya dengan bahu yang mendadak lesu.
"Aku sudah mengetahui obatnya."
"Membacamu sudah selesai?" Aalona mengangguk cepat dengan tangan memberesi buku-buka yang tergeletak acak-acakan di lantai. "Cepat sekali!" Aalona hanya menanggapi Elina dengan deheman.
Begitu semuanya tertata rapi ia menatap Elina dan menggandengnya keluar. "Setelah ini ikutlah aku ke matera, aku akan menyiapkan diriku. Aku akan pergi, mungkin tak sampai tiga hari. Mulai malam ini mintalah pada Bundamu untuk menjaga Ratu Alena di kamarnya. Aku lebih suka Bibi Mely yang menjagai Bunda."
"Baiklah Lona. Tak ada yang bisa kulakukan selain patuh."
"Menyinggung soal kepatuhan, aku tak menyangka kalau hari ini aku sudah benar-benar menjadi Putri. Seorang Putri yang harus memimpin sebuah kerajaan, bahkan di saat usiaku masih tujuh belas tahun."
"Apakah sekarang saatnya aku memanggilmu Putri Aalona?" tanya Elina sambil menengok ke arahnya.
"Bukankah saat pengumuman Bundaku pagi tadi aku sudah bilang, jangan panggil aku Putri sebelum aku menikah?! kau ini! aku tak nyaman."
"Ya-ya... baiklah Aalona."
"Nah, begitu."
"Tunggu, apakah aku boleh tau obat untuk Ratu Alena?"
"Air terjun dekat kerajaan kita."
"Bukannya itu mudah sekali?! mengingat, kalau kita sering sekali terkena air itu jika main ke kolam. Itu mudah, bukan?"
Aalona menggeleng. "Menurut buku sejentidatmai ini..." sambil menunjukkan buku dalam genggaman tangan kirinya yang bisa dibilang tebal. "...aku harus berubah menjadi manusia dan mengambil air itu langsung dari air terjunnya menggunakan botol manusia."
"Hah?!"
"Ya, dengan begitu aku bisa menyembuhkan Bunda."
"Memangnya kita bisa menjadi manusia?"
Aalona lagi-lagi menggeleng. "Hanya keturunan raja. Itupun dibatasi oleh umur."
Tak terasa keduanya sudah sampai di matera. Elina yang masih penasaran kembali bertanya, "dan... bagaimana caranya?"
"Menggunakan beberapa mantera. Bersyukurnya aku, karena aku sudah berumur tujuh belas tahun." Elina berusaha meresapi suara Aalona yang masih serius menjelaskan. "Mantera itu berlaku beberapa tahun saja, tidak selamanya. Masa berlakunya hanya di saat umurku yang sekarang ini sampai tiga puluh tujuh tahun nanti."
"Wow! aku baru tahu ini."
"Ya, akupun sama."
"Apapun itu, aku doakan yang terbaik untuk keluarga kerajaan dan para kesejahteraan mailnera."
"Ya, kau benar El! dan ada satu lagi yang baru kuketahui."
"Apa itu?"
"Untuk pasangan raja atau ratu teratai yang berasal dari manusia juga dapat memakainya. Maksudku kalau manusia itu sudah menikah dengan raja atau ratu mailnera. Hanya saja bedanya, batasan penggunaan mantra itu sepuluh tahun lebih awal. Untuk manusia dari umur tujuh belas tahun hingga dua puluh tujuh tahun saja."
"Aku sepertinya mengerti, dan... itu kalau manusia menikah denganmu, Aalona?"
"Ya, seperti itulah..." ucapnya asal, tapi begitu otaknya sinkron, "eh--HEI! tapi aku tidak berpikiran sampai ke sana! kamu ini! aku tidak akan menikah bersama salah satu manusia di bumi ini."
š¼šš¼
Gimana? masih dan terus berusaha :) detik-detik menuju ending---eeh... maksudku ketemu manusia biasa :)
*) ada yang mau rodu?
God bless you