Selamat membaca💙
🌼👑🌼
Dua pasang kaki itu kini sampai di depan air terjun yang tak terlalu tinggi, hanya 6,5 meter. "Apa itu tempat tinggalmu?" Tangan kanan menunjuk puluhan bunga teratai yang cantik-cantik sehingga tampak bersinar. "Maksudku kerajaanmu. Apa benar Putri Aalona?" goda Alvison lalu meliriknya dengan genit.
"Kau ini!" memutar bola matanya. Namun, setelah itu Aalona tersenyum. "Ya, itu benar. Apa menurutmu tempat tinggalku indah?" Yang ditanyai mengangguk.
"Sangat cantik. Seperti pemimpinnya."
"Sepertinya bualanmu membuat perutku bergejolak. Ingin muntah..." balas Aalona lalu membawa tubuh mereka duduk di batu yang tak jauh dari air terjun. Batu pertama yang diduduki setelah berubah menjadi manusia biasa.
"Jawabanmu membuatku ingin membawamu pulang ke rumahku, my Aal," ucapnya keras-keras sambil mengelus pergelangan kaki yang sedikit masih sakit.
Aalona yang tak tahu ingin menjawab apa hanya tersenyum kikuk. "Kau tunggu di sini saja ya, aku akan mengambil airnya. Mana botol itu?"
Diserahkannyalah botol plastik kosong yang dia bawa sejak Aalona memapahnya. "Hati-hati!" Perempuan itu tersenyum dan mengiyakan.
Setelah itu, Aalona bergerak melepas sepatu putih yang sejak kemarin menemani perjalanan. Alas kaki itu berhasil membalut telapak kaki dengan baik. Bagaimana tidak, dress dan sepatu yang tiba-tiba melekat di tubuhnya ketika berubah menjadi manusia, bukanlah benda biasa. Terbentuk secara ajaib usai Aalona menyebut mantera.
Pastinya barang-barang itu bukanlah barang biasa bukan? Jangan lupa, mahkota bunganya juga menghilang dengan sendirinya di gantikan dengan jepit bunga teratai.
Tak lama jari-jari kaki 'Putri Teratai' terendam air yang terus mengalir. Pusat air sudah di depan mata. Meskipun masih beberapa langkah, Aalona bisa berjalan tanpa tersendat.
Semakin jauh berjalan, semakin dalam juga punggung kakinya tenggelam. "Tidak dalam. Aah... Jadi ingin berendam!" pekiknya saat sudah sampai persis di depan tumpahan air yang saat ini terjun secara normal.
Hanya mencapai setengah betis sekarang. Air terjun meluncur dengan mulus dan pelan-pelan. Ia cukup senang melihat pemandangan di depannya ini.
"Eh, aku sampai lupa menigisi!" Dibukalah tutup botol plastik warna biru itu. Cepat-cepat diarahkan tangannya yang menggenggam botol pada tumpahan-tumpahan air. "Akhirnya, selesai!" seru gadis berambut sepinggang itu sambil menutup benda yang menyerupai tabung di tangan kirinya.
Aalona pun berbalik. Kembali mengarahkan kaki untuk menghampiri Alvison yang tengah menatapnya dari kejauhan. Dengan tangan laki-laki itu yang masih saja asik mengelus salah satu pergelangan kaki.
Berterimakasih pada Juru Takdir yang telah mempertemukannya dengan Alvison. Sebenarnya ia takut kalau manusia yang akan dijumpai berlaku buruk. Tapi ternyata, seorang Alvison adalah lelaki yang peduli. Bahkan menerima kenyataan dirinya yang bukan manusia asli. "Bagaimana? sudah?"
"Sudah," jawabnya yang kini berada di sebelah Alvison.
"Lalu apa yang harus kita lakukan setelah ini?" Aalona mulai berpikir. Tak dijawab-jawab oleh gadis itu, Alvison menggeram. "Hei! setelah ini apalagi my Aal? kau malah diam."
"Tunggu sebentar. Aku juga harus berpikir. Memangnya aku bisa langsung merencanakan sesuatu tanpa berpikir?"
Alvison mengangkat bahu. "Siapa tahu? bisa saja kamu lebih hebat dariku. Punya IQ yang sangat jauh di atas rata-rata. Bisa dikatakan makhluk ajaib."
"Bukan. Aku hanya makhluk mungil yang kini memiliki otak seperti manusia normal. Jadi, aku perlu waktu berpikir, Al..." Alvison mengangguk saja. Ia lebih fokus pada rasa nyeri di kaki.
Sebelumnya, penerus kerajaan bunga teratai itu sudah mengira kalau membutuhkan bantuan lelaki di sampingnya ini. Gadis itu merasa kalau kedatangan Alvison bukanlah sebuah kebetulan. Ketika membaca buku sejentidatmai yang isinya cinta dan mantera, Aalona tidak diberikan petunjuk apapun tentang cara apa yang harus dilakukan untuk penyembuhan Alena. Selain lewat botol yang dipangku saat ini.
"Sepertinya kau memang dikirim Sang Pencipta untuk membantuku."
"Bagaimana bisa?"
Aalona manggut-manggut. "Ya, kita harus mencoba rencana pertamaku. Aku harap ini berhasil. Dan... cara ini melibatkanmu, Alvison."
"Tak masalah, kalau aku bisa membantu, aku akan dengan senang hati membantumu."
"Terima kasih sebelumnya untuk semua yang kau lakukan untukku." Alvison tersenyum "Jadi, sekarang kujelaskan apa yang harus kau lakukan. Dengar baik-baik."
"Oke!"
"Kau harus mendekati kumpulan bunga teratai yang tadi kau tunjuk, asalku. Kau bawa botol plastik ini." tunjuk gadis itu pada benda yang kini ia pegang erat. "Begitu aku berubah menjadi mailnera lagi, aku akan menyuruh seluruh pengawal istana membawa Bundaku ke gerbang kerajaan agar lebih dekat dengan posisimu berdiri. Lalu, tuanglah air ini di balik tutup botolnya. Agar Bunda bisa meminumnya lebih mudah, kau letakkan saja tutup botol itu di atas daun teratai. Kau paham?"
Alvison yang sedari tadi fokus menyimak penjelasan Aalonapun mengangguk paham. "Oke, laksanakan sekarang?
"Ya! ayok!"
Alvison menerima sodoran botol dari Aalona. Sedangkan perempuan itu dengan sigap menuntun Alvison. Mereka perlahan mengarungi air dengan kaki telanjang.
Tangan kiri Alvison yang nangkring di bahu Aalona, digunakan untuk membawa botol. Sedangkan tangan kanan, digunakan untuk membawa sepatu hitam miliknya.
Aalona sendiri, tangan kiri menjinjing sepatu putih. Untuk telapak tangan kanannya sendiri, sudah melekat di pinggang Alvison yang tertutup kaos hitam. "Kau tau Al, kita melupakan sesuatu."
"Apa itu?"
"Mandi. Kau tahu, merasakan jernihnya aliran ini membuatku tak sabar ingin bermain air."
Alvison tiba-tiba tertawa. Benar-benar tertawa. Aalona sampai terheran-heran dibuatnya.
"Bocah! menggemaskan, ternyata kau belum pantas disebut gadis remaja, my Aal."
"Terima kasih sudah mengatakan kalau aku menggemaskan. Tapi, aku tidak bohong! aku dan teman-temanku bahkan sering melakukannya. Umur tujuh belas tahun itu aku baru bisa merasakan kebebasan bermain. Itu sangat seru Al!"
"Oh ya? lalu di mana kamu menghabiskan masa kanak-kanakmu?"
"Di istana."
"Istana?"
"Iya, kenapa harus terkejut?"
"Kamu anak raja?" Aalona mengangguk. "Jangan bilang kalau kamu, penerusnya?" Aalona mengangguk lagi. "Pantas saja! tidak mungkin kalau bebas bermain. Pasti banyak perintah dan larangan yang kau terima sejak kecil."
"Kenapa kau bisa tahu?" tanya Aalona mulai penasaran.
"Ya, aku mengalaminya. Menjadi anak tunggal membuatku terkurung di rumah. Meskipun aku anak laki-laki." Alvison tersenyum.
"Jangan pernah bersedih lagi. Jangan menangis kalau hal yang kau tangisi tidak pantas untuk ditangisi, karena bukan hanya dirimu yang menghabiskan waktu bersama sepi. Ingat, kita sama. Aku sama seperti dirimu.
"Kau?"
Alvison mengangguk. "Ya, masa kecilku persis sepertimu. Aku sangat tahu perasaanmu, Aalona. Aku juga tahu, kalau gadis yang menuntunku ini gadis tangguh." Alvison menatap Aalona dalam-dalam sambil tersenyum. "Berjanji padaku untuk selalu tersenyum, my Aal."
🌼👑🌼
Gimana? Ada yang mau disampaikan?
See you :)
God bless you <3