"Aku harus mencari kemana..." hanya rangkaian kata itulah yang terlontar selama setengah jam usai Aalona berubah. Sedangkan tubuhnya tetap diam di sana. Duduk di batu besar, letaknya lumayan jauh dari air terjun namun masih di alirannya, lebih tepatnya agak menepi.
"Di sini juga tak ada penduduk. Airnya terlihat jernih, apa memang jauh dari pemukiman?" pikirannya mulai bekerja setelah bermenit-menit melamun dan menikmati hawa sejuk. Anehnya, langit yang masih mendung belum memberikan sinyal untuk hujan. Gerimis pun sepertinya enggan turun.
"Emh... kalau itu benar berarti---yaaah..." Aalona menggeleng kuat-kuat. "...tidak-tidak! Itu takkan terjadi!" Bayangan untuk mendapatkan wadah yaitu botol dengan waktu yang lama dan terasa sulit, tiba-tiba masuk begitu saja ke dalam otaknya. "Kalau begitu, aku harus bagaimana?" pikir perempuan itu lebih keras lagi. Ah bodoh sekali kau Aalona... "Sudah pastilah... aku harus cepat mencari penduduk atau menemui seseorang yang bisa menolongku!"
Kenapa menjadi manusia membuatku sulit berpikir jernih? memalukan... bagaimana kalau para rakyat tau aku seperti ini? huh, jangan sampai!
Aalona melirik bunga-bunga teratai yang berjarak tiga meter dari tempatnya bersantai. "Aku pasti cepat kembali." Lalu bangkit dan berjalan ke tepian hingga sepatunya sudah menginjak rerumputan. "Rasanya aneh." Bagaimana kakinya tidak merasa aneh, benda basah yang melindungi telapak kakinya itu, ia pakai.
Tak terasa, sejauh 2km sudah perempuan cantik itu lewati. Kakinya yang kuat, sedikit merasakan letih. Namun, tanda-tanda pemukiman penduduk belum juga ia jumpai. Yang ada hanyalah suara burung saling bersahutan, memberitahu bahwa hari sudah semakin petang.
Lalu tubuh Aalona mendadak oleng. "Aduh..." karena minimnya cahaya yang membuatnya sulit melihat jalan, salah satu kakinya tersandung batu. Beruntung, tidak terlalu besar size-nya. "Ayo, semangat! sedikit lagi pasti sampai!" Aalona berseru sambil bangkit dan mengusap telapak tangan serta tubuh bagian belakang. Aalona yakin, kotor.
Selang beberapa langkah, gadis yang memiliki paras cantik itu diam terpaku. Matanya menangkap sosok lelaki bertubuh sexy, berpakaian kemeja biru tua dengan celana panjang warna hitam, juga dengan sepatu bertali nan rapi warna hitam pula. Laki-laki itu tengah terpejam dengan tubuh menyender pada batu besar. Tak ada pikiran baginya kalau-kalau celana itu bisa saja sudah kotor parah. Apalagi di atas rumput tanpa alas apapun.
Berbicara mengenai kaki pemuda itu dan menatap lurus ke depan membuat Aalona bergumam, "kurasa ia lelaki tinggi pertama yang kujumpai..." Aalona melirik ke samping dan kembali berkata, "Eh, maksudku manusia tinggi yang pertama kali kulihat!"
Tersadar karena volume suara yang cukup keras dari perkataan Aalona, mata yang semula tertutup perlahan terbuka. "Hah?!"
Refleks Aalona meminta maaf, "aku bukan bermaksud untuk mengganggumu. Jadi, lanjutkan saja acara istirahatmu. Sekali lagi aku minta maaf." Ia benar-benar malu dan merasa tak enak. Di tambah wajah mengantuk dan kelelahan dari sosok di depannya membuat Aalona tak tega.
"Kenapa di sini? ini hutan, bahaya untuk perempuan. Apalagi ini sudah malam." Bukannya memarahi Aalona yang sudah mengusik tidurnya, dia malah mengkhawatirkan perempuan di depannya.
Aalona yang awalnya menunduk menatap kakinya kini bergerak memandangi wajah pemuda itu. "Kau tidak memarahiku?" tanya Aalona heran.
Pria itu terkekeh pelan. "Untuk apa?"
"Aku sudah mengganggu tidurmu."
"Enggak masalah. Aku bahkan pernah tidur tiga jam sehari. Ngomong-ngomong, apa kamu enggak lelah berdiri di sana? duduklah." Aalona mengangguk tanpa menjawab. Perempuan itu hanya menjalankan perintah pemuda yang kini di samping kirinya. "Ah iya, tadi kamu belum menjawab pertanyaanku, kenapa kamu ada di sini?"
Aalona ragu untuk menjawab. Apa harus menceritakan padanya siapa aku, dari mana asalku, apa maksud tujuanku? Apa harus sekarang? Sampai ia tersadar oleh tepukan halus di kedua pipinya. "Maaf." satu kata keluar. Cuma itu.
"Kamu kayaknya butuh istirahat. Tendaku nggak jau dari sini. Kamu mau?" gadis itu bingung antara menjawab iya atau tidak. Aku belum tau sifat manusia seperti apa. Apa baik seperti mailnera? Guratan ragu di wajahnya tebaca laki-laki itu. "Aku nggak akan apa-apain kamu. Lihat kamu, aku jadi inget Mama." terdengar tulus dan ekspresinya terbilang jujur di mata Aalona.
"Aku mau. Maaf sudah meragukan kebaikanmu. Terima kasih."
"Sama-sama."
Kini keduanya berjalan beridampingan. Merasa ada yang kurang, lelaki itu kembali bersuara. "Sebelumnya kita belum kenalan. Kalau boleh tau siapa namamu?" tanpa memberikan uluran tangan. Entah kenapa ia takut kalau perempuan itu malah menjauhinya kalau saja mereka bersentuhan.
Aalona menoleh. "Aalona." sambil tersenyum manis.
Ia tak tahu bahwa dampaknya membuat lelaki itu tak berkedip untuk beberapa detik. "Senang bertemu denganmu, Aalona." ucapnya kemudian, setelah sadar dengan sendirinya. Kamu cantik. "Aku harap kamu bukan hantu yang menyamar sebagai gadis termanis yang pernah aku temui dalam dua puluh tahunku di bumi ini..." batinnya.
"Aku juga. Lalu, kamu sendiri?"
"O-iya... Ekhm, aku Alvison."
Aalona lagi-lagi tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Nama yang bagus, sebagus wajah dan sikapnya. Entah kenapa aku merasa bahwa dia adalah manusia yang baik. Aku beruntung berkenalan dengannya. Aku harap kamu memang lelaki yang baik, Alvison," gumam Aalona dalam hati.
🌼👑🌼
Akhirnya😊 si tampan muncul.
Gimana? Aku masih dan terus berusaha iniii😉😂
See You😘
Gbu😇