Chereads / The Decision / Chapter 9 - Bab 6

Chapter 9 - Bab 6

Selamat membaca💙

🌼👑🌼

Sang Surya nampak perlahan menunjukkan diri. Langitpun terlihat sedikit lebih cerah dari hari sebelumnya. Jauh di dalam desa, lebih tepatnya lagi di tengah-tengah hutan, sebuah tenda menampung seorang gadis. Padahal ia bukanlah pemilik dari benda untuk berkemah itu. Kebiasaannya sedari kecil yakni bangun pagi-pagi sedikit berperan sekarang ini.

Tidur nyenyak pemimpin mailnera itu mulai terusik, dan perlahan sepasang mata mulai terbuka. Teringat, Alvison tidak ikut tidur bersamanya. Secepat mungkin Aalona bangkit dan beranjak keluar.

"Hai! sudah bangun... apakah tidurmu nyenyak?" refleks memberikan senyum lebar.

"Hai Alvison. Seharusnya aku yang bertanya seperti itu."

Mendengar itu Alvison terkekeh. Aalona lantas menyusul lelaki yang duduk beralaskan kain kotak-kotak merah-hitam selebar satu meter, di samping tenda. Di depannya sudah tersedia satu plastik berisi roti tawar dan botol plastik berisi air mineral.

"Jangan cemas, aku sudah biasa seperti ini. Berada di tengah hutan adalah hobiku, terutama kalau sudah lelah bekerja. Semacam liburan," terangnya sambil mendongak dan menghirup aroma hutan dalam-dalam. "Satu alasan yang membuatku betah di sini... menyejukkan. Apa kamu juga merasakan itu?" Aalona yang sedari tadi memerhatikan pemuda itu sedikit terkejut. Setelahnya Aalona mengangguk. "Nyaman bukan?"

"I-iya. Sangat nyaman. Akupun merasa bahwa sudah menyatu dengan mereka."

"Baguslah... apa kamu tinggal di dekat sini?"

Dengan mantap Aalona menjawab, "ya! tak terlalu jauh. Lalu kau?"

Alvison menggeleng. "Jauh. Sangat jauh dari sini, aku dari kota."

"Oh," singkat Aalona.

"Aku lupa. Ini, makanlah, maaf ya... Aku tidak punya selai apapun. Hanya roti itu."

"Tak masalah. Menerimaku dengan baik saja aku sudah merasa sangat beruntung. Ini sudah lebih dari cukup."

Alvison tak bisa berkutik. Ia cukup terkesima dengan jawaban perempuan yang tengah duduk dan saat ini tengah mengambil selembar roti. "Botol... Pasti botol ini yang bisa membantu kesembuhan Bunda. Sepertinya aku harus jujur. Bukannya aku didik untuk berlaku jujur? Nanti akan kuceritakan siapa diriku. Mengingat bahwa dia manusia yang baik," tutur Aalona dalam hati.

"Makan yang banyak! Buat dirimu kenyang Aalona."

Gadis berambut panjang sepinggang itu mengangguk dan tersenyum kikuk. "Aku yakin, sulit mendapatkan gadis sepertinya di masa sekarang. Dirimu membuatku semakin ingin mengenalmu Aalona. Ya, mengenalmu. Mengenalmu lebih dalam lagi. Kurasa aku mulai tertarik. Hem, atau sejak pertama kali melihatnya?"

Cukup menghabiskan waktu sepuluh menit Alvison menikmati sarapan mereka dalam kesunyian. Sedangkan perempuan di sebelahnya terlihat pelan-pelan mengunyah. Cahaya matahari semakin terang menyinari.

"Oh iya, ada yang ingin aku tanyakan padamu sejak semalam," ucap lelaki yang masih memakai kemeja polos biru tua itu, usai meneguk air putih di depannya yang sudah ada sebelum matahari terbit.

"Apa?" lalu ikut meneguk salah satu botol yang ada. "Nggak ada madu, rasanya jadi hambar. Bukannya kurang mengucap syukur, jujur saja roti yang kumakan kurang enak. Beruntunglah aku kalau di kerajaan tak ada makanan seperti ini," lanjutnya membatin.

"Kamu ke dalam hutan pakai baju macam itu? Sepatumu juga. Apa kau yakin kalau asalmu dari desa sini? Aneh saja melihatmu memakai dress seperti itu," tanya Alvison.

Penjelasan singkat Alvison lolos membuat pandangan Aalona melirik penampilan dirinya sendiri. "Sebenarnya ada suatu hal yang mau aku ceritakan. Aku juga tak nyaman menyembunyikan kebenaran lama-lama." Ditariknya napas dalam-dalam lalu menatap lekat Alvison yang kini juga tengah memandanginya.

Bukan tatapan kagum atau semacamnya, tetapi Alvison memberikan tatapan bingung, merasa aneh dengan kata 'kebenaran' yang diucapkan Aalona.

"Apalagi sifat kaumku yang terkenal menjaga perilaku. Apa kata mereka kalau sang putri malah berbelok?" senyum kecil terlukis di wajah gadis itu.

"Tunggu-tunggu." Dahi Alvison mengerut tanda ia benar-benar bingung. "Kaum? Kaum apa maksudmu? Jangan-jangan betul kalau kamu hantu? Iya? Kalau iya kayaknya enggak mungkin. Masa hantu secantik dan semanis kamu?!"

Dipuji pada akhir kalimat, hati Aalona menghangat. Ia bahkan tak mengira kalau dirinya akan di terima baik oleh manusia itu. Sangat baik. Tapi hantu? Sejenis iblis ? Jauh sekali! Mailnera saja berusaha bersikap baik dan selalu menjaga hati untuk selalu bersih sejernih air. Mana ada aku sejahat hantu?

"Sebelumnya terimakasih untuk pujiannya. Tapi untuk pemikiranmu yang pertama itu, itu sangat salah. Aku bukan hantu."

"Oh, iya-iya. Maaf, hehe..." Aku juga yakin kalau kamu bukan itu. "Lalu? Kaum yang kamu maksud itu?"

"Mailnera. Kami biasa menyebut diri kami mailnera."

"Aku tidak pernah mendengarnya. Kau serius jika bukan manusia?" tampangnya berubah terkejut begitu Aalona mengangguk-angguk tanpa ragu dan senyum tulus ikut mendampingi.

"Buk-HAH?! Bukan ma-nu-sia? Itu kamu normal!" di arahkan matanya ke atas kepala hingga ujung kaki Aalona berulang kali. "Wait, mailnera... Mailnera apa? Jujur saja ya, selama aku ke hutan manapun aku tidak pernah mengalami hal-hal aneh begini. Ini sulit diterima logika," tanyanya beruntun lantaran shock, tak percaya, dan ragu. Dirasa semua isi kepala hampir meledak.

"Maaf, aku minta maaf kalau membuatmu terkejut. Tapi, inilah aku."

Dihembuskannya napas yang keluar dari hidung dan mulutnya secara kasar. "Oke-oke. Iya, aku-aku masih tidak menyangka saja." Apa ini salah satu petunjuk Tuhan jika dia bukan jodohku? Ah! Sial!

Aalona kembali menghirup oksigen lebih dalam lagi, agar sedikit merasa lega sebelum menerangkan. "Gini, mailnera itu makhluk kecil atau mini yang tinggal di dalam bunga teratai. Tepatnya ada di dalam hutan, di samping air terjun. Nah, untuk pertanyaan kenapa aku bisa seperti manusia biasa, itu karena sebuah mantra yang kuucapkan. Bisa dimengerti?"

"Ya. Terus kenapa kamu mau mengubah diri menjadi manusia?" tanyanya yang malah semakin penasaran.

"Aku harus menyembuhkan Bunda. Salah satu caranya memakai air terjun."

"Kirain coba-coba jadi manusia, batin Alvison. Terselip rasa berharap. "Terus? Kenapa kamu di sini?"

"Aku harus pakai botol yang berasal dari manusia. Maka dari itu aku jauh-jauh ke sini cuma mau ambil botol itu."

Alvison yang mulai larut dan semakin paham hanya bisa tersenyum kecil. "Eh, ya sudah... Ambil saja botol minum plastik ini Aalona. Siapa tahu dengan memakai ini rencanamu berhasil," diangkatnya botol plastik yang sudah kosong itu seraya tersenyum.

"Kamu benar, aku baru sadar. Terima kasih ya."

"Santai saja. Ekhm... aku ganti baju dulu, gerah. Kalau kamu mau ganti juga, nanti aku pinjemkan kaosku."

"Iya. Tapi... memangnya boleh aku pinjam?"

Salah satu tangan Alvison melayang ke depan wajah perempuan berekspresi menggemaskan itu. "Polos. Makin cantik saja my Aal!" Dicoleknya hidung mancung Aalona pelan. "Bolehlah... santai saja," jawab Alvison bersama senyuman manis.

Membuat senyum malu-malu Aalona meluncur begitu saja. Dielusnya hidung yang baru saja disentuh Alvison setelah laki-laki itu masuk sambil terkekeh geli. "Ada apa dengan hatiku? Rasa hangatnya melebihi sinar matahari pagi ini. Kenapa?"

🌼👑🌼

Gimana? Selalu dan terus berusaha memberikan yang terbaik😉

See You😘

Gbu😇