Chereads / The Decision / Chapter 10 - Bab 7

Chapter 10 - Bab 7

Selamat membaca💙

°•°•°

"Kalau aku boleh tahu, apakah makhluk seperti dirimu begitu ada di semua tanaman? ah, maksudku, di dalam bunga selain bunga teratai." suara Alvison menemani langkah keduanya yang tengah bersisian itu.

Melewati pepohonan yang menjulang tinggi. Tak lama setelah keduanya bergantian masuk ke tenda untuk ganti baju, Alvison mengajak Aalona mencari kayu bakar untuk menghangatkan diri nanti malam. Pikirnya, daripada Aalona sendirian di dalam tenda. Sudah bosan, bahaya juga.

"Ada. Di bunga mawar dan juga melati. Itu yang aku tahu. Karena hampir saja aku dijodohkan oleh salah satu dari mereka."

"Dijodohkan?" Aalona mengiyakan. "Kamu mau?" kepala perempuan berkaos lengan panjang abu-abu itu menggeleng.

Saat Alvison ingin melanjutkan pertanyaan, Aalona tiba-tiba menyahut dengan suara yang dibuat tegar seakan untuk menutupi kesedihannya, "berat menerimanya. Apalagi umurku yang masih tujuh belas tahun. Tetapi memang itu yang harus aku laksanakan. Selain perintah, itu juga sudah masuk ke dalam takdir."

"Senyumlah!" ditempelkannya dua jari ke sudut bibir Aalona hingga membentuk lengkungan. "Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi, jangan pernah patah semangat!" pekiknya lalu mengacak singkat rambut Aalona. "Kamu itu cantik, tidak pantas bersedih. Oke?" sedangkan yang diajak bicara refleks kehilangan suara.

Memandangi Alvison dari dekat membuat rasa kagumnya meningkat. Apa semua manusia itu tampan sepertinya? Lebih jelas lagi, para lelaki.

Benar-benar, manis. Mirip sama kelakuan Ayah ke Bunda. Pikiran Aalona terbang jauh membayangkan sosok pria yang tujuh belas tahun menemaninya, lalu mendarat ke dalam hati. Panas-dingin ia rasa di telapak tangan. Dada dan jantung sama-sama berdegup juga memompa lebih cepat dari biasa. Ya, benar : luar biasa.

"O-oke. A-aku usahakan," jawabnya penuh kegugupan.

"Berarti kamu menerima perjodohan itu?" Aalona mengangguk tanpa beban. "Hah?! K-kamu sudah punya pasangan? maksudku, suami? iya? paham suami pastinya," tanyanya tak percaya.

"Tapi aku belum menikah. Jadi gini, raja dari kerajaan mawar dan melati belum sempat bertemu dengan Ayah karena satu hari sebelum kerajaanku bertemu dengan kerajaan mawar, Ayah sudah tiada." Senyum getir tergambar dengan sendirinya di wajah tegarnya. "Bunda turun tangan, membatalkan pertemuan antara kedua kerajaan itu yang seharusnya dilaksanakan untuk mencari anak raja dari dua kubu itu yang sekiranya cocok untukku."

"Huh, aku kira hal itu sudah kejadian. Ternyata hampir."

"Mungkin tak lama lagi akan terjadi," lirihnya yang entah kenapa tak ingin ucapan itu disetujui Sang Penentu takdir.

"A-APA?!" teriak Alvison lepas kontrol. Oh Tuhan... sangat tidak rela. Alvison tidak rela mendengarnya. Apa yang terjadi dengan rasa di dalam sana? apakah Alvison patah hati? jika mungkin iya, Alvison harus pandai menyembunyikan ketidaksukaannya.

"Kau kenapa?"

"Maaf-maaf. Tiba-tiba merasa aneh saja mendengar jawabanmu tadi," sambil membuang napas kasar. Aalona percaya saja. "Kamu lebih baik duduk saja, aku yang akab mengambil kayu bakar."

"Yakin?"

Alvison mengangguk. Aalona pun duduk di akar pohon yang cukup besar sambil memandangi Alvison. Pemuda itu tengah berjongkok untuk mengumpulkan ranting-ranting yang berserakan di atas dedaunan kering.

"Alvison, sepertinya urusanku sudah selesai di sini. Mungkin siang nanti aku akan pulang ke asalku. Maaf ya kalau aku merepotkanmu."

Laki-laki berkaos hitam itu beralih menatap Aalona. "Apakah secepat ini?"

"Ya. Aku sudah menemukan botolnya. Itu tandanya aku sudah selesai."

Alvison bangkit dan menempatkan diri di samping Aalona secepatnya. "Entah kenapa membiarkanmu pergi, sulit untuk kulakukan." Kedua tangan bergerak menangkup wajah perempuan cantik di hadapannya. "Padahal kita baru mengenal."

Diusaplah salah satu tangan Alvison yang memegangi pipinya. "Kita tak pernah tahu takdir Alvison..." Pria itu mengangguk, membenarkan pernyataan gadis yang memakai kaos dan celana pendeknya. "...kalau takdir memihak pada kita, pasti kita akan bertemu di kemudian hari. Tapi sebaliknya, kalau tidak... berarti ini pertemuan pertama dan terakhir untuk kita."

Alvison menggeleng. Ia tak suka kalau itulah yang akan mereka alami nanti. Alvison sangat tidak terima jika hal itu terjadi.

"Jika memang kalimat keduaku yang terjadi, sungguh, aku bersyukur telah mengenalmu. Kau pria yang baik... dan juga, tampan." Senyum dan kekehan Alvson terdengar, membuat Aalona turut tersenyum.

"Kedua hal itu yang membuatku..." sengaja dijeda sebentar kalimat itu. Ia terlalu gugup sekarang ini. "...menyukaimu." bersamaan dengan itu, perasaan dan senyum leganya terukir manis.

Membuat sosok yang sedari tadi mendengar dan merekam jelas pahatan-wajah-cantik-Aalona dengan kedua netranya, ikut tersenyum. Lebih lebar dan lebih bahagia dari yang Aalona rasakan. Dan yang dilakukan Alvison setelahnya, membuat Aalona tak bergerak barang berkedip sekalipun. Menikmati sensasi menenangkan, meneduhkan, dan menghangatkan yang timbul dalam hatinya.

🌼👑🌼

Sesuai ucapan Aalona pagi tadi, kini ia sudah mengganti kaos milik Alvison dengan dress bunga teratai sebelumnya. Kakinya terus berjalan, tak kenal lelah. Perasaan lega di saat mendekap botol plastik itu kian membuncah.

Terlebih bayangan wajah Alena yang tersenyum dan kembali sehat membuat kedua kakinya semakin bersemangat. Kepalanya sesekali menoleh ke belakang. Memastikan kalau Alvison baik-baik saja. "Kau yakin bisa jalan lebih jauh lagi?" tanya Aalona sedikit cemas.

"Yakin. Asal jalanmu itu pelan-pelan." Aalona seakan ikut kesakitan, hingga memejamkan sebelah matanya. "Pijatanmu tadi bekerja, tapi tidak terlalu banyak. Em... Nyeri masih terasa." sesekali meringis karena pergelangan kaki kanan yang terkilir kadang masih sakit.

"Maaf, aku terlalu merindukan Bunda. Tak sabar ingin melihatnya kembali segar." Ia pun berhenti, menunggu Alvison yang masih tertatih di belakangnya.

"Jangan meminta maaf Aalona. Kamu bahkan sedikit membantu meredakan rasa sakitnya."

Aalona tersenyum. "Sepertinya kau butuh bantuan...."

Diangkatnya lengan kiri Alvison perlahan. Lalu diletakkan di bahu sebelah kirinya. Berakhir memapah Alvison. Dengan pelan, di lanjutkannya lagi acara menyusuri jalan yang bertabur daun-daun kecoklatan.

"Peka sekali... terima kasih, my Aal."

"Maksudnya?"

"Panggilan khusus, hehe."

"Kau ini..." sambil geleng-geleng kepala Aalona melanjutkan, "bisa saja!" tawa kecil Alvison menggema setelahnya. Mungkinkah Alvison bisa kukelompokkan dalam daftar teman? Hem... Mungkin saja.

Tak bisa lagi untuk dicegah : rasa nyaman. Singgah di hati masing-masing dengan perlahan namun pasti akan mengikat keduanya. Waktu sejenak mungkin bisa mereka gunakan untuk saling melempar tatapan penuh rasa.

Tapi begitu sadar? bukankah terasa seakan di tampar dengan kencang? kebenaran bila kemungkinan kecil Aalona dan Alvison bersatulah yang menjadi problem.

Pasti berakhir perih begitu logika keduanya kembali bekerja. Saat ini, kala waktu masih ada untuk mereka berbincang lebih lama, dan berputar lambat, biarkanlah sepasang makhluk beda jenis itu menikmati. Menghabiskan momen yang sebentar lagi dengan baik dan pasti akan sirna secara cepat. Biarkan Aalona merasakan kehangatan itu sebentar saja. Barang sehari saja.

"Memang iya Aalona. Tidak suka ya?" tanya Alvison ragu.

Sontak Aalona geleng-geleng kepala. "Enggak... Aku suka! ya, dengan begitu, mungkin awal yang baik untuk kita berteman. Bukan begitu?"

Dengan garis melengkung lebar di wajahnya dan matanya yang berbinar, Alvison menjawab, "Benar. Kamu benar. Benar sekali. Awal yang baik untuk pertemanan kita." Aalona ikut senang mendengar penuturan Alvison yang terdengar bersemangat. Ia mengangguk seraya tertawa kecil. "Em... Teman dekat. Ekhm... apakah tidak keberatan?"

Tawa Aalona terdengar semakin riang. Pandangannya yang mengunci kedua mata Alvison. Membuat lelaki itu semakin terkesima dengan kecantikan Aalona. Kau manis sekali... ditatapnya mata Aalona lekat-lekat.

Bersamaan dengan senyum tulus dan usapan lembutnya di tangan lelaki yang ia papah itu sang putri berujar penuh tekad, "apapun, untuk pertemuan kita."

"Wauw...! secepat ini kita berteman dekat?" Aalona mengangguk. "Terima kasih."

"Tak masalah. Tapi, saat ini kita pikirkan kakimu dulu. Itu lebih penting." sebelum Alvison membantah perkataannya, ia melanjutkan, "Jangan membantah perkataanku. Ini demi kesehatanmu juga. Bagaimana kalau kau kutinggalkan dalam kondisi yang semakin parah?"

"Jangan sampailah!" seru Alvison "Apa kau tega?" sambungnya di dalam hati.

"Ya sudah. Turuti saja nasehatku. Apa susahnya? mudah bukan?"

"Hem... baiklah, terserah dirimu saja. Aku akan menurut," pasrah Alvison. Kemudian mengunci bibir sambil memandangi jalanan berbatu, juga berpasir, di bawah sepatu hitam bertalinya.

Sedangkan Aalona dalam hati tertawa puas. Tak tahu kenapa, Alvison dapat membuatnya bahagia dengan mudahnya. "Oke!" pekik Aalona kemudian seraya mengeratkan tangan kanannya yang melingkar di pinggang Alvison sedari tadi.

🌼👑🌼

Gimana? Aku masih dan terus berusaha😉 rasanya nggak mau mereka pisah 😑

*) yang nulis baper sendiri😂

See You😘

Gbu😇