Selamat membaca š
š¼šš¼
"Aalona, apa kamu baik-baik saja?" tanya Alena begitu putrinya sudah ada di dalam Istana Teratai. Ia pun mendekatinya. Tangannya bergerak untuk mendekap tubuh mungil sang putri.
"Baik Bunda, maaf jika Aalona membuat Bunda cemas."
Pelukan Alena mengerat. "Tak apa. Bunda khawatir saat tidak melihatmu di matera. Bunda juga takut saat kamu tak ada di meuni."
"Maaf Bunda, tapi apakah boleh Aalona ke matera? Aalona ingin di sana. Teman-teman Aalona juga sudah menunggu di sana."
Dengan senang hati sang Bunda mengurai pelukannya. Ia paham, baru beberapa bulan ini sang putri terbebas. Berhubung umurnya sudah tujuh belas tahun, ia dibolehkan untuk bermain di luar istana. Bahkan membangun matera yang sudah boleh ia gunakan di usia remaja seperti sekarang.
"Boleh. Tapi Bunda mohon, sekarang ini jangan pergi dari istana maupun matera. Dan... jangan ke meuni, saat ini terlalu rawan."
Matera adalah rumah kecil khusus milik Aalona pribadi. Tempatnya tidak jauh dari istana, hanya berjarak dua ratus meter. Rumah mungil itu biasa Aalona gunakan untuk melepaskan rasa jenuh di dalam istana.
Bahkan matera sendiri didesain sesuai keinginan Aalona. Semua barang yang ada di dalamnya pun ia tata sendiri. Tak banyak isinya, yakni ranjang yang muat untuk dua mailnera, bangku beserta mejanya, alat pendingin madu, sendok dan wadah guna mengumpulkan madu, terakhir lemari berisi gaun pendek yang sering ia pakai, biasanya terbuat dari daun dan bunga teratai.
Sedangkan rumah yang berukuran sedang, biasanya dihuni oleh para penduduk kerajaan Teratai biasa, disebut madara. Ukurannya tiga kali lipat lebih besar dari matera. Hampir 70% mailnera dari kerajaan Teratai, bertempat tinggal di madara.
Lalu, apakah ada yang lebih besar dari madara? jawabannya, ya! tentu saja ada. Namanya adalah rugadara. Rugadara biasa dipakai untuk para pengawal dan penjaga istana maupun penjaga seluruh kerajaan. Rugadara diciptakan guna menghargai kerja keras mereka. Untuk desain, Bunda Aalona sendirilah yang menangani, ukurannya pun tak main-main yaitu dua kali lipat lebih besar dari madara.
Di antara teman-teman Aalona, hanya keluarga Berly yang memilikinya karena sang ayah adalah pengawal istana. Sedangkan Deryl dan Elina, mereka adalah penduduk biasa. Anak dari warga yang bekerja sebagai pencari madu. Terkhusus bagi penasehat raja, diperbolehkan tinggal dalam istana.
Siapapun yang datang ke Istana Teratai maupun menginap, tak perlu sungkan. Penduduk biasa pun boleh, hanya saja jangan menginap ke wilayah khusus raja dan sang keluarga. Mereka memerlukan waktu dan tempat pribadi. Luas ruangannya tujuh kali lipat lebih besar dari madara. Namanya adalah magadsana.
"Baik, Bunda. Aalona permisi." Senyum kecil ia tunjukkan. Sebelum berbalik, ia sempatkan untuk merangkul singkat Alena.
"Hati-hati!" teriak Alena dengan tangan menjulur ke atas, melambai kala Aalona berlari kecil di bawah guyuran hujan yang lebat. Dirinya tidak khawatir, karena air adalah sahabat kerajaan Teratai. Tak ada air, matilah dirinya dan seluruh rakyatnya.
š¼šš¼
"Aalona! bagaimana?" Elina yang tadinya sudah tak sabar ingin merebahkan dirinya di ranjang putri sang raja itu kembali membenarkan posisi duduknya, tepat setelah pemiliknya datang.
"Bunda khawatir. Aku jadi merasa bersalah tadi."
Mahkota bunga bernama manaelama ---terbuat dari rangkaian bunga teratai, melati, dan mawar--- yang menghiasi kepala, ia letakkan di atas meja. "Deryl mana?" karena sosok yang ia cari tak ada di matera.
Berly meletakkan kembali kue madu ---rodu--- yang tadi sempat dicicipinya. "Kembali ke lokasi gawat tadi, katanya mau nolongin beberapa mailnera di sana," sahutnya dari kursi yang ia duduki, persis di samping Aalona berdiri.
"Lona, apakah aku boleh bertanya sesuatu? tapi aku takut kalau pertanyaanku membuatmu tersinggung...." Aalona yang tadinya berdiri, kini mendekati Elina dan ikut duduk di ranjangnya. "....tapi aku sendiri sudah sangat penasaran."
"Tanyakan saja," ucapnya santai seakan tak peduli dengan sesuatu yang dimaksud perempuan berambut merah tua sebahu di hadapannya.
"A-apa raja tak me-men, ekhm..." lalu melanjutkan penuh hati-hati, "men-jodoh-kan-mu?" napasnya mulai berjalan seperti sedia kala setelah ia berdeham sekali lagi.
"Aku pernah membaca, putri raja harus menikah di umur tujuh belas tahun. Sedangkan untuk pangeran, atau anak laki-laki keturunan raja harus menikah di usia dua puluh tahun."
"Ah itu... Ayah sudah pernah membicarakannya. Besok putra dan raja dari kerajaan Mawar akan ke sini. Besoknya lagi kerajaan Anggrek, dan terakhir adalah lusa, waktunya kerajaan Melati. Ayah ingin mengenal seluruh kerajaan di sekitar kita dengan baik..." terangnya tanpa keberatan sama sekali.
"Secepat itu?!" Berly yang tak menyangka. "Besok? Kamu bahkan belum bercerita apa-apa."
"Maaf, aku hanya tak ingin memusingkan soal ini. Sebenarnya jauh di dalam hatiku, aku belum siap menerima pernyataan turun-temurun itu."
Elina yang tak enak mendengar jawaban Aalona, melirik pada Berly. "Ka-u pa-yah..." ejanya tanpa bersuara.
"Oh maaf Lona, seharusnya aku tak pantas mengatakan itu," permintaan maaf Berly begitu memahami gerakan bibir Elina.
"Tak masalah. Mungkin memang ini takdirku."
"AALONA...!" teriak Deryl dari luar matera. "Huuuh... aku kira kamu tak ada di sini," ujarnya selepas melihat sosok mailnera yang ia cari.
"Bisa pelankan suaramu? Berisik sekali! Membuatku terkejut juga."
"Maaf El, aku tak bermaksud."
"Ya-ya-ya. Sudah, aku mengerti. Ngomong-ngomong kenapa mencari Aalona? Apa ada masalah?"
Deryl yang semula bernapas lega kini kembali tegang. Jantungnya kembali berdegup dua kali lebih cepat saat kembali mengingat maksud kedatangannya ke matera. Ia menunduk seketika. Tak berani menatap ketiga temannya yang kini memandanginya penuh tanya dan raut kecemasan yang kentara.
"Apa benar ada masalah? Apa itu sangat serius? Cobalah untuk bersikap tenang Deryl. Aku tahu, ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Sikapmu seakan mengatakannya."
Deryl ---lelaki yang memakai alabura atau baju khusus laki-laki dari bahan daun teratai--- nampak tersentak. Seharusnya aku tak perlu terkejut, sudah pasti Aalona menyadari. Mudah baginya mengetahui gerak-gerik seluruh mailnera.
"Jujur saja Ryl, tak perlu takut." Berly mencoba menenangkan.
"Berly benar, katakan saja," desak Elina tak mau kalah.
Aalona yang dilirik Deryl mengangguk mantap. Tatapannya melembut, sangat lembut hingga Deryl merasa kian tak sanggup bertatap-tatapan dengan sang putri. Maafkan aku karena harus mengatakan ini.
"Baiklah kalau kalian memaksa, sebelumnya a-aku minta maaf Lona. Sesuatu yang buruk benar-benar terjadi. A-aku sangat takut mengatakannya." Sekuat tenaga ia menggerakkan lidahnya yang terasa enggan menari. "Raja Avi menghilang."
Tak ada yang berani bersuara setelahnya. Aalona sendiri nampak sedikit terguncang. Namun sebisa mungkin ia mencairkan suasana.
Selang beberapa detik Aalona berujar, "aku akan kembali ke istana. Bunda membutuhkanku saat ini. Aku harap kalian tau apa yang harus kalian lakukan. Permisi," bersama dengan tubuhnya yang menjauh dari ranjang. Tak lupa ia memasang kembali manaelama ke kepalanya yang sempat ia lepas tadi.
Raja Avi menghilang.
Raja Avi menghilang.
Raja Avi menghilang.
"A-yah... aku harap Ayah segera kembali. Aku membutuhkanmu, karena aku menyayangimu Ayah... apapun, ya apapun! apapun akan Aalona lakukan asalkan Ayah kembali. Aku mencintaimu Ayah. Bahkan kalau Ayah mengurungku di istana selamanya pun, aku terima. Asal Ayah pulang secepatnya."
Air mata menetes di pipi Aalona tanpa ragu. Beruntung, karena belum mengganti pakainnya. Ia masih memakai apudura yaitu gaun pendek yang terbuat dari daun teratai, membuat langkahnya tak terhambat sama sekali.
Aalona mengatakan apa adanya pada udara di sekeliling. Hatinya tak karuan begitu mendengar kalau sang ayah tercinta menghilang. Perasaan tak enak ikut bersarang dalam benaknya. Langkahnya bukannya melaju tapi semakin melemah di bawah rintikan hujan. Ia tak tahu apa yang harus ia sampaikan pada sang Bunda nanti.
"Kuatkan diri dan hatimu Aalona!" suara penuh penekanan mendoktrin dirinya sendiri agar semangatnya dapat menjulang.
š¼šš¼
Lanjutkah?