Al Kahfi Land, Depok, 2004
Al Kahfi Land merupakan perusahaan properti yang paling sering dibahas oleh berbagai majalah bisnis dan arsitektur. Perusahaan tersebut berada di dekat perbatasan bagian selatan kota Jakarta dan terselip di tengah hamparan luas lembah hutan pinus yang memiliki danau.
Walaupun memiliki seluruh kawasan hutan itu, mereka hanya mendirikan dua bangunan, orang-orang di sana menyebut nama bangunan itu kantor Segitiga dan rumah Segi Empat.
Nama-nama tadi memang cocok dengan wajah tampak muka dua dimensi bangunan tersebut jika disederhanakan, tetapi sebenarnya bentuk kantor Segitiga tidak murni seperti limas atau prisma segitiga, sedangkan rumah Segi Empat memang murni seperti balok. Kesamaan dari kedua bangunan yang saling berhadapan tersebut, hanya sama-sama banyak menggunakan material kaca.
Kantor Segitiga berdiri di atas lembah yang memiliki kontur tanah menurun dan memiliki jarak yang agak jauh dari tepi danau.
Rumah Segi Empat berdiri di atas semacam pulau kecil yang tidak terlalu jauh dari tepi danau, sehingga untuk menuju ke sana, orang harus melewati jembatan ala dermaga. Bangunan mungil ini sebenarnya berfungsi sebagai tempat istirahat untuk pemilik kantor, tetapi ia malah menggunakannya sebagai tempat bekerja pada malam hari.
Saat pagi hingga sore, bangunan kantor Segitiga yang besar dan megah itu mampu merebut perhatian melalui permainan geometrinya terlihat sangat jenius, tetapi saat malam, hanya nampak sebagai sebuah bangunan yang gelap. Karena hampir semua pekerja di sana telah pulang, maka hanya beberapa koridor utama saja yang masih terang. Dominasinya langsung tergantikan oleh rumah Segi Empat.
Rumah Segi Empat terlihat sangat sederhana, tetapi elegan. Kekuatannya ada pada penataan interior dan permainan cahaya. Gelap justru membuat rumah Segi Empat mampu mengubah kawasan di tepi danau ini bagai kanvas hitam yang tersentuh sapuan kuas sang pelukis.
Setelah matahari terbenam, sederet pendar cahaya muncul mengikuti jalan setapak yang membelah taman. Dari sela-sela kayu jembatan ala dermaga juga tampak cahaya yang membentuk pola garis-garis yang menawan. Berbagai cahaya lain pun hadir sehingga Rumah Segi Empat terlihat bagai lampion kotak yang dikelilingi cahaya-cahaya kecil.
Seolah tidak mau kalah. air danau yang hitam ikut menambahkan kesan eksotis. Bagai cermin, permukaan air danau merefleksikan benda-benda dan cahaya-cahaya yang berada di dekatnya, kemudian benturan acak yang membentuk lingkar-lingkar gelombang air mendistorsi pantulan tersebut, sehingga tampak seperti lukisan abstrak yang bergerak.
Suasana malam di sekitar rumah Segi Empat begitu romantis. Di ujung pulau kecil itu ada tempat terbuka untuk duduk menikmati keindahannya, sayangnya hanya si pemilik kantor yang sering berada di situ. Selain hampir semua pekerja telah pulang, kawasan pulau kecil ini memang hanya untuk dirinya..
Al Kahfi Land memang memanjakan mata. Tidak hanya tentang bangunan, para pekerjanya pun sedap dipandang. Mereka bagai manusia-manusia pilihan yang kita sering lihat pada iklan produk mahal. Kata orang-orang yang pernah datang, Al Kahfi Land adalah kantor impian.
Sebentar! Inilah yang sering terjadi saat kita terlalu banyak menyerap keindahan. Mata menjadi hanya fokus pada yang indah, sehingga otomatis memburamkan yang sebaliknya.
Di sini tentunya juga ada pekerja yang hanya mengandalkan kemampuan kerja. Salah satu yang yang eksistensinya tampak buram dan bukan objek para penikmat keindahan adalah Widi. Paras Widi tidak buruk, tetapi karena standar kantor ini terlalu tinggi, maka dia pasti terlewatkan. Padahal Widi layak dianggap sebagai aset paling berharga di perusahaan ini, dia adalah arsitek hebat yang selalu diandalkan untuk menangani proyek-proyek besar.
Walau mencetak segudang prestasi, karir Widi malah tidak cemerlang. Dia selalu menutup diri dari pergaulan sesama pekerja, hanya seperlunya menghadap atasannya, menghindar dari para petinggi kantor, terlebih lagi terhadap pemilik kantor.
. Widi memang sama sekali tidak punya ambisi menjadi orang penting, sehingga dia hanya dekat dengan sesama objek buram.
*****
Pagi ini seperti hari biasa, Widi memasuki kantor Segi Empat dengan tetap memakai helm cetok dan jaket motor bututnya. Ia melewati ruang kerja kubikal dengan senyum ala kadarnya. Tiga orang pekerja yang sedang asik bergosip membalas dengan senyum ramah yang tidak kalah palsu sambil saling memberi kode. Setelah Widi menghilang mereka tertawa.
"Ada tukang ojek nyasar, Bo! Hihihi," ujar Sisi.
"Hihihi. Cewek kaya gitu kok bisa jadi arsitek andelan. Gue yakin, Pak Erlangga pasti belum pernah lihat dia, Bo," sahut Patricia.
"Kalo liat, Pak Erlangga juga pasti ngiranya kurir dari luar, Nyet! Hahaha!" kata Gofar.
Ketiga orang itu memang terkenal sebagai trio gosip, GO-far, SI-si dan P-atricia.
"Eh, udah pada tahu? Pak Erlangga Yusuf baru tunangan sama Vanessa Cole, yang foto model itu lho, Bo!" ungkap Sisi.
Para pekerja lain ikut saling lebih merapat. Tiba-tiba Soffie datang. Dia adalah sekretaris Erlangga, si pemilik kantor.
"Heh! Pagi-pagi udah gosip aja. Kerja semua! Mau didamprat Pak Erlangga lagi?" bentak Soffie.
Semua pekerja membubarkan diri dan pura-pura sibuk di meja masing-masing kecuali Patricia, dia malah mendekati Soffie.
"Pagi Mbak Soffie cantik. Eh, Mbak, properti kita yang di Bintaro, aku udah mulai pasarin lho," sapa Patricia sambil melirik tas Soffie. Wajah dan bibirnya menampakkan ekspresi, Wow!
Ternyata Soffie marah. "Ngaco aja deh kamu! Pak Erlangga bilang, itu jangan dipasarin dulu, kok malah dipasarin? Wah, siap-siap deh, bakal ngamuk lagi tuh Pak Erlangga."
"Maaf deh, Mbak Soffie," sahut Patricia, tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan, ia malah fokus mengamati tas Soffie sambil bergumam, tasnya asli, Bo!
"Lain kali, kamu ngerjain apa yang disuruh aja. Fokus! Kebanyakan ngegosip sih," omel Soffie.
Soffie meninggalkan ruang kerja kubikal. Patricia malah menirukan gaya Soffie ngomel. Setelah memastikan Soffie jauh, tri gosip kembali saling mendekat.
"Haha, gue tahu kenapa lu enggak fokus," kata Sisi.
"Bener! Bo. Gue mau mastiin tasnya Soffie. Sakit kepala gue ngeliatnya!" ujar Patricia.
"Norak, lu!" ledek Gofar.
"Eh, itu harganya sama kayak mobillu, Nyet!" maki Sisi.
"Biasa aja kali! Ibu ratu Soffie kan, gebetan Pak Bos Erlangga Yusuf. Mau beli apa aja juga bisa, tapi sayangnya sekarang udah ada yang lebih oke! Eh, Sis, Pak Erlangga gimana tadi ceritanya?" tanya Gofar.
Para pekerja lain kembali ikut merapat dengan trio gosip.
Pemilik kantor yang bernama Erlangga Yusuf itu seorang bujang high quality. Belum menikah, masih berusia 26 tahun, tetapi telah sukses memiliki perusahaan besar. Dia adalah pria metroseksual yang sangat memperhatikan penampilan dari ujung rambut hingga ke telapak kaki.
Jika harta, tahta dan muka menjadi hal terpenting dalam hidup, maka Erlangga memang sosok calon suami incaran bagi semua perempuan dan calon menantu dambaan bagi seluruh orang tua, tetapi jika ketenangan hidup termasuk hal penting, maka silakan coret namanya! Erlangga tidak akan mampu memberi itu.
Manusia temperamental ini selalu menebar rasa takut kepada bawahannya, Bentuk gaya komunikasi yang ia tahu seolah cuma marah. Bagi Erlangga, karyawannya hanya sekumpul makhluk tidak penting yang harus bergantung hidup padanya. Hebatnya, sangat jarang karyawan yang mau pindah dari kantor ini. Kenapa betah? Karena Erlangga berani membayar tinggi!
Tidak usah heran, Menurut Widi, ini adalah soal bisnis. Gaji besar itu merupakan ongkos agar karyawannya mampu menduplikasi dirinya menjadi pesolek yang terbalut pakaian mahal. Setelah itu sebenarnya mereka sudah menjadi menjadi manekin-manekin hidup di etalase kantor ini untuk memanjakan mata para konsumen. Bukankan konsumen selalu berani membayar lebih untuk sebuah kemasan?
Sayangnya, manekin-manekin hidup itu tidak mampu menduplikasi kecakapan kerja Erlangga, sehingga mereka juga sekaligus menjadi samsak-samsak hidup. Maka untuk mempertahankan gaji besar, para karyawan yang tak pandai bekerja harus pandai mencari tumbal, tidak heran budaya menjilat dan saling menjatuhkan terasa sangat kental di sini, kata Widi pada sesama objek buram.
Widi memang sangat apriori pada Erlangga, padahal jangankan pernah bicara, wajahnya saja Widi belum pernah lihat. Cerita tentang sifat kejam Erlangga membuatnya takut kehilangan pekerjaannya., sehingga ia selalu lari sejauh-jauhnya bila mendengar informasi keberadaan Erlangga. Sebenarnya itu tidak perlu, Erlangga sendiri juga tidak pernah mau bicara dengan orang yang dianggap tidak penting, bahkan ia tidak pernah melirik atau membalas sapaan karyawan yang berpapasan dengannya. Matanya selalu terkunci pada PDA digenggamannya, seolah sepatunya punya sensor yang bisa membuatnya berjalan tanpa melihat.
Jangan salah! Menjadi objek buram, justru membuat Widi betah, ia merasa menjadi orang yang bisa menikmati keindahan Al Kahfi Land dengan hati yang damai.
*****
Widi masuk ke ruang kerjanya. Dia melepas helm cetok tetapi tetap mempertahankan jaket motor bututnya. Ia menyeka keringat di jidat dengan sikunya, lalu membenarkan rambut kusut ala kadarnya.
"Dasar kaum Hedon. Tiap hari enggak bosen ngomongin 3 hal enggak penting."
Widi menghidupkan komputer. "Satu, siapa yang paling jago ngabisin duit. Dua, ngebanggain pengalaman brengsek di dunia hitam. Tiga, ngomongin Si Ucup."
Widi menukar sepatu bututnya dengan sandal jepit butut. Lalu menghampiri jendela untuk memandangi rumah kotak yang berada di dekat danau.
"Sebenernya lucu juga. Gue kerja udah 3 tahun, tapi belum pernah lihat Si Ucup. Katanya sering di rumah kotak."
Mbak Sumi mengetuk pintu kaca ruangan. Widi menoleh, lalu melambaikan tangan. Mbak Sumi masuk, kemudian ia meletakkan bungkusan nasi uduk pesanan Widi, piring dan sendok di meja, setelah itu ia duduk di kursi Widi. Posisi kursi kerja Widi selalu membelakangi kaca koridor dan menghadap kaca luar.
"Ciee! Mau ngintipin Pak Erlangga, ya? Percuma, Mbak. Si Ganteng ada di rumah kotak kalo malem doang." ledek Mbak Sumi. Dia adalah salah satu petugas kebersihan kantor ini.
"Idih! Siapa yang mau ngintip Si Ucup? Mbak Sumi, makasih ya, lebihnya kantongin aja," sahut Widi sambil memberikan uang ke Mbak Sumi.
"Makasih juga ya, Mbak Widi."
Mbak Sumi tersenyum sambil mengamati penampilan Widi, ia geleng-geleng kepala. "Mbak, sekali-kali dandan deh! Kalo ga punya makeup, pake punya aku aja. Pasti satu kantor pada pangling. Bisa-bisa, bakal kaya cerita Cinderella, Pak Erlangga jadi naksir Mbak Widi, hihi."
"Cinderella? Itukan cerita paling aneh."
Mbak Sumi memberikan tempat duduk untuk Widi. "Duduk, Mbak! Kok aneh sih?"
"Emang enggak aneh? Pangeran jatuh cinta sama cewek yang ukuran kakinya cocok sama sepatu kaca. Besoknya, semua cewek disuruh ngepasin. Enggak peduli nenek-nenek, kalo pas, pasti dinikahin! Gitu kan ceritanya?" tanya Widi sambil duduk di kursinya.
Mbak Sumi tampak berpikir. "Iya juga, ya?"
"Iya banget! Cinderella itu cuma dihargai saat pakai gaun, sepatu kaca sama kereta kencana buatan ibu peri. Setelah semua itu dilepas, pangerannya kan jadi enggak kenal lagi. Mau aja sama cowok model begitu!" ujar Widi ketus.
Mbak Sumi pun hanya bisa tertawa.
*****