Chereads / Al Kahfi Land 1 - Menyusuri Waktu / Chapter 7 - Para Insan Kesepian

Chapter 7 - Para Insan Kesepian

Pagi ini Uge sedang mengawasi proyek pribadinya. Ia tampak tidak fokus pada pekerjaannya. Para tukang heran melihat Uge jadi sering bengong dan senyum-senyum sendiri. Ternyata di dunia Widi, dia juga sedang mengalami hal yang sama seperti Uge.

Chatting tadi malam ternyata sangat berkesan untuk keduanya, sehingga mereka terus mengingat setiap detail percakapan hingga tidak peduli dengan suasana di sekitarnya..

*****

Inilah sepenggal cerita tentang tadi malam.

"Hai Widi," sapa Uge.

Hampir saja Widi menutup situs tersebut, tetapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. Bandung, 1999?

Kota dan tahun tersebut punya arti penting untuk Widi. Walaupun dia tahu Uge tidak mungkin berada di tahun 1999, tetapi siapa tahu dia memang berada di Bandung pada waktu lima tahun yang lalu. Setelah diam agak lama, Widi pun mengetik. "Hai Uge."

Aduh! Widi mendadak menyesal menjawab sapaan Uge. Ia baru sadar, di dunia maya, orang bisa menjadi siapapun dan berani bicara apapun.

"Apa kabar dunia di tahun 2004?" tanya Uge.

Widi tambah malas membaca pertanyaan ini, ya sudahlah, tapi jangan berharap basa-basi ini bakal manjang.

Widi mengetik. "Kabarnya gitu-gitu aja, dengan bertambahnya tahun, paling cuma ganti penguasa, muncul teknologi baru dan nambah populasi.".

Jawaban Widi malah membuat Uge merasa ditantang berdebat.

"Enggak gitu-gitu aja dong, itu kan juga perubahan."

"Iya kalo dicari-cari ya banyak, sedetik aja pasti udah terjadi perubahan, seenggaknya posisi jarum detik pada jam udah bergeser dari tempat semula," jawab Widi.

"Kamu penjinak bom? Sedetik aja dibilang bisa membuat perubahan," balas Uge.

Nyolot nih orang, ujar Widi.

"Mas! Kalo mau tanya masa depan mending pelihara tokek. Dia tahu kamu bakal kaya atau miskin."

Uge tertawa. Ia semakin bersemangat menghadapi lawan bicara yang benar-benar mirip dengan dirinya sendiri. "Inikan diskusi lintas waktu, pertanyaannya enggak boleh standar dong."

"Justru pertanyaan lintas waktu kamu terlalu standar," ejek Widi.

"Coba gantian, kasih pertanyaan enggak standar ke orang masa lalu?" tantang Uge.

"Oke. Kamu bisa bantu nemuin aku di tahun kamu enggak? besok aku mau ngomong langsung sama diriku sendiri."

Uge kagum dengan pertanyaan Widi, ia jadi semakin tertarik mengenal Widi. "Kasih info lengkap aja, dimana aku bisa cari kamu di tahun aku."

Kenapa justru malah manjang? gumam Widi gusar.

Widi mengetik. "Sori deh, biar basa-basi ini enggak lama. Aku enggak percaya kalo kita beda waktu."

"Aku juga enggak percaya," sahut Uge.

"Bagus, karena sama-sama waras, jadi enggak ada yang perlu kita obrolin, aku pamit ya?" pinta Widi yang ingin segera mengakhiri chatting secara sopan.

"Tunggu Wid. Maaf, aku bener-bener lagi butuh teman ngobrol. Boleh ya?"

Widi sebenarnya enggan, tetapi ia menghargai Uge yang sopan. "Oke."

"Makasih Wid. kita kenalan dulu yuk. Nama panggilanku Uge, tinggal di Bandung, masih kuliah tingkat akhir di ITB, insya Allah sebentar lagi lulus. Kamu?"

ITB? Informasi Uge membuat Widi tertarik, ia memang ingin tahu kabar tentang ITB dan Bandung.

"Nama panggilanku Widi, baru lulus dari Universitas Berdikari di Jakarta, tapi udah 3 tahun kerja jadi arsitek. Kamu di ITB, angkatan tahun berapa?"

"Aku angkatan 95"

Jawaban Uge membuat Widi kecewa. "Angkatan 95 masih kuliah? Udah drop out kali. Masih mau diskusi ngayal soal lintas waktu?"

"Lintas waktu apaan? Baru kuliah 4 tahun, masa di drop out?" tanya Uge.

"Jangan cari gara-gara deh, aku tahu banget tentang ITB angkatan segituan," ancam Widi.

"Ya tes aja, gampang kan?" tantang Uge.

"Kalo bener kamu anak ITB angkatan 95, di depan BNI ada pedagang es kelapa bernama Kang Yayan, dia sangat ngetop. Pertanyaannya, tukang apa yang dagang di sebelah Kang yayan? Kalo salah jawab, langsung bye," ancam Widi sambil tertawa geli dengan pertanyaannya sendiri.

"Ngaco nih anak! Kang Yayan kan tukang parkir," sahut Uge.

Jawaban Uge membuat Widi tertawa, ternyata Uge tahu. "Terus kenapa Kang Yayan sampe segitu ngetop?"

"Akhir tahun 98, Kang Yayan pensiun dini karena nikah sama bule. Dia dimodalin, terus jadi pengusaha sukses di Cipaganti. Itu kan kisah paling inspiratif buat warga ITB."

Widi tersenyum. Ia mencari pertanyaan lain yang lingkupnya lebih sempit.

"Kamu kenal Dewi?" Widi tampak ragu dengan pertanyaannya sendiri.

"Dewi mana? Nama Dewi kan pasaran."

"Emang Dewi yang kamu kenal, berapa banyak?" tanya Widi sewot.

"Enggak ada! Oh, mungkin Dewi yang sering diomongin cowok-cowok. Dewi anak arsitek yang katanya kuliah dianter supir pake mersi?" tanya Uge.

"Nah! Kenal?" tanya Widi.

"Tahu tapi enggak kenal. Udah terbukti belum, kalo aku emang anak ITB angkatan 95?"

"Oke terbukti, tapi bisa enggak kita diskusi hal yang waras aja? Enggak usah ngaku dari tahun 1999 lagi ya. Kerja di mana sekarang?" tanya Widi.

"Wid, kalo kamu ngerasa di tahun 2004, enggak masalah kok."

"Lagi ngelawak?" ejek Widi.

"Lho? Aku kan berhasil jawab pertanyaan kamu. Nah, kamu ngakunya kuliah di Jakarta, tapi kenapa tahu banget ITB? Ngibul?" tanya Uge.

"Perlu aku email scan ijazahku?"

"Boleh, kebetulan aku mau bikin perusahaan dan butuh arsitek dari masa depan," sahut Uge.

"Gimana mau punya perusahaan? Udah tua, enggak lulus-lulus," ledek Widi.

"Kamu emangnya kuliah angkatan berapa?"

"Sebenarnya angkatan 98, tapi berhubung ada kendala, jadinya baru lulus tahun ini," sahut Widi.

Uge tertawa. "Keren! Masuk tahun 98, punya kendala, tapi di tahun ini udah lulus sekaligus udah kerja 3 tahun sebagai arsitek. Jadi siapa yang suka ngelawak?"

"Wah, berat nih ngadepin manusia yang masih nyangkut di masa lalu."

"Gini aja, walau sebenarnya norak, berani enggak buktiin? Kita saling email aja, biar info tanggal dari sistem yang menentukan siapa diantara kita yang sesungguhnya terobsesi diskusi lintas waktu."

Widi segera mengetik alamat emailnya. "Mana alamat email kamu?"

Kedua orang itu langsung memberikan alamat email masing-masing dan saling mengirim email. Ternyata tidak berhasil.

"Eh, Mas Flintstone! Orang masa lalu enggak tahu cara buka email? Kata sistem, email kamu itu udah enggak aktif!" ledek Widi.

"Ngarang aja nih, Mbak Terminator. Orang masa depan enggak tahu cara bikin email? Aku juga dapat pesen. Alamat email kamu belum pernah dibikin tuh!" balas Uge.

Perdebatan tentang lintas waktu terus berjalan, tetapi malah membuat mereka jadi semakin akrab. Dua makhluk ini jelas sangat kesepian.

*****

Kedua orang itu tampak tidak sabar melanjutkan chatting lagi. Usai mengawasi pekerjaan proyek lapangan, Uge pulang dengan kuping rada budek, karena bengong seharian tanpa beban di dekat tukang yang sibuk memotong kayu-kayu dengan gergaji mesin. Widi kembali ke kantor dengan muka cemong, karena tidak sadar sering memegangi cat basah dan wajahnya sendiri, bahkan ia tidak peduli dengan tatapan takjub trio gosip yang melihat Widi seperti orang yang baru pulang berperang.

Malam telah tiba, mereka semakin tak sabar berjumpa di dunia maya. Akhirnya, jam dinding di kamar kosan Uge menunjukkan pukul 11 malam dan jam meja di ruang kerja Widi menunjukkan pukul 8 malam. Ini adalah waktu yang mereka sepakati untuk kembali menyalurkan kebutuhan sebagai makhluk sosial, yang tidak mereka dapati dari lingkungan terdekat, karena beda frekuensi.

"Oh, kamu biasa ngeproyek sambil kuliah. Setelah lulus mau ngapain, Ge?"

"Rencananya sih mau bikin kantor properti di Jakarta,"

"Wih! Orang kaya!"

"Baru rencana. Nah, kalo kamu, punya target apalagi setelah berhasil jadi arsitek, Wid?"

"Aku kenyang nerima kenyataan hidup, targetku cuma bertahan hidup aja."

"Pasrah banget. Sori lupa nanya, kamu udah punya pacar atau suami?"

"Pertanyaannya kenapa jadi enggak sopan?"

"Justru ini sopan banget. Jujur aja, rencanaku yang lain, mau nikah muda. Sebelum prospek kamu, kan mendingan aku tanya dulu."

"Tolong tetap sopan. Kalo kamu bener masih mahasiswa, Dek Uge itu masih terlalu abege buat saya."

"Oh, kalah umur enggak masalah. Tapi anehnya, berdasarkan informasi dari masa depan. Angkatan kuliah Dek Widi itu masih 3 tahun di bawah saya."

"Wah balik lagi! Enggak bisa ngobrol yang normal-normal aja?"

"Oke deh kita ngobrol yang normal ya! Menurut kamu, Pak Amien Rais punya peluang gantiin Presiden BJ Habibie?"

Widi tertawa. "Mas! Udah berapa tahun enggak liat berita? Lupa yang ngusung Gus Dur jadi presiden itu siapa?"

"Hah? Analisa model baru nih! Oke! Jadi, alesan kamu memprediksi Gus Dur bakal jadi presiden apa, Wid?"

"Cuci muka gih, Ge! Biar sadar kalo sekarang udah zaman Bu Mega, emang di Bandung belum dikabarin?"

"Hahaha! Sori lupa kalo lagi chatting sama Mbak Terminator."

"Heh, Mas Flintstone! Kalo mau jadi orang masa lalu, jangan nanggung, mending ceritain tentang kamu dan temen-temen kamu yang sekarang udah jadi fosil, hahaha!"

Ngobrol dengan orang yang nyambung memang nyaman. Melempar tema seberat atau sesampah apapun selalu dapat sambutan yang seimbang. Waktu pun jadi terasa bergulir lebih cepat karena menyenangkan. 2 jam telah berlalu tanpa terasa, Widi melirik jam, sudah pukul 10 malam, ia pun menyudahi chattingnya.

Tanpa Widi sadari, Erlangga yang sedang berada di kursi taman pulau kecil terus memperhatikan ruangan Widi. Dia senang melihat kehadiran penghuni ruangan yang terang itu, karena membuatnya merasa seolah punya teman di tempat yang sunyi ini.

Walau jauh dan tidak nampak terlalu jelas, Erlangga yakin penghuni ruangan itu perempuan dan ia sering melihatnya rutin menjalankan sholat. Kebetulan saat ini ia kembali melihat gerakan orang yang sedang sholat di sana. Widi memang biasa melakukan sholat sunah sebelum pulang. Pemandangan itu membuat hati Erlangga tentram.

Ngeliat bayangan ada orang sholat aja, hati gue jadi kebawa tenang. Kayaknya gue juga perlu nyoba, supaya enggak selalu gelisah.

Erlangga menatap bagian danau yang gelap. Rupanya tanpa cahaya, danau indah ini tampak seperti tempat menakutkan. Ia jadi merenungi hidupnya yang terasa hampa.

Beberapa saat kemudian, Erlangga kembali memandangi kantor Segitiga, ternyata ruang kerja Widi telah gelap. Koridor yang telah Widi lewati juga satu-persatu menjadi gelap. Kini cahaya yang tersisa di sana hanyalah dari area lobi dan parkiran saja, di tambah satu cahaya kecil dari lampu motor yang bergerak menaiki lereng hutan pinus, cahaya itu kemudian hilang seolah ditelan gelap. Erlangga tertegun, ia mendadak merasa sangat kesepian.

*****