Sudut pandang Aroz yang terbenak dalam hatinya tentang masa lalunya dan Para Anggota Lainnya terutama Tarachri dan Ayaniu.
{Ku Ingat lagi, waktu aku berumur 3 tahun, Aku di temukan ayah Sevinchri di kota mati, Vashna. Aku diadopsi dan dirawat olehnya, Tanpanya aku tidak akan Jadi seperti ini, Melindungi Tara adalah kewajibanku sebagai Saudara angkatnya. Dan aku takkan lupa Dengan adik sepupu ku Aya, karena dia selalu membantu kami saat pelatihan dan menyemangati kami dalam kesulitan.. Jadi Sebagai Kakak, Aku sengaja berkelakuan kekanakan demi canda tawa kami, dan ku harap.. kami benar Benar melewati ini semua dengan rasa sabar dan syukur. Terimakasih Untuk kalian..}
*********
"Seperti biasa, jagung bakar buatanmu memang yang terbaik, Noni Eva!" puji Aroz dengan mulut penuh oleh bulir jagung.
Saat ini dirinya beserta Tarachri dan Ayaniu sedang menikmati jagung bakar di sebuah kedai kecil di tepi pasar Kota Guinea. Kedai kecil yang dimiliki seorang wanita tua keturunan IndoChina-Holland yang sudah lama tinggal di Nusantara. Kedai itu terdiri dari pondok kayu dengan dua lantai, yang lantai pertamanya dijadikan kedai, sementara Ia bersama cucu-cucunya tinggal di lantai dua.
"Terima kasih atas pujianmu, Aroz. Tetapi kau tidak boleh berbicara dengan mulut penuh makanan seperti itu. Kunyah dengan baik dan telan dahulu, baru berbicara," tegur Noni Eva yang sedang menyiapkan makanan lainnya.
Setelah mengantar pesanan pelanggan lain, Noni Eva kemudian mengelap tangannya dengan sapu tangan dan membawa tiga gelas air minum untuk Aroz beserta rombongannya di atas nampan kecil. Noni Eva kemudian menaruh ketiga gelas kaca berisi air mineral itu di hadapan Aroz, Tarachri dan Aya yang menyambutnya dengan senyuman penuh rasa terima kasih.
"Baik, baik Noni Eva," ucap Aroz sambil tersenyum lebar.
"Kau ini, sudah dewasa pun masih saja seperti anak-anak. Terkadang aku masih tidak percaya bocah kecil yang sering menangis karena di ganggu kakak-kakak perguruannya ini sudah dewasa," Noni Eva menggelengkan kepalanya sambil tertawa pelan.
"Itu tidak benar!" seru Aroz membantah. "Aku ini sangat dewasa dan bijaksana. Aku tidak bertingkah seperti anak kecil! Itu tidak benar! Itu tidak benar 'kan, Tara?" tanya Aroz pada Tarachri.
Tarachri yang sedang mengunyah jagung bakarnya hanya mengangguk kemudian menggeleng. "Tidak juga, Kak. Kau terkadang memang masih bertingkah kekanakan, seperti mereka itu," kata Tarachri. Tangan kanannya menunjuk ke arah sepasang kakak beradik kecil cucu Noni Eva yang sedang berlarian sambil tertawa di depan kedai itu.
"Itu tidak benar!" tegas Aroz. Ia kemudian menghadap Aya.
"Hey, Aya. Tolong katakan pada mereka jika aku ini bukanlah seorang bocah!" Aroz mencoba meminta pertolongan Aya.
Aya hanya menggeleng dan berkata dengan tegas, "Sebaiknya kau akui saja, Kak Aroz. Kau memang kekanakan."
"Itu tidak benar!" seru Aroz kesal.
Aya dan Tarachri mengabaikannya dan meminum air mineral dari gelas mereka. Aroz yang sadar sedang diabaikan memukul meja dengan keras dan bergumam, "Kalian menyebalkan." Lalu menempelkan pipinya ke atas meja.
Semua orang yang sedang memperhatikan mereka di dalam kedai itu menertawakannya. Bahkan Aya dan Tarachri pun turut menahan tawa mereka. Rona merah menjalar dari pipi Aroz hingga ke telinganya dikarenakan rasa malu dan emosi. Ia kemudian bangkit dan keluar dari kedai itu sambil mengentakkan kakinya kesal. Di belakang Aroz, suara tawa kembali menggema karena tingkahnya yang seperti anak-anak itu. Aroz mendengus kesal karena itu.
Langit sore di Kota Guinea terlihat sangat indah. Semburat kemerahan dan jingga menghiasi horizon di barat sana. Ditutupi sedikit dengan asap pembakaran dari rumah-rumah di perbukitan sana. Seiring dengan matahari yang perlahan bergerak menyembunyikan diri di balik pegunungan. Sangat indah dan menenangkan.
'Ah, benar.' batin Aroz. 'Kalau tidak salah, hari itu langitnya juga seperti ini.'
*****
"---! A--! Cepat bawa adik-adikmu pergi dari sini!" jerit seorang wanita pada anaknya.
"Ibu! Tidak! Aku tidak bisa meninggalkan Ibu di sini! Ikutlah dengan kami, Bu!" balas anak itu tangannya menggenggam lengan ibunya dengan erat.
"Maafkan Ibu, Sayang. Ibu harus tinggal dan bertarung bersama ayahmu. Bawalah adik-adikmu ke tempat yang aman dan berlindunglah. Insyaallah, Ibu akan kembali untuk menjemput kalian," bisik wanita itu dengan lembut. Di belakangnya terlihat siluet bulan yang besar yang ditutupi asap hitam dan kobaran api yang menyala-nyala.
Sebuah pelukan hangat menyelimuti tubuhku sesaat sebelum wanita itu melepaskanku. "Aroz, Sayang. Ikutlah dengan kakak-kakakmu. Tumbuh besar dan jadi kuat ya, Nak. Maafkan Ibu karena tidak bisa menemani kalian lagi," bisik wanita itu sambil mencium dahiku. Lalu semuanya menjadi merah.
"-roz…"
Siapa itu? Siapa yang memanggilku?
"Aroz…!"
"Kak Aroz!" panggil Tarachri sambil mengguncang bahu Aroz dengan kuat.
"Kakak kenapa? Apa kau baik-baik saja?"
Aroz segera tersadar dari lamunannya dan menatap Tarachri dengan ekspresi kelam yang segera digantinya dengan senyum bingung. "Ya? Aku baik-baik saja, tuh?"
Ternyata Ia dari tadi sudah mematung melamun dan tidak bergerak sedikit pun dari posisinya. Bahkan anak-anak kecil yang berlarian di depan kedai tadi juga berhenti dan mendongak menatapnya.
Tarachri menepuk bahu Aroz pelan sambil tersenyum tipis untuk memberikan semangat padanya. Aroz tertawa melihat sikap Tarachri itu. Ia kemudian mengusap rambutnya ke belakang dan membalikkan badan. Aroz ingin menyembunyikan ekspresi kesakitannya dari Tarachri karena kepalanya sedang berdenyut-denyut tak karuan.
'Apa itu tadi? Sebuah ingatan?' batin Aroz. 'Tetapi sosok wanita dalam ingatannya itu jauh berbeda dengan ibunya. Dan juga, siapa anak lelaki itu?' Aroz bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Aku baik-baik saja, Tara. Hanya sedikit kesal dengan perlakuan kalian padaku tadi di dalam sana," ketus Aroz sambil mencibir ke arah kedai.
Aya baru saja keluar dari kedai langsung tertawa melihat ekspresi Aroz yang mencibir ke arahnya. Aroz segera menyeringai lebar dan mengirimkan isyarat "kau menyebalkan" dengan gerakan mulutnya dan hanya membuat tawa Aya semakin keras. Aya kemudian mengajak Aroz dan Tarachri kembali ke asrama mereka di markas pusat.
"Maaf, Kak Aroz. Aku tidak bermaksud membuatmu malu di sana tadi. Hanya saja,sangat menyenangkan melihat ekspresi wajahmu saat kau digoda oleh Noni Eva," canda Aya.
"Aku tidak ingin mendengarnya," kata Aroz memalingkan wajahnya. Tangannya terkepal dan dilipat di depan dada.
Aroz tiba-tiba menyadari ada sesuatu di balik jubahnya. Saat ia mengeluarkan benda itu, ekspresi Aroz berubah menjadi kelam. Tarachri yang berjalan diam di sebelah Aroz juga menatap buku lusuh yang ada dalam genggamannya itu.
"Kenapa Kakak masih membawa benda itu ke mana-mana?" tanya Tarachri. Aroz menatap Tarachri dengan heran.
"Lalu, kau mau aku membuang benda ini? Tidak mungkin kita membuang sebuah informasi penting seperti ini, Tara," kata Aroz sambil melambaikan buku itu di depan muka Tarachri.
"Bukan itu maksudku, Kak…" kata Tarachri sambil menyingkirkan buku itu dari wajahnya dan menghela napas panjang. Sepertinya kakaknya ini jadi semakin idiot karena dipermalukan oleh Roganiu tadi siang saat rapat dan ditambah pula lagi dengan yang barusan.
"Apa itu?" tanya Aya. Ia kini sudah menyamakan langkahnya dengan Aroz dan mengamati sebuah buku lusuh yang dibawa Aroz itu.
"Kenapa Kakak membawa-bawa buku? Kita kan sudah tidak menggunakan buku untuk membuat catatan, Kak. Apalagi buku lusuh seperti itu," tanya Aya sambil menunjuk buku yang sedang dipegang Aroz itu.
"Tidak, Aya. Aku tidak membawa buku ini untuk membuat catatan, tetapi aku membawanya karena catatan yang ada di dalam buku ini. Ini, bacalah," jelas Aroz lalu memberikan buku itu pada Aya. "Hati-hati, kelihatannya buku itu sudah cukup tua."
Aya menerima buku itu dan membacanya dengan hati-hati. Ekspresinya berubah dari bingung, terkejut, serius dan akhirnya ekspresinya menjadi kelam hingga ia terdiam tanpa sepatah kata pun. Tanpa berkomentar apa-apa Aya mengembalikan buku itu pada Aroz. Aya menatap Aroz dan Tarachri bergantian dengan serius.
"Aku tak tahu apa tujuan dari isi buku ini, tetapi aku tahu seseorang yang bisa memberitahu kita maksud dari isi buku ini, Kak. Ayo ikuti aku," Aya langsung berbalik kembali menuju ke pasar kota.
Aroz segera menahan lengan Aya yang sudah berjalan. Aya berbalik menatapnya dengan heran. Aroz menggeleng pelan.
"Jangan sekarang, Aya. Sebentar lagi malam dan aku tidak ingin kita membahayakan diri dengan pergi tanpa persiapan," kata Aroz.
Tarachri mengangguk setuju. "Kita tidak bisa langsung pergi begitu saja tanpa persiapan mantap, Aya. Itu sama saja dengan bunuh diri."
"Baiklah. Kalau begitu sebaiknya kita pergi menemui salah satu informanku itu pagi-pagi buta besok. Aku akan segera memberitahukan lokasi pertemuan kita pada kalian setelah aku menghubungi orang ini. Bagaimana?" tanya Aya.
Aroz dan Tarachri mengangguk setuju. Mereka akan berangkat besok pagi segera setelah Aya menghubungi informannya untuk bertemu. Mereka juga sepakat untuk pergi mengendarai kendaraan pribadi mereka karena tidak memungkinkan untuk meminjam kendaraan organisasi. Sebab, mereka bisa dicurigai dan informan itu mungkin akan segera kabur jika menyadarinya.
Tepat pukul empat pagi keesokan harinya, Aroz dan kawan-kawan sudah berkumpul di luar area markas untuk pergi menuju ke lokasi pertemuan mereka. Dengan mengendarai motor balap mereka, Aroz, Tarachri dan Aya dapat mencapai lokasi pertemuan mereka sebelum matahari terbit. Itu lah yang dikatakan Aya pada Aroz dan Tarachri sebelum mereka berpisah tadi malam.
Dan benar saja, mereka berhasil mencapai lokasi yang seharusnya ditempuh dalam empat hingga lima jam itu dalam kurun waktu yang singkat. Mengingat bagaimana Aya dan Tarachri memacu kuda besi mereka itu dengan kecepatan yang mengerikan. Aroz yang duduk di belakang Tarachri bahkan harus menahan napasnya di sepanjang perjalanan karena ia takut nyawanya bisa tertinggal saking cepatnya Tarachri membawa motornya.
Aroz turun dari motor dengan hati-hati ketika Tarachri sudah mematikan motornya. Aroz mengentak-entakkan kakinya ke tanah yang becek untuk mengalirkan darahnya hingga ke ujung jemari kakinya yang mati rasa karena terlalu tegang. Tarachri hanya tersenyum kecil melihat tingkah kakaknya itu yang membuat lumpur beterbangan ke mana-mana hingga Aya mengomel kesal.
Tarachri berjalan paling depan diikuti Aya yang masih mengomel dan Aroz yang menggerutu tepat di belakangnya. Ia memimpin perjalanan mereka karena kemampuan khusus milik Tarachri yang membuat rambutnya bercahaya di gelap malam.
Di belakang Tarachri, terdengar Aroz yang memprotes cara berkendara mereka yang sangat mengerikan seolah mereka sedang diburu cheetah, binatang tercepat di darat. Mereka bahkan tidak sedang dalam arena balapan, gerutu Aroz.
Mengabaikan celotehan Aroz, Aya kemudian menuntun mereka menuju sebuah perkampungan kumuh yang terletak jauh di ujung Distrik Nugini, tepatnya sebuah desa kecil terpencil yang ada di sepanjang pantai. Desa ini terlihat cukup terpencil dan jauh tertinggal jika dibandingkan dengan Ibu Kota Guinea yang sudah maju.
Tempat pertemuan yang disepakati adalah rumah sang informan yang letaknya cukup tersembunyi di bawah puncak bukit karang yang menjorok ke arah laut. Dan selama perjalanan itu Aya terus mengomel menjelaskan kenapa mereka harus bertemu informannya itu sebelum matahari terbit.
Menurut pengalaman Aya selama Ia bekerja sama dengan informannya itu, Ia hanya keluar di saat gelap atau saat cahaya matahari tidak terlalu terang. Menurutnya itu ada hubungannya dengan kemampuan penglihatan informannya itu.
"Lalu, mengapa dia takut terkena cahaya matahari? Apakah Ia akan jadi buta jika melihat cahaya matahari?" ketus Aroz.
"...Ya. Aku bisa buta jika melihat cahaya matahari secara langsung, Anak Muda," suara serak dan berat samar-samar menjawab pertanyaan Aroz.
"Astagfirullah!" Aroz segera mematung dan berlindung di balik Tarachri yang bercahaya di tengah keremangan menjelang matahari terbit di sana.
Matanya nanar mencari dari mana asal suara itu. Tarachri menghela napas panjang sambil melepas cengkeraman Aroz yang begitu kuat di lengan kirinya. Aroz menggeleng cepat dan memperkuat cengkeramannya pada Tarachri. Tarachri hanya mengembus napas panjang, pasrah pada tingkah kakaknya ini.
"Lama tak jumpa, Nini," sapa Aya ke punggung Aroz yang mencicit ketakutan.
Angin dingin berembus pelan ke tengkuk Aroz. Ia terkesiap dan refleks mengambil sikap kuda-kuda, bersiap akan menyerang siapa saja yang ada di belakangnya. Tetapi tak ada seorang pun di belakangnya. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk bahu Aroz pelan diiringi bisikan pelan yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Kuda-kuda yang mantap, Anak Muda," bisikan itu tepat di belakang Aroz.
"Hiiyyy!" cicit Aroz yang tiba-tiba saja sudah menggantung di punggung Tarachri. Tarachri terkejut dan terhuyung ke depan karena menahan berat badan Aroz yang tiba-tiba.
"Kakak?! Kakak kenapa sih?!" Tarachri berusaha menurunkan kakaknya itu dari punggungnya.
Sementara itu, Aya mengangkat ibu jarinya pada sosok informannya yang saat ini sudah berdiri di sebelahnya.
"Kerja bagus, Nini. Itu adalah salah satu kejadian terbaik yang pernah kulihat dalam hidupku," kata Aya sambil menutup mulutnya dengan tangan kirinya. Menahan tawanya agar tidak pecah di tengah keremangan cahaya matahari yang mulai terbit.
Gadis itu kemudian mengikuti informannya menuju sebuah gua kecil tersembunyi di bawah tebing karang yang telah menjadi tempat tinggal informannya itu. Beberapa langkah di belakangnya mengikuti Tarachri dan Aroz yang masih menempel erat di punggung Tarachri. Sepertinya Tarachri sudah menyerah membujuk kakaknya untuk turun dari punggungnya dan memutuskan untuk menggendong pria yang sudah berusia lebih dari dua puluh tiga tahun itu ke dalam gua.
Aya tak dapat menahan tawanya melihat tingkah kedua kakak beradik itu. Terkadang keduanya sama-sama bersikap seperti anak kecil. Hanya saja mereka tidak akan mengakuinya, tentu saja.
Di dalam gua kecil itu terdapat ruangan-ruangan yang dipisahkan oleh sekat kayu dan dibuat seperti rumah di dalam dinding karang. Mereka terus berjalan dan menaiki beberapa anak tangga dari batu menuju sebuah ruangan yang jauh lebih luas.
Dengan diterangi cahaya lilin yang temaram, terlihat sebuah meja teh kecil yang ditutup beberapa lapis taplak meja dengan beberapa bangku kayu kecil dengan bantalan berwarna warni serta lantainya yang dialaskan permadani tebal kecil. Dinding ruangan itu ditutupi lembaran-lembaran kain yang berwarna senada.
"Apa-apaan-?" Tarachri menatap sekelilingnya dengan waspada.
********
Bersambung..
*Catatan*
Jika ingin Lihat berbagai Art saya, bisa Follow saya di IG. @fachri_pay55 .... Terimakasih 🙏🙏🙏🇮🇩